Selasa, 30 Desember 2008

TERAS UTAMA LENSA



DALAM opini kali ini saya mencoba mengutip pendapat dari the founding father H. Agus Salim : “Sekiranya Angkatan Muda tidak dipersenjatai dengan jiwa agamis akan hancurlah akhlak angkatan dan bangsanya”. Pendapat tersebut benar adanya jika kita bawakan pada konteks saat ini dimana pembangunan dan peradaban fisik saja tidak akan berarti banyak tanpa diimbangi dengan pembangunan mentalitas dan spiritualitas. H. Agus Salim adalah tokoh historis yang mencoba menorehkan pemikiran moderat agar generasi sesudahnya mampu belajar dari keluhuran akhlak tokoh-tokoh terdahulu. Dalam kutipan pendapat di atas beliau berharap agar generasi penerus memiliki keluhuran akhlak yang baik. Keluhuran akhlak akan membawa bangsa ini menjadi lebih maju dan bermartabat, dimana setiap orang dapat mencicipi harga kemerdekaan dan kesejahteraan hakiki. Dengan fondasi agamis (mental-spiritual) yang diimbangi dengan vitalitas pikiran akan lahir generasi bernas yang mampu membawa bangsa ini menuju gerbang kemajuan.
Betapa tidak, saat ini saja banyak orang Indonesia yang “mumpuni” kadar intelektualitasnya tetapi justru menyeret bangsa ke gudang permasalahan yang kian kompleks. Betapa tidak, saat ini saja tidak terhitung penyelewengan yang terjadi akibat permainan “orang-orang pintar” bangsa ini. Untuk itu, tidak salah, jika harga sebuah kebebasan akal mesti diimbangi pula dengan penaklukan “akal” untuk berbuat sebagaimana ia (:akal) harus difungsikan ke jalan yang benar saja. Penaklukan “akal” hanya bisa dilakukan jika tiap insan memiliki kesadaran yang dalam akan kehadiran penciptaNya. Sebab, Albert Enstein sendiri pada akhirnya menyadari bahwa “Pengetahuan tanpa agama adalah lumpuh, agama tanpa pengetahuan adalah buta (kosong)”. Agaknya benar juga jika pemimpin revolusioner Perancis, Napoleon Bonaparte menyatakan: “Hanya ada dua hal yang menyebabkan seseorang segan melakukan perbuatan-perbuatan tercela, yaitu agama dan rasa harga diri”. Ijinkan saya untuk mengutip satu pendapat lagi dari Prof. Hamka yaitu “Semiskin-miskinnya seseorang, adalah orang yang miskin akan budi pekerti”. Demikian pembaca untuk kita renungi dan hayati dalam refleksi keseharian kita. Wassalam

Senin, 08 Desember 2008

Islam : Konteks Kekinian dan Wacana Global

Ada yang senantiasa melekat dalam diri seorang penulis ketika ia mencoba menulis suatu esai kemudian dihadapkan pula ia pada pertanyaan, yaitu seberapa pentingkah sebuah esai dibuat jika esai itu hanya akan mengulas wacana dengan kriteria paling “umum”. Kriteria “umum” yang dimaksud, yaitu ketika seorang penulis dihadapkan pada satu atau dua pilihan saja, yaitu membuat tulisan yang menarik atau tidak sama sekali. Terkadang seorang penulis juga harus dibenturkan oleh persoalan dimana wacana haruslah “updates” dan “segar” untuk dibicarakan. Pemberlakuan itu tidak berlaku bagi saya sehingga selama menuntaskan esai ini saya harus siap sedia dalam kurun waktu tertentu untuk membuka biografi, internet, serta melakukan studi komparasi yang “agak ilmiah” guna menanggapi esai argumentatif tentang Islam yang dibuat dan ditulisi oleh kaum orientalis Barat. Sehingga esai “Islam : Konteks Kekinian dan Wacana Global” ini siap dirampungkan, dengan Hamdallah tentunya.

Dalam konteks kekinian seringkali terjadi pergeseran makna “Islam” oleh orientalis Barat sehingga Islam secara holistik dipandang sebagai agama yang kaku dan konservatif. Tudingan itu kian berlanjut dengan meningkatnya wacana war against terorism yang kian memuncak pada abad ke-20 ini. Isu terorisme dikaitkan pada satu agama meski terkadang pelaku terorisme belum tentu memiliki korelasi yang kuat terhadap pemahaman (understanding) ajaran agama yang dianutnya. Saat ini hampir tidak bisa dibedakan antara terorism crimes dengan perlawanan terhadap penjajahan dan kesewenangan. Setiap perlawanan yang merupakan hukum aksi-reaksi (kendati itu wajar) acapkali terjebak pada satu wacana, yaitu teror, meski tepatnya teror dan HAM terkadang dibatas dalam satu “garis pinggir” saja. Sampai-sampai jika seorang melakukan perlawanan terhadap penindasan dan kemerdekaan dalam melindungi hak-haknya dapat saja “terhukum” oleh satu pasal saja, yaitu terorisme atau HAM.

Kaum orientalis telah menyusun draft dan strategi perlawanan guna melumpuhkan semangat dan nama besar Islam. Strategi tersebut menurut hemat saya hanya dirancang dalam dua (2) konsepsi saja, yaitu strategi pemikiran frontal dan strategi inkonservatif. Strategi pemikiran frontal, yaitu strategi yang dibuat secara ofensif (terang-terangan) lewat bantuan media, seperti media massa dan elektronik. Strategi ini biasanya memanfaatkan sumbangan pemikiran, pendapat dan tulisan dari ilmuwan orientalis (Barat) untuk menundukkan kebenaran Islam. Salah satu contoh dari strategi ini yaitu dengan : (1) mendalihkan yang haq (true things) menjadi bathil (bad things), demikian sebaliknya, (2) memangkas kitab suci (Quran) untuk kepentingan yang tidak pada tempatnya, (3) melakukan pencelaan terang-terangan terhadap nabi dan rasul lewat wacana (dongeng Israilliyat) / tampilan kartunis sebagai dampak deklarasi pers dan kebebasan, (4) mempublikasikan secara ekstensif tulisan ilmiah yang lemah “kadar keislamannya” untuk kemudian dilegalkan sebagai produk Islam, dan sebagainya.

Adapun strategi inkonservatif yang saya maksud, yaitu strategi untuk menutupi setiap keunggulan, kelebihan dan kejayaan yang pernah dicapai oleh umat muslim selama selang peradaban (civilization) masa lampau, sehingga fokus sentral dari strategi ini, yaitu melebarkan tiap celah negatif dan perpecahan yang terjadi di sebagaian kecil kalangan Islam. Bagian dari strategi ini yaitu melebarkan isu gender di kalangan Muslimah, melebarkan perbedaan ijtihad tentang konvensi perang (jihad), perpecahan aliran-aliran baru, serta perbedaan pandangan yang kecil disulut menjadi perbedaan besar yang mutlak dipersoalkan. Strategi inkonservatif memojokkan muslim dalam dua celah saja, yaitu anarkisme dan terorisme. Tak satupun media Barat yang berkenan mempublikasikan kemajuan toleransi beragama di negara Islam, penemuan ilmiah oleh insinyur muslim, kebenaran Quran dari sisi sain dan aturan hukum ekonomi (muamalah), peran serta Islam dalam pengentasan kemiskinan, serta keberhasilan Islam dalam memerangi diskriminasi ras, warna kulit, dan strata ekonomi yang sering dipersoalkan oleh bangsa Eropa, Asia Selatan dan Afrika pada abad ke-19, hingga saat ini. Semua yang ditonjolkan jauh dari pandangan netral intelektual Barat sehingga seringkali menyudutkan Islam dari pandangan global. Penonjolan sisi negatif yang berlebihan diharapkan akan mengikis potensi positif yang dimiliki oleh generasi muda muslim sehingga generasi menjadi lemah iman dan hilang kepercayaan terhadap ajaran agamanya.

Dalam konteks kekinian, kaum orientalis menggunakan pedang konsepsi untuk mengaburkan makna perang (jihad) dalam Islam. Sehingga muncul image yang merujuk pada state, yaitu dakwah Islam dimulai dengan “pedang” dan diakhiri pula dengan “pedang” dan state tersebut mereka rancang untuk mengaburkan kebenaran risalah yang dibawa oleh Rasululullah SAW. Jika umat muslim dilemparkan pada state tersebut, maka sebutkanlah bahwa Rasul memulai dakwahnya dengan iman dan kesabaran bagi seluruh umat (baca: QS Al Anbiya : 107). Dakwah tersebut kian jelas pada pandangan
“Berimanlah orang yang beriman dengan penuh kerelaan dan kesabaran, dan matilah orang yang mati dengan penuh kerelaan dan ketenangan”. atau “Bagi siapa yang beriman hendaklah ia beriman, dan bagi siapa yang kafir biarlah ia kafir”
. Merujuk pada dakwah tersebut maka dapat disimpulkan bahwa Rasulullah SAW tidak akan memerangi orang tanpa dasar (meski ia adalah kafir). Rasul tidak akan mencucuri keringat mengangkat pedang terkecuali ada marabahaya yang mengancam keselamatan dan kemaslahatan umat, adanya kecaman dan tantangan dari pihak luar, serta adanya rintangan dari pihak lain sehingga kaum muslim dihalangi beribadah dan dijauhkan dari keimanannya. Setelah itu, tiada perang di kamus Islam, tidak ada pedang di tangan Rasulullah SAW kecuali dibenarkan untuk membedah organ manusia demi kesembuhan rasa sakit, sebagai ungkapan kasih sayang sesama manusia. Selain mukjizat Quran dan Isra’Mikraj, tidak ada mukjizat lain yang lebih besar dimilikinya kecuali pembebasan akal manusia di hadapan TuhanNya. Tidak ada peristiwa yang luar biasa bagi Rasul selain kebebasan dalam berpikir. Tidak ada dalil pemikiran terkecuali jika manusia melakukan pembacaan dan penelusuran terhadap ayat-ayatNya. Jika Nabi Isa AS memiliki mukjizat menghidupkan orang mati dari kuburnya, maka Rasulullah SAW telah menghidupkan umat dari kematian yang tidak mereka sadari, dan itu adalah kematian yang paling keras1. Rasul telah bersedia mengeluarkan umat manusia dari kezaliman, kebodohan, kemusyrikan, kegilaan infinit, dan kekufuran menuju pengetahuan tauhid, persaudaraan yang humanis, pembelaan terhadap kaum lemah, serta perang (jihad) melawan penindasan dan kesewenang-wenangan. Hal itu beliau laukan tatkala beban hidupnya mencekik ketika ia harus mengemban pengorbanan dan penderitaan yang besar dari duka cita, ejekan, fitnah, dan kekasaran semasa hidupnya (: baca QS: Al Furqan : 41, QS: Shad : 4 s.d 5). Penderitaan lahiriah telah ditanggung rasul ketika ia menjadi yatim-piatu pada usia kecil (6 tahun).

Pada dasarnya tudingan yang dilakukan oleh kaum orientalis adalah tudingan tak bermotif dan tidak berdasar. Namun satu hal yang perlu kita pelajari dari kaum orientalis tersebut adalah kemauan dan kesanggupannya dalam menghimpun pemikiran dan waktu untuk melakukan studi terhadap Islam (kendati studi empiris mereka tersebut lemah argumennya). Tidak jarang kaum orientalis menghimpun pendapat politikus, dan ilmuwan dalam menyusun hipotesa dan strategi untuk menyerang Islam. Sebaliknya, hal tersebut tidak disadari secara langsung ataupun tidak langsung oleh kalangan muslim dan generasinya, sehingga pembantahan argumen terhadap Barat tidak banyak dilakukan, terkecuali oleh negara dengan sistem pemerintahan Islam. Simpulan dari tulisan ini saya kutip dari Ahmat Bahjat (dalam teks Al Anbiya Allah), yaitu inti dan hakekat Islam adalah sebuah seruan untuk membaca (QS Al Alaq: 1-5), menggali ilmu pengetahuan, menegakkan kebebasan dan memerangi kezaliman2. Islam adalah seruan bagi seluruh alam yang mengintegrasikan universalitas dan persamaan hak-hak manusia, keadilan, kebebasan dan jihad. Kebebasan yang dimaksud, yaitu kebebasan akal dari sifat penolakan dan keragu-raguan terhadap penciptaNya. Ilmu pengetahuan terkadang tidak mampu menjawab pengetahuan dan fenomena non materi seperti penciptaan ruh, alam gaib dan sebagainya dan untuk kasus semacam ini pengetahuan dan agama tidak lagi berkorelasi secara kuat. Ilmu manusia tidak akan pernah menyamai bahkan melampaui kadar penciptanya, oleh sebab itu manusia harus menyadarinya dengan baik, seperti kadar pengetahuan kaum orientalis yang selalu saja melakukan penyanggahan terhadap kebenaran Islam. Demikian. Wassalam.


-[1], [2] Dikutip dari Ahmat Bahjat (2006). Al Anbiya Allah.
-dikutip dari berbagai sumber dan observasi.
-sources : Al Qurannul Karim (Al Anbiya, Al Furqan, Shaad, Al Alaq etc).

Minggu, 05 Oktober 2008

TERAS SYAWAL

Jelang Hari Raya Idul Fitri 1429 H ini, saya terkenang dengan sebuah sajak yang diungkapkan oleh Bung Sitor Situmorang, yaitu sajak berjudul “Malam Lebaran”. Uniknya sajak itu ditulis Bung Sitor cukup dengan satu bait saja. Terkesan menyampaikan sajak minikata nan minimalis, setidaknya penyair Sitor Situmorang telah mampu menyindir saya dan kita yang tengah merayakan hari raya tersebut dengan berlapang dada. Betapa tidak, bait yang ditulisnya itu kira-kira sebagai berikut: / bulan di atas kuburan /. Demikian isi sajak Sitor yang ringkas, namun cukup mengernyitkan isi kepala orang awam yang membacanya. Satu sisi, bait tersebut terkesan lepas atau mutually exclusive terhadap tematik judul “Malam Lebaran” yang diangkatnya. Di sisi lain bait tersebut memang satu jiwa, satu ruh dengan penamaan judul; jika kita mampu merenungi makna dalamnya. Pertanyaannya adalah jika kita amati hal tersebut secara tekstual, maka anda dan saya tidak akan pernah dapati sinar bulan yang benderang tepat pada 1 Syawal, terkadang malam awal Syawal biasanya diliputi oleh cuaca mendung, berawan bahkan hujan, dan yang pasti tidak akan ada bulan. Saya teringat beberapa waktu lalu saya berjalan sore hari di pasar raya kota Padang, maka sedemikian mudah saya mendapati beberapa pengemis (bahkan mungkin banyak lagi) yang masih duduk menggopoh-gopoh di jalan, depan toko, bahkan memohon belas kasihan masuk ke toko-toko dan restoran-restoran. Mereka hadir dan nyata di tengah-tengah kita yang notabenenya akan merayakan pesta akbar dihari raya itu. Kita disibukkan dengan aktivitas mudik, sementara pengemis-pengemis dan anak-anak jalanan masih berkeliaraan di sana-sini, ditengah-tengah kita. Seharusnya bahan perenungan tersebut yang dimaksud Bung Sitor. Barangkali adalah berkah bila kita mampu sedikit berbagi rasa dan belas kasih dengan saudara-saudara kita itu. Mari kita sambut tangan mereka dan mari berbagi kebahagiaan dengannya. Untuk itu, belum terlambat bagi kita untuk menyalurkan bantuan, santunan sosial, zakat fitrah, dan yang pasti jangan sampai ada diantara mereka yang kelaparan ditengah-tengah hadirnya bulan suci ini dan Hari Raya tentunya. Jika itu jadi, maka saya dengan percaya diri membalasi sajak “Malam Lebaran”nya Bung Sitor itu dengan bait : / pelita membasuh kuburan /. Yang pasti, ini tak sekadar harapan. AMIN. Selamat Hari Raya Idul Fitri 1429 H.

Minggu, 24 Agustus 2008

AGUS SALIM : TEROPONG KEMERDEKAAN DAN POLITIK



Menjelang atau bertepatan peringatan kemerdekaan RI 17 Agustus, kita kembali diingatkan dengan figur kebangsaan kita. Penelusuran atau pengingatan itu menjadi medium bagi kita untuk kembali mengangkat semangat nasionalisme dan mentalitas berbangsa. Pencarian figur Bapak Bangsa atau “the founding father” sering dilakukan guna menggali informasi dari perjalanan patriotik ketokohan Bapak Bangsa tersebut. Berbicara tentang siapa figur Bapak Bangsa barangkali perhatian akan tertuju pada nama-nama, seperti sosok Dwi Tunggal Sukarno-Hatta, Syahrir, Supomo atau M.Yamin. Sukarno-Hatta terpilih jadi figur Bapak Bangsa itu wajar karena selain berperan sebagai proklamator juga menjadi pemimpin pertama Negara RI. Sutan Syahrir adalah tokoh kepartaian yang handal, sementara Supomo dan M.Yamin sangat menonjol peranannya dalam Panitia Sembilan sidang BPUPKI tanggal 29 April 1945. Ada satu tokoh lagi yang terkadang luput dari perhatian publik, yaitu sosok the grand old man1, H. Agus Salim (1884-1954). Agus Salim termasuk pada 68 Tokoh Bapak Bangsa terbaik yang pernah dimiliki Indonesia. Tokoh tua (Oude Heer) ini adalah sosok paling berjasa sekaligus sering dilupa (peranannya) dalam sejarah bangsa. Dalam Panitia Sembilan misalnya, Agus Salim tidak hanya dihormati karena faktor usia tetapi juga karena wibawa dan kepiawaiannya dalam berdebat mengemukakan pendapat di depan publik.

Sosok Agus Salim adalah sosok yang komplit. Ya, negarawan. Ya, politikus, agamawan, budayawan, sastrawan dan lain sebagainya. Kita bayangkan, Indonesia dahulu tanpa sesosok Agus Salim. Perjuangan Sukarno Hatta barangkali akan jauh “tersandung” tanpa ada peran Agus Salim dalamnya. Beliau dikenal sebagai lobbyst dan diplomator terbaik yang dimiliki bangsa saat itu. Jika Sukarno dikenal dunia sebagai orator, maka Agus Salim akan dikenang sebagai diplomator. Tercatat karir diplomasi politiknya gemilang dalam forum internasional terutama sepanjang tahun 1947 hingga 1953. Sebagaimana catatan Salam (1996), bahwa dalam suatu pertemuan Yogya tahun 1948, Belanda kembali bersikeras menegaskan pendirian negaranya. Agus Salim, tercatat dalam sejarah, bereaksi spontan : “Kalau Tuan-tuan menganggap usaha kami untuk mendapatkan pengakuan de jure2 dari negara-negara Arab atas Republik ini bertentangan dengan perjanjian Linggarjati, apakah aksi militer yang Tuan lancarkan terhadap kami sesuai dengan perjanjian Linggarjati?....” (disampaikan kembali oleh Mestika Zed : 2004). Publik kembali terperangah, lontaran pikiran dan kata-kata Agus Salim mampu menggugah forum Internasional berpihak ke Indonesia dan memaksa Belanda berunding kembali hingga penghujung 1949.

Agus Salim : Politik dan Islam
Sebagaimana diceritakan Emil Salim, kemenakan Agus Salim, komitmen terhadap demokrasi dicontohkannya dengan gamblang, Agus Salim menolak mentah-mentah permintaan jadi Ketua Umum Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Maret 1950. Alasannya, tercantum dalam surat kepada M.Zein Arief 26 Maret 1950, ngeri menyaksikan partai politik menggunakan jumlah anggota untuk memperoleh kursi kabinet. Lanjutnya, anggota partai dituntut lebih proaktif memberi dukungan di DPR tanpa memandang kecakapan dan pengalaman mereka. Nah, kondisi itu bertolak belakang dengan sekarang dimana ambisiusitas personal mengalahkan segalanya. Tiap personal dalam partai saling berebut jatah jadi pimpinan umum partai. Disamping itu, pemilihan anggota partai tidak lagi merujuk pada kenyataan bahwa kecakapan dan pengalaman jadi konsiderasi primer lebih dari faktor-faktor lainnya.

Lanjutnya, Simanungkalit (2004), mengutip pendapat Agus Salim, dalam negara demokratis, paham politik mesti disiarkan di kalangan rakyat. Saat itu, Indonesia baru mengembangkan demokrasi, rakyat sangat perlu memperoleh penerangan dan pencerahan yang dapat menstimulus jalannya demokrasi yang sehat. Artinya, “pencerahan” yang dimaksud tidak hanya menjadi tugas individu yang tergabung partai, tetapi menjadi tugas semua kalangan untuk memberi pemahaman semacam itu.

Pasca menolak permintaan PSII untuk jadi Ketua Umum partai, Agus Salim malah membentuk Partai Penyadar (1936). Kali ini Agus Salim mengorientasikan diri pada misii sosial, religi dan kemanusiaan. Sebagai ulama besar, Salim tetap kentara dengan tradisi luhur keislaman, sebagaimana tersurat dan tersirat pada misi partainya, yaitu menyadarkan umat manusia agar berpegang pada Al Qur’an dan Sunah. Dalam misi sosial kemanusiaan, Salim mencurahkan perhatian bagi pemberdayaan kelompok masyarakat kecil melalui Persatuan Pedagang Pasar, Persatuan Sopir Oplet, Perkumpulan Buruh Batik, dan seterusnya. Suatu hal menarik, tidak ada label partai dan persatuan bernuansa Islam dalamnya, tetapi Agus Salim justru mampu memberikan ruh organisasi dalam semangat Islam humanis, yang dihayati dan diterapkan secara integral dalam pengimplementasian, bukan simbol belaka.
***

Negarawan Kita
Agus Salim adalah sosok negarawan tangguh. Beliau tidak hanya politikus ulung tapi sudah menjelma jadi the founding father yang barangkali langka ditemukan saat ini. Agus Salim hidup dalam kesederhanaan, bahkan mungkin “melarat”. Beliau mengorbankan jiwa demi kepentingan bangsa dan negara. Benar, jika beliau tidak sebijak itu, sudah tentu beliau lebih diuntungkan ikut Belanda saja yang menjanjikan harta dan kekayaan buat orang-orang berpengaruh saat itu. Benar, analogi terbalik seratus delapan puluh derajat, bila dibanding saat ini.

Lahir di Ranah Minang, Koto Gadang Bukittinggi (8 Oktober 1884), beliau telah menorehkan garis sejarah dikening kita semua, yang notabene orang Minang ini. Beliau telah menjelma jadi Bapak Bangsa sekaligus figur tangguh yang berani menantang dunia. Satu lagi peran yang beliau tunjukkan, yaitu perjuangan dalam pencantuman “Republik Indonesia berdiri atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa”, hingga butir ini termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Kemerdekaan hakikatnya adalah rahmat dan karunia Allah SWT, jika kita bawa pada dimensi saat ini, bagaimana kita sebagai bangsa tak lagi terjajah dapat mensyukuri dan mempertanggungjawabkan semua itu?. Sementara kita tetap berbaris dan “berjalan” di tempat itu ke itu juga. Ibarat memutar lagu lama yang selalu terseot tatkala dimainkan. Katakanlah, percaturan politik yang “kurang rasa” terhadap rakyat, praktik suap-korupsi, kolusi, penyelewengan dan konspirasi telah menodai catatan rasa syukur kita yang termaktub itu. Kemerdekaan ini kah yang kita maksud?. Sebuah kesia-siaan yang barangkali Agus Salim sendiri (bila masih hidup) akan terbatuk-batuk mual dibuatnya. Moga nurani kita bisa menjawabnya...
***

*Disarikan kembali dari Mestika Zed (2004).
“The Founding Fatherdari Negeri Kata-Kata”, dan dari
Salomo Simanungkalit (2004). ”Demokrasi,
Dinamika Islam, serta Islam dan Negara”


Catatan :
1 gelar tersebut diberikan langsung oleh Bung Karno
2 Republik tak hanya diakui de facto tapi de jure

Jumat, 22 Agustus 2008

SASTRA : PERSPEKTIF SEJARAH DAN KEMERDEKAAN



Peran sastra dalam kemerdekaan mampu mengimbangi vitalitas gerakan kebangkitan yang ekstrim dengan digantikan dengan pola perjuangan moderat. Domain sastra mampu menyentuh, dan meresapi nurani pembaca bahkan “meresahi” publik yang jadi penafsir makna saat itu, yaitu kaum kolonialis.



Seorang Partha Chatterjee (pemikir India) dan Reynaldo Ileto (pemikir Filipina) mengakarkan nasionalisme bukan hanya pada mesiu, perundingan, kognisi barat, dan kapitalisme percetakan (print capitalism), melainkan pada emosi Dionysian (passion) yang dipancarkan puisi dan daya kata (Latif :2008). Sebuah retorika dan daya kata itu menjelma dan berdaya dorong kuat jadi sarana pergerakan (:perjuangan) yang dapat menyamai bahkan melebihi konfrontasi, diplomasi, dan kognisi politik. Bila menilik ke belakang (:sejarah), maka akan kita temukan beberapa catatan yang memuat posisi sastra dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Sebagai contoh, sosok Chairil Anwar tampil menonjol sebagai sosok yang penuh semangat hidup dan sikap kepahlawanan. Sebagaimana catatan Sapardi Djoko Damono (1985), dalam larik “Krawang Bekasi”, sajak saduran Chairil itu ditulisnya tahun 1948 ketika semua menyadari kesulitan yang dihadapi kebanyakan pemimpin bangsa saat itu (baca: Sukarno, Hatta, Syahrir). Tiga larik yang ditulis Chairil : //Menjaga Bung Karno/ Menjaga Bung Hatta/ Menjaga Syahrir// menjadi larik monumental yang mampu menggugah nurani publik saat itu. Lanjut Sapardi, seorang Chairil tidak pernah secara eksplisit menyatakan keterlibatannya pada kegiatan politik, tetapi setidaknya dalam sajak “Persetujuan dengan Bung Karno” (1948) menjadi sajak politik orisinilnya yang dianggap “paling berhasil” mengobarkan semangat generasi saat itu. Chairil dalam lariknya menyatakan bahwa sejak Proklamasi ia “melangkah ke depan berada rapat di sisi” dan merasa bahwa ia dan Bung Karno “satu zat satu urat”.
***

Ketika Politikus Bersastra
Jauh sebelum Chairil berkarya, peran sastra dan kesusatraan umumnya sudah mengakar rambat dalam nadi pejuang politik Indonesia saat itu semenjak era 1920 an. Seperti dikemukakan Yudi Latif (2008) bahwa perjuangan kebangkitan selalu dimulai dari kerja wacana. Tanpa kata, perjuangan kehilangan arah. Sepakat dengan Latif, praktisnya, perjuangan mesti harus dimulai dan dikerahkan dari tiap dimensi termasuk dimensi kultural dan lintas bahasa (kesusastraan). Faktanya, sejak 1924, Muhammad Hatta telah terlibat aktif di Perhimpunan Indonesia (PI) seraya tak lupa Hatta menulis puisi-puisi patriotik (: dua yang terkenal Beranta Indera dan Hindania). Pada tahun 1926, Sukarno juga secara aktif menulis di Jurnal Indonesia Moeda dan dalam waktu bersamaan, ia menjadi editor majalah SI, dan Bendera Islam (1924-1927). Tidak banyak yang tahu, Sukarno, politikus dan negarawan kelas wahid Indonesia itu, juga sempat menulis naskah drama selama masa pembuangan. Sutan Syahrir, disamping aktif di PI, kelak ia juga berperan aktif mengisi Jurnal Daulat Rakyat. Tak banyak yang tahu pula, Syahrir juga dikenal sebagai pemain sandiwara dan sering menekuni kelompok diskusi dan kerja jurnalistik sastra sesama koleganya ko-editor Jurnal Pembela Islam (1929). Hamka tak asing lagi dimata publik karena tersyohor kepiawaiannya menulis roman fenomenal Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk. Artinya, negarawan dan politikus saat itu tak dapat tidak melepaskan diri dari torehan pena, lewat sastra, jalur jurnalistik dan kesenian mereka turut andil berjuang.
Hakikatnya, “keberaksaraan” sastra_meminjam istilah Latif_telah bertransformasi positif jadi medium penyampaian kognitif, ide dan aspirasi dengan derajat literasi dan nilai (value) yang tinggi. Peran sastra dalam kemerdekaan mampu mengimbangi vitalitas gerakan kebangkitan yang ekstrim dengan digantikan dengan pola perjuangan moderat. Domain sastra mampu menyentuh, dan meresapi nurani pembaca bahkan “meresahi” publik yang jadi penafsir makna saat itu, yaitu kaum kolonialis. Maka tak jarang di era pencapaian kemerdekaan, pejuang dan pemimpin bangsa yang menguasai retorika, mahir menulis esai dan juga sastra berulang kali “dipeti-eskan” oleh kaum kolonial. Sebut saja, Sukarno, Hatta, Hamka, Syahrir (terlepas dari posisi politik) berulang kali jadi ‘bulan-bulanan” penguasa ditangkap, dibuang dan diasingkan.
***

Sastra dan Hegemoni Politik
Antonio Skarmeta, sastrawan Chile, mengatakan, jika modernitas bukan sekadar budaya efisiensi, dan jika demokrasi bukan hanya pesta pemilihan dan penjelimetan prosedur politik, akan selalu ada intelektual-sastrawan di seberang struktur politik-berhadapan dengan mereka yang memburu kekuasaan-di luar institusionalisasi akademik dan negara. Pendapat ini mencerminkan bahwa sastrawan dasarnya berada pada posisi masyarakat awam yang merindukan demokrasi yang murni. Ia turut mengambil peran menentang ketidakadilan dan turut menelanjangi peta politik yang tiran. Pada zaman kolonial, sastra dan esai patriotik, dicap sebagai “bacaan liar” dan harus dilenyapkan. Oleh karena urgensi sastra dan esai kala itu telah menjadi konsepsi tajam yang mampu menggugah dan menggerakkan nurani orang banyak. Kesadaran nasional salah satunya terbentuk lewat medium ini. Dalam usahanya, pemerintah kolonial saat itu menggelar larangan terhadap bacaan yang dianggap dapat merusak kekuasaan pemerintah saat itu lewat pendirian Komisi Bacaan Rakyat atau Commisie Voor de Inlandsche School en Volkslectuur tahun 1917 (Rosidi: 1968). Sejak abad 19, sastra, khususnya kesustraan Melayu saat itu telah berkembang hingga mengalahkan peranan bahasa Belanda yang saat itu hendak dikukuhkan jadi bahasa resmi negara. Keberadaan sastra Melayu yang juga beriringan dengan penyeruan penggunaannya oleh tokoh nasional sangat membantu perkembangan lahirnya Bahasa Indonesia (Sumpah Pemuda 1928).
Keberadaan sastra pada periode kelahiran diawali dengan gebrakan sastra oleh M.Yamin, Rustam Efendi, Sutan Takdir Alisyahbana, Armijn Pane, Amir Hamzah, JE Tatengkeng dan seterusnya. Pada dekade 1920 an, M.Yamin, Sanusi Pane, Hatta dan Rustam Efendi banyak menulis soneta yaitu bentuk puisi yang berasal dari Italia. Soneta yang mereka buat tidak hanya bermotif romantik tetapi juga kebanyakan bersentral pada nilai perjuangan. Sastrawan pada periode kelahiran telah menggoreskan tinta emas dalam posisi kesusatraan Indonesia jauh seblaum periode perkembangan yang dipelopori Chairil Anwar lahir. Budi Darma (2008) mengemukakan bahwa retorika (:sastra) berkaitan dengan aspirasi politik, dan aspirasi politik sangat mungkin berkaitan dengan protes, misalnya protes terhadap penjajahan, rasisme, ketidakadilan sosial, dan lain sebagainya. Bung Karno adalah orator sekaligus pencinta sastra, dengan kelihaian retorika bahasa (: jika retorika identik orasi), beliau mampu membakar semangat revolusioner dan menyerukan persatuan bangsa. Demikian juga dengan peranan sastra sebagai dulce et utile (: keindahan dan manfaat), merupakan hakikat moral yang salah satunya tercermin dalam puisi Hatta, M.Yamin, Rustam Efendi, roman Hamka, serta sajak Chairil juga. Demikian, sastra akan tetap berperan menyerukan protes aspirasi yang konon berlanjut “sedu sedan”nya_ meminjam istilah Chairil _hingga saat ini. (Sebuah Kado Kemerdekaan Indonesia Agustus 2008)
***

Jumat, 08 Agustus 2008

DI LORONG ALIF IA MEMBACA

Inspirasi Q.S Al Alaq : 1-5

siapa bilang ia buta ?
mereka saja tak paham makna
ia bisa membaca

siapa bilang ia buta ?
kau saja tak hiraukannya
ia sanggup berirama

Aku ?
“aku bilang ia buta ?”,
“Tidak”.
Ia mampu melelehkan
tetes air mata dalam
Luka
AlifNya.

Senin, 04 Agustus 2008

PENYAKIT KRONIS ITU, BERNAMA KORUPSI


BARU-baru ini kita dikabarkan dengan headlines di media massa yang santer memberitakan kasus korupsi yang melibatkan oknum legislatif. Kasus tersebut memang menjadi realitas pahit bagi bangsa ini, tatkala masyarakat Indonesia seantero negeri belum bisa menghela nafas dalam-dalam pasca kenaikan BBM. Satu wacana belum tuntas “diredam”, wacana lain siap sedia antri “mengunyam”, bahkan siap menggilas rating wacana sebelumnya. Satu wacana disambari kilat oleh wacana lain yang datangnya silih berganti, sebut saja wacana kenaikan BBM, skandal korupsi, kasus suap, hingga yang teraktual kasus pemadaman listrik. Namun, barangkali, saya dalam kesempatan ini lebih tertarik untuk memfokuskan diri pada satu wacana saja, yaitu K-O-R-U-P-S-I. Tujuh penggalan huruf itu pula yang kemudian membentuk satu kata yang barangkali sangat lazim dikenal oleh masyarakat republik ini. Sebagai seorang mahasiswa, tentu saja wacana ini menjadi menarik buat saya, dengan tidak bermaksud untuk menyebut wacana lain kurang “istimewa”, namun setidaknya wacana ini beranjak dari catatan kritis saya dalam domain latar belakang yang tentunya mengharuskan saya “tanggap” dalam menyikapi persoalan tersebut di atas.
Barangkali, wacana ini sudah menjadi wacana yang umum dibahas, dan barangkali pula wacana ini telah menjadi wacana kesekian dari sekian banyak wacana lain yang telah turut serta mengulas tajam persoalan yang sama. Namun, saya tak bermaksud sekadar membuat catatan ringkas untuk “menggenapkan” atau “menyempurnakan” bahasa (language) dan bahasan (contents) wacana terdahulu yang kurang lebih akan bernada sama, dan wacana ini saya buat dari sebuah epos nurani. Epos nurani bagi seorang penulis (:saya tentunya), yaitu dorongan yang terus “memaksa” dan “menghantui” saya untuk segera berbuat dengan menuangkan pikiran dan nurani apa adanya dari realitas apa adanya pula.
Berbicara tentang fokus masalah bernama KORUPSI, tentu telah menjadi polemik umum yang tiada habis-habis dikuak, terutama saat rezim Orde Baru nyata lengser pada era reformasi 1998. Wujud penyakit kronis korupsi sudah menunjukkan gejala yang amat kritis, sulit dicarikan antibiotik dan resep penyembuhannya. Gejala kronis korupsi diindikasikan dahulu dengan gejala “batuk-batuk” yang berpuluh tahun lamanya, kemudian “meradang” dalam kanker tenggorokan dan paru yang kian menyesakkan bangsa ini. Radang itu pula yang membuat bangsa ini kesulitan “bernafas”, karena paru dan tenggorok sudah dipenuhi oleh “lendir” dan “kuman” yang teramat banyak. Realitas itu pula yang kemudian “mengakar rambat” dalam arteri dan nadi, kemudian “mendarah daging” mulai rezim terdahulu hingga sekarang. Kebohongan publik bahkan konspirasi politik yang dahulunya dengan rapi “dipetak umpeti”, “diselubungi” dalam-dalam kian terkuak dan muncul ke permukaan bak terbang roket berkecepatan tinggi menembus langit yang menjulang.
Sungguh, kasus korupsi dewasa ini telah menjadi “medan catur” yang siap menyuguhkan area permainan yang serba “wah” dan menggiurkan bagi tiap pemainnya. Dalam permainan semacam itu, para oknum birokrat, pejabat legislatif, penegak hukum dan elit politik turut berperan jadi “bidak catur” yang warna bidaknya hitam. Ada bidak yang warnanya putih, namun tentu saja bidak tersebut tak bertahan lama karena terus digilas bidak-bidak lainnya, kemudian diseret ke dalam medan untuk segera bertukar “rupa” dan warna. Kebohongan dan permainan semacam itulah yang kemudian menjadi beban berkepanjangan yang harus ditanggung dan dipikul oleh rakyat kecil, petani, peladang dan pedagang kecil yang bekerja mencucuri keringat siang dan malam. Oleh karena perbuatan terkutuk dan laknat dari oknum tak bertanggung jawab, maka rakyat kecil ini pula yang harus menanggung pilu dalam gubuk penderitaan sekian lamanya.
Berangkat dari wacana korupsi pasca Orde Baru dikuak tuntas dan “diberangus”, sepeninggal itu “gudang masalah” tak cukup berhenti sampai di situ saja. Berharap kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme diusut dan digilas, setali dua tali dengan sebelumnya, kasus itu justru mewabah dalam siklus berulang berkepanjangan. Siklus berulang itu tentunya telah terancang dalam “skenario sistem” yang sangat mapan. Era reformasi yang hebat dalam meneriakkan slogan anti korup dan suap menyuap akhirnya berbalik menghadapi realitas pahit kemudiannya. Elit politik kala itu tak henti-hentinya meneriakkan slogan yang sama jelang kursi kepemimpinan didapatkan, alhasil semua hanyalah spanduk retorika untuk “mengambil hati” publik. Akhirnya, rakyat kecil kembali yang jadi tumbal kata-kata dan pengorbanan dari aktuasi slogan yang selama ini disemboyankan.
Alhasil, saat ini, kasus korupsi kian padu lebur dalam rumusan fasa yang kian rumit. Selalu ada “celah” untuk mencacah dan menenggak habis harta kekayaan rakyat dan negara, yang seyogyanya diperuntukkan untuk kesejahteraan rakyat. Wakil rakyat kembali berteriak “ini adil” dan “ini tak adil”, sementara tangan kirinya sempat-sempatnya “bermain mata” dengan tangan kanan hingga kasus kebobrokan ini terjadi berulang kali. Tak hanya legislatif (:oknum) yang berbuat keliru, tak tanggung-tanggung, lembaga supremasi macam kejaksaan agung juga tak luput dari jamahan penyakit kronis ini (:korupsi). Korupsi, suap, amplop pelicin, apapun namanya, merupakan “payung istilah” yang bersaudara tiri, bahkan kandung, satu dengan lainnya. Penyakit kronis itu pula yang mencemari otoritas pimpinan pusat, daerah, legislatif, birokrat hingga kejaksaan, hingga kehilangan martabat dan kepercayaan di mata rakyat. Bila kita cermati secara detail, maka lebih akan kita temukan ketimpangan-ketimpangan lain yang muncul dari mekanisme struktur dan hirarki jabatan dilembaga pemerintahan bangsa ini. Penyakit kronis KORUPSI ini telah menjalar jadi penyakit warisan yang sulit disembuhkan dan ditemukan “penawar” manjurnya.
Semoga saja, KPK, LSM, dan lembaga pemerhati korupsi, serta masyarakat umumnya dapat bekerjasama dan bahu-membahu dalam menyikapi persoalan ini hingga bentuk ketidakadilan semacam ini bisa diusut Tuntas, Tegas, dan Bernas (TTB). Semoga saja, para elit politik nanti tidak terlalu sibuk mengkampanyekan diri anti korupsi, seperti halnya kampanye dokter paru pada pasien-pasiennya yang menyarankan tiap pasien berhenti merokok demi kesehatan. Sementara, sepeninggal pasien, si dokter seenaknya “mengembul asapi” rokok dalam ruangan, sembari bergumam dalam hati : “biarkan saya berbuat dengan tenang, yang penting nasihat tak akan pernah berlaku buat diri saya”. Semoga saja analog demikian “salah”. Semoga.

Jumat, 25 Juli 2008

KOSAKATA MINI

KOSAKATA MINI 1
Catatan kecilku :
biografi, prosa, puisi & esai.
“ dimana aku dan kuburku ?”
**

KOSAKATA MINI 2
aku tak ingin libatkan diri
dalam sunyi yang syahdu.

jeruji aku dalam palung
kerinduan dalam
lagu AlifMu
**


KOSAKATA MINI
Alif
....

Mendekatlah!


2008

PETANI DALAM HUJAN

berikan aku suara hujan
suara katak pesawahan malam
menyanyi riang sahut-sahutan.

sawah. Aku.
Adalah satu;
(: satu pematang
satu arteri, dalam
hujan dan bayang )

taburi bunga-bunga kehidupan
romansa malam ruang-riang.
Mari Menyanyi !
Mari berparodi !
Mari.. Mari.


2008

Rabu, 23 Juli 2008

WAJAH INDUSTRI KECIL DI SUMBAR

Dalam peranannya sebagai katalisator pertumbuhan ekonomi nasional, perusahaan kecil (termasuk dalamnya sektor informal), menjadi lahan strategis untuk ditumbuh kembangkan, seperti yang dikemukakan Swasono (1986) bahwa dalam kenyataannya sektor informal merupakan bagian tak terpisahkan dari kerangka perekonomian nasional.


SUMATERA Barat menuju era industri?. Kenapa tidak, jawabnya. Sekilas pintas SUMBAR memang masih dipandang sebelah mata sebagai wilayah industri berkompeten di Indonesia. Hal tersebut memang beralasan, karena di SUMBAR sendiri sektor industri dengan largest investment masih dapat dihitung jari. Beberapa industri kompetitif di SUMBAR, diantaranya yaitu industri semen, tambang, tekstil, dan industri pangan. Beberapa diantara industri tersebut ada yang masih eksis dan ada pula yang ‘gulung tikar’, khususnya pasca krisis moneter 1998. Bila dibandingkan dengan daerah lain, seperti Sumatera Utara (SUMUT), Kepulauan Riau, terutama Jawa, maka jumlah dan perkembangan industri berkapital besar di SUMBAR masih belum menunjukkan taraf pertumbuhan yang signifikan. Artinya, jika pandangan umum berlaku bahwa kategori industrialisasi wilayah ditentukan oleh kuantitas, tepatnya, seberapa banyak industri largest investment menanamkan modal di suatu daerah/wilayah, maka tentu saja SUMBAR tidak diperhitungkan masuk ke dalam rating statistik. Namun, ada poin penting di sini, jika kita merujuk pada realitas bahwa kerangka industri tidak semata largest scale industries saja, tapi juga melibatkan small scale industries yang dikenal dengan sektor Industri Kecil dan Menengah (IKM). Sektor industri juga melibatkan peranan dan fungsi sektor IKM.
Di Indonesia, Jumlah unit usaha sektor industri kecil tahun 2003 sebanyak tiga juta unit usaha, industri menengah 16.411 unit, dan industri besar 7.593 unit. Jumlah tersebut meningkat apabila dibandingkan dengan tahun 2002. Jumlah unit usaha sektor industri kecil tahun 2002 sebanyak 2,55 juta unit usaha, industri menengah 15.952 unit, dan industri besar 6.735 unit. Dari data Departemen Perindustrian (Depperin), output sektor industri kecil tahun 2003 mencapai Rp 23,08 triliun. Sementara itu, output sektor industri menengah Rp 17,57 triliun dan output sektor industri besar Rp 63,83 triliun [Dikutip: Kompas: 2004]. Untuk itu diperlukan sinergitas antara pemberdayaan industri besar, menengah dan kecil dalam satu tatanan perekonomian nasional. Stayle dan Morse (Hasan:2002), menyatakan bahwa struktur ekonomi paling produktif adalah integrasi antara industri besar, menengah, dan kecil, yang akan saling mengisi satu sama lain. Karena itu, industri kecil menjadi komplemen yang tak dapat ditinggalkan dalam kerangka ekonomi nasional. Dalam peranannya sebagai katalisator pertumbuhan ekonomi nasional, perusahaan kecil (termasuk dalamnya sektor informal), menjadi lahan strategis untuk ditumbuh kembangkan, seperti yang dikemukakan Swasono (1986) bahwa dalam kenyataannya sektor informal merupakan bagian tak terpisahkan dari kerangka perekonomian nasional. Adanya sektor informal (: juga IKM) bukan sekedar karena terbatasnya lapangan pekerjaan, apalagi sekedar penampung lapangan kerja inkompeten, sebaliknya sektor informal telah menjadi pilar bagi ekonomi nasional. Pandangan tersebut, masih menurut Swasono, dikuatkan lagi oleh kenyataan bahwa perusahaan kecil dapat menyerap sekitar 71% jumlah tenaga kerja, sementara perusahaan besar hanya dapat menyerap sekitar 1,5% saja.
Bila melihat pada faktor jumlah (kuantitas), SUMBAR memiliki jumlah unit industri sebanyak 47.819 unit, terdiri dari 47.585 unit industri kecil dan 234 unit industri besar menengah, dengan perbandingan 203 : 1. Pada tahun 2001 investasi industri besar menengah mencapai Rp 3.052 milyar, atau 95,60% dari total investasi, sedangkan industri kecil memiliki investasi Rp. 1.412 milyar atau 4,40% dari total investasi. Nilai produksi industri besar menengah tahun 2001 mencapai Rp. 1.623 milyar, yaitu 60 % dari total nilai produksi, dan nilai produksi industri kecil mampu mencapai Rp. 1.090 milyar, atau 40% dari total nilai produksi [Dikutip: http://padanginfo.wordpress.com/]. Angka tersebut masih dapat ditingkatkan jika pihak industri kecil dan menengah (IKM) serta stakeholder lainnya mampu mengoptimalisasikan kerangka dan program pembinaan IKM yang bernas dan komprehensif.
Secara umum, perusahaan kecil dan menengah di SUMBAR bergerak pada industri pengolahan pangan, sandang dan kulit, kerajinan, serta industri serat dan mebel. Kuantitas tersebut cenderung bergerak linear sejalan dengan perkembangan penduduk dan dimensi strategis teknologi. Oleh karenanya, pemerintah tidak dapat menutup mata terhadap realitas ini. Besarnya jumlah IMKM di Indonesia umumnya, yang hakikatnya industri padat karya, telah menjadi fokus perhatian pemerintah pusat hingga daerah. Demikian juga di SUMBAR, fokus perhatian terhadap IKM sejalan bergulir dengan program pembinaan dan pengembangan usaha kecil yang dicanangkan sejak berdirinya Direktorat Jendral Industri Kecil (DJIK) pada tahun 1978. Program DJIK direalisasikan dengan bantuan perangkat keras (hardware) terwujud dalam bentuk penyediaan alokasi usaha, bantuan permodalan, penyediaan fasilitas layanan bersama (common service facilities) pada sentra industri kecil. Bantuan perangkat lunak (software) terlihat dalam penyelenggaraan pendidikan dan diklat untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan bagi pengusaha kecil, konsultasi peningkatan/pembinaan usaha, pengadaan Gugus Kendali Mutu (GKM), bantuan promosi dagang serta pelbagai kemudahan lain yang dapat menstimulus enterpreneur usaha kecil dalam mengembangkan usahanya.
*
Persoalan Klasik
SEBAGAI pendorong gerak pembangunan dan perekonomian, seyogyanya industri kecil mendapat fokus perhatian dan pembinaan yang serius. Industri kecil memiliki pola karakter yang tidak dimiliki oleh perusahaan menengah atau besar, seperti biaya organisasi lebih rendah, keuntungan dari segi lokasi, kebebasan bergerak serta rendahnya biaya investasi. Namun, sisi lainnya, sektor IKM juga tak luput dari sentra masalah, terutama bila dilihat dari segi prioritas permasalahannya. Mengenai persoalan klasik atau tepatnya kelemahan yang dimiliki oleh perusahaan kecil di SUMBAR khususnya, Said (1991) menyimpulkan pelbagai permasalahan berikut : kurangnya kemampuan wirausaha di bidang administrasi, lemahnya kemampuan pemasaran, kekurangan modal dan kesulitan untuk akses dengan sumber-sumber modal, serta kurangnya kemampuan untuk mendapatkan informasi dan teknologi yang diperlukan guna pengembangan usaha. Sedangkan Anwar (1991), menambahkan problem kelompok perusahaan kecil di SUMBAR (Kotamadya Padang khususnya) juga dihadapkan dengan persoalan rendahnya tingkat keuntungan usaha. Lanjutnya, perusahaan kecil hanya beroperasi pada posisi Break Event Point (BEP) di sekitar titik impas saja. Tentu saja, kondisi ini dipicu dari rendahnya tingkat pendidikan, pengalaman usaha dan faktor kritis lainnya.
Persoalan klasik lainnya yang seringkali dikeluhkan oleh kalangan pengusaha industri kecil umumnya dan masyarakat konsumen khususnya, yaitu ketatnya persaingan antara produk lokal dan non lokal. Sehingga, muncul polemik bahwa produk lokal tidak akan mampu bersaing dengan kompetitor (importir) di pasaran, belum lagi jika masalah dikerucutkan dengan tajamnya ongkos produksi yang membuat harga produk lokal melambung tinggi. Adakalanya pengusaha industri kecil yang ‘tanggap situasi’ tidak terlalu dipusingkan dengan hal ini karena adanya kecendrungan mereka untuk mengorientasikan usaha pada aspek pasar (: new paradigm). Setidaknya sikap tersebut berimplikasi positif bagi kemajuan usaha bila dibandingkan pengusaha yang “getol-getolan” berorientasi pada produk semata dibanding pasar (: old paradigm).
Persaingan produk dengan pihak importir merupakan hal yang tak dapat dihindarkan. Produk yang memiliki keunggulan, taste dan karakter kuat yang pada akhirnya akan memenangkan bursa persaingan. Demikian sebaliknya. Akan tetapi, persoalan di atas dapat disikapi jika pengusaha industri kecil di SUMBAR khususnya, dapat memainkan peranan pada strategi pasar dan penjualan. Tentu saja upaya ini diiringi dengan “penguatan karakter” produk atau penonjolan kekhasan atribut dari produk yang dipasarkan. Pengelolaan manajerial dan teknis tak dapat pula untuk diabaikan guna meminimalisir pemborosan akibat produksi (waste) yang berujung pada peningkatan produktifitas dan efisiensi perusahaan.
Modal menjadi persoalan klasik yang juga sering dimunculkan. Menilik pada sumber modal, sebagian besar modal industri kecil SUMBAR berasal dari lumbung modal pemilik perusahaan sendiri, hanya sebagian kecil yang berasal dari lembaga keuangan atau pihak ketiga. Pembatasan pemilikan modal dari industri kecil terutama disebabkan bentuk usaha dan sistem pengelolaan keuangan belum sepenuhnya meyakinkan perhatian luar atau lembaga perbankan. Persoalan ini salah satunya dipengaruhi oleh faktor intern dari mental wirausaha (enterpreneurship mentality) dari pengusaha kecil itu sendiri. Kemampuan untuk melakukan lobi usaha, pengajuan proposal usaha, pengelolaan manajemen organisasi secara baik menjadi substansi yang mutlak diperhatikan. Dewasanya, saat ini, pemerintah lewat Departemen Koperasi dan Usaha Kecil Menengah telah menyediakan pelbagai kredit usaha melalui Koperasi Usaha Kecil dan Menengah (KUKM), yang idealnya dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh pemilik dan penggalang usaha kecil, SUMBAR khususnya.
**
Pokok Pembinaan
INDUSTRI kecil harus dibina dan ditumbuhkembangkan. Pola pergeseran metode diterapkan lewat transformasi fungsi tradisional ke tingkat fungsi yang lebih modern (sophisticated) ; baik bila ditinjau dari penyediaan peralatan (equipment) ataupun dari segi penerapan pola manajemen (methods). Pola pergeseran tersebut dilakukan seiring dengan perkembangan teknologi dan knowledge management yang dimiliki dengan tanpa mengabaikan unsur-unsur dan substansi khas yang dimiliki. Di SUMBAR, misalnya, keberadaan sektor industri harus disesuaikan dengan kultur alam dan potensi masyarakat. Dengan demikian, tidak diinginkan munculnya konflik makro akibat kontaminasi lingkungan oleh industri, penelusuran bahan baku ilegal, pengalokasian SDM lokal yang inproporsional, dan lain sebagainya. Idealnya, pembinaan industri kecil harus diselaraskan dengan arah pengembangan dan potensi daerah. SUMBAR dasarnya adalah daerah bertekstur agraris, dimana sektor pertanian memegang peranan vital dalam perekonomian masyarakat. Dengan demikian, perlu diupayakan pertumbuhan yang komplementer antara sektor industri dengan sektor pertanian guna melahirkan sektor agroindustri yang sehat. Di beberapa daerah SUMBAR, seperti daerah Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten Lima Puluh Kota, Kabupaten Dharmas Raya, Kabupaten Solok telah diberdayakan agroindustri yang berawal dari sektor IKM, seperti pengadaan industri penghasil produk pertanian (: hydrotyller dan tresser), industri pengolahan kelapa sawit, serta industri perkebunan teh. Keberadaan agroindustri turut mencerminkan corak dan kultur masyarakat Minang yang ada di SUMBAR itu sendiri.
Prinsip pokok yang harus dipakai dalam pembinaan industri kecil harus diarahkan pada sentra-sentra industri. Dasarnya, daerah SUMBAR telah mendapat skala prioritas sentra industri, pada range sentra utama hingga range sentra berkembang. Di Kotamadya Padang, industri kecil telah berada pada sentra utama dimana industri kecil telah berkembang dengan baik dan sarana pembinaan yang telah dapat difungsionalisasikan keberadaannya. Pengelolaan Balai Latihan Kerja (BLK) salah satunya contoh sarana pembinaan pekerja yang penting untuk diberdayakan. Namun, persoalan terpulang pada seberapa efektifkah pengelolaan yang telah dilakukan sehingga dapat mengakomodir kepentingan industri dalam menjalankan usahanya. Begitu juga, dengan program Gugus Kendali Mutu harus dioptimalisasikan keberadaannya merujuk kenyataan program ini beberapa tahun terakhir belum sepenuhnya dapat memuaskan masyarakat dan sentra industri.
Sementara pada tingkat daerah/kabupaten, sentra industri baru berada pada range sentra berkembang, yaitu sentra yang baru dimonitor tetapi masih diperlukan pokok pembinaan yang intensif. Disadari atau tidak, pertumbuhan sektor industri kecil akan dapat membantu beban pemerintah dalam mengatasi masalah pengangguran. Disamping itu juga turut menunjang tercapainya pemerataan kesempatan kerja dan pemerataan pendapatan. Dalam pelaksanaannya, tentu saja wirausaha industri kecil dan menengah tidak dapat bergerak sendiri dan independen tanpa adanya bantuan dari pihak lain (stakeholders). Peran pemerintah secara konkrit maupun pemerintah dalam wadah instansi sangat dibutuhkan. Sebut saja peran stakeholders dalam wadah instansi maupun lembaga, seperti Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Departemen Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Departemen Tenaga Kerja, Kamar Dagang dan Industri (KADIN), Pemerintah Daerah, Balai Latihan Kerja (BLK), Perbankan, Perguruan Tinggi serta instansi lainnya yang berperan penting dalam pengembangan industri kecil tersebut.

Jumat, 18 Juli 2008

MASA LALU & MASA DEPAN

Time present and time past
Are both perhaps present in time future,
And time future was present in time past
(TS. Eliot)


Waktu adalah Pedang. Demikian untaian indah yang saya petik dari pepatah Arab termasyhur. Pepatah tersebut memiliki makna filosofis yang dalam bila kita renungkan. Dalam meniti sebuah kehidupan, maka kita tidak akan pernah lepas dari dimensi waktu. Hidup adalah perputaran waktu. Waktu, adalah satuan yang dinamis, tak mengenal lelah untuk berhenti berjalan dan berputar meniti detik kehidupan yang juga dinamis. Waktu relatif berubah sesuai dengan zamannya. Sebagai satuan yang dinamis, perihal waktu tak akan dapat diputarbalikkan, diubah alurnya, dihentikan keberadaannya; meski sejenak (terkecuali satuan itu sudah berada dalam kulminasi akhir dari ‘tetapan’ yang termaktub).

Dalam rentang waktu yang telah kita lalui terdapat suatu rekaman realitas yang menjadi blueprint kehidupan kita. Kehidupan adalah bentukan realitas yang memiliki warna dan rasa tersendiri. Warna dan rasa itu kita peroleh setelah melewati perspektif masa lalu yang panjang hingga saat ini. Perspektif masa lalu itu yang kemudian membawa kita ke dalam rekaman memori yang indah, “pahit”, bahkan “asin”.

Dalam konteks global, masa lalu dapat juga disebut sebagai sejarah (:jika telah berbaur dengan tajam dalam tatanan sistem kebangsaan). Perihal masa lalu (:konteks global) tidak akan pernah lepas dari sejarah. Sejarah adalah wujud kondisi masa lalu yang terekam kuat lewat realitas empirik yang dalam. Sejarah telah memuat dengan kompleks catatan ringkas, hingga catatan panjang tiap kondisi heroik, humanis, sosial, politik, heterokultural, religi dan lain sebagainya dalam pandangan kebangsaan yang kuat dan holistik. Konon, orang bilang, bangsa yang maju peradabannya, tinggi apresiasi dan hegemoni kebangsaannya adalah bangsa yang nyata-nyata tidak mau “melepaskan” diri dari unsur sejarah. Sebagaimana yang diungkapkan di awal, sejarah adalah bagian integral dari perihal waktu masa lalu (time past) yang kini kita tinjau dan petakan lewat masa sekarang (time present).

Bagi saya, sejarah adalah blueprint peristiwa yang tidak semata menjadi snapshot masa lalu. Sebagai blueprint peristiwa, tentunya sejarah tidak semata menjadi “bingkai” yang dimuseumkan; tetapi ia (:sejarah) telah menjadi padanan penting untuk dimunculkan dan dilakukan penggalian mendalam terhadapnya. Sejarah juga menjadi padanan penting sebagai tolak ukur “pengejawantahan” di masa datang.

Narasinya kira-kira begini: Jika saya pernah kejatuhan sepeda Federal 2x dahulunya, maka di masa ini saya berniat untuk tidak jatuh lagi untuk kesekian kalinya. Bisa saja, kasus “kejatuhan sepeda” itu saya eliminir dengan jalan mengganti “sepeda Federal” dengan “mobil”, hingga saya tidak lagi mengalami kasus “jatuh”, terkecuali kecelakaan hebat menimpali saya hingga jatuh ke tanah. Lalu bagaimana jika narasinya saya ganti, dengan mengganti objek “sepeda Federal” dengan “sepeda motor”, apakah kasus “kejatuhan” dapat saya eliminir; barangkali tidak jawabnya. Kasus “kejatuhan” pada “sepeda motor” prinsipnya akan sama dengan kasus “kejatuhan” pada “sepeda Federal”. Hanya saja, keterangan situasi dan objeknya dipertukarkan satu dengan lainnya. Tentu saja, kasus “kejatuhan” pada sepeda motor akan menjadi sangat berbeda jika kita mencoba memandangnya dari kondisi kausalitas (:resiko) yang mungkin ditimbulkan. Lagi-lagi, dalam kasus ini, tidak cukup bagi saya untuk mengganti objek dan keterangan saja, untuk mengantisipasi kasus “kejatuhan” yang saya maksudkan. Pada dasarnya, kasus “kejatuhan” itu, dapat saja eliminir lewat pendekatan yang berbeda (saya turut percaya Tak hanya satu jalan ke Roma). Misalnya, dengan membuat semacam strategi penanggulangan agar hal yang sama tidak terulang lagi, seperti dengan meningkatkan kewaspadaan, peningkatan kontrol kendali, dan training yang maksimal. Dengan demikian, resiko kasus dapat saya eliminir, setidaknya dapat saya reduksi, lebih dari yang sebelumnya.

Barangkali narasi itu yang akan membawa kita pada sebuah kontemplasi ringan, Apakah benar kita sudah seutuhnya dan sepenuhnya belajar dari masa lalu hingga kita dapat melepaskan diri dari kenangan “pahit’ bahkan “asin” menuju realitas yang indah dan manis?. Masa lalu adalah realitas yang dapat dipertahankan, digapai kembali, bahkan dapat pula lenyap menjadi ruang snapshot yang sempit. Masa lalu adalah cermin pembelajaran. Tidak sepenuhnya sejarah masa lalu berkelebat dalam kelam, namun tak seutuhnya pula masa lalu berkilau dalam cahaya kebenderangan. Namun, yang pasti sejarah dan memori adalah bagian penting dari perspektif masa lalu yang universal. Masa lalu tak butuh lagi direka, karena ia telah menjadi saksi “hidup” yang monumental. Masa lalu harus digali dalam-dalam sebagai buah pembelajaran. Masa sekarang tak perlu dielakkan, tetapi ia harus dilalui dan dihadapi dengan tegar. Masa sekarang adalah cermin realitas. Cermin realitas masa sekarang adalah realitas itu sendiri. Realitas tak dapat menjauh, dibenturkan, bahkan dielakkan; terkecuali realitas itu sendiri yang “berontak” dan datang menyanggupi diri untuk dijauhi, dibenturkan, bahkan dielakkan (dalam konteks ini, realitas telah berubah sakral menjadi buah kebohongan dan konspirasi).

Bagaimana dengan masa depan?. Masa depan adalah target pencapaian yang berada antara domain kepastian (certainty) dan ketidakpastian (uncertainty). Masa depan, tentu perlu direka, direncanakan, dipetakan. Namun, sekali lagi, ia (:masa depan) tak dapat pula dielakkan. Perekaan masa depan berwujud pada konstruksi konsep dan gagasan untuk diterapkan di masa datang. Pemetaan masa depan adalah buah imaji untuk “merasa” dan “memandang” masa depan sebagai satuan waktu yang teramat dekat, untuk digapai. Masa lalu, sekarang, dan masa depan adalah realitas yang tak dapat dielakkan, namun kita tak kan pernah kehilangan kesempatan untuk memperbaiki dan menggapainya.

Padang, In Memoriam, Juli, 2008.

Senin, 14 Juli 2008

SYAIR

bagiku alam adalah nafas kosakata.
kosong dalam lamunan hujan.
bertuba dalam lorong-lorong malam.
Ku sibuk menggasak makna;
(: makna utuh dalam diri,
sekerat lidah terpalu ? )


“Tak sekedar”, sahutku, dalam
bayang hujan.
terkadang di sini (dalam syair)
hati yang gosong bisa berdenyut
oleh parfum estetika.
estetika alam-mini-kata
begitu ku menyebutnya.


Allah yang dalam
Allah yang nian,
( penggal tiap kata yang kueja dalam
diriku, namun ku tetap utuh mengenangMu )





2008

Kamis, 19 Juni 2008

SURAT TERAKHIR


buat Gus


“Aku tak lagi mengerti, Gus”
sudah sangsai uratku dalam
sunyi-lagu-sepi.

di sini. dedaunan musim gugur
ranggas satu per satu
pada kolam kerinduanku.

tak lagi ada berita, berkabar akan
nafas hujan, sahutmu.

Ya, Gus,
(ada duka dalam diri
terselimuti, namun
tak terberitakan
),


2008

Selasa, 17 Juni 2008

AKSIOMA

(Inspirasi QS Al Hajj : 46)


Adakah kita punya nyawa diizinkan Tuhan untuk
mengintip walau hanya sekilas tampak ?

Adakah kita punya mata diizinkan Tuhan untuk
melihat wajah kita seutuhnya tanpa harus
berkelebat di cermin ?

Adakah kita punya telinga diizinkan Tuhan untuk
mendengar sepetik perihal di alam sana ?

Sungguh, matapun tak diizinkan terbuka
tatkala nadi henti berdetak kelak

Sungguh, telinga pun tak diizinkan mendengar
sayup suara dinding saat ruh berpisah kelak

(Tuan, tentu tak diberi berkah satupun tuk
pertimbangan lumrah terhadap perdebatan
yang sering kita simposiumkan ?)

Jangan hanya berjingkat ketika mentari menghampiri
lantas tuan menari-nari,
Jangan hanya murung tatkala kegelapan menutup bintang
lantas tuan tertegun,

sedetiknya, tuan bertanya :
“Adakah Kita punya Tuhan diizinkanNya tuk
mengintip walau hanya sekilas tampak ?”

Sungguh ....
air mata berderai
pantas tuan bawa hingga
balik lagi ke
Rumah.



Bungo (2005)
Revisi 2008

Senin, 16 Juni 2008

CINTA DALAM SAJAK

Cintaku yang di langit biru itu
tidak sama dengan cinta sepasang merpati
mencoba iseng terbang mengepak, sementara
kanannya patah

Cintaku yang di langit biru itu
tidak sama dengan cinta sepasang unggas
sepasang berdua, namun teratai tak
mekar tumbuh bersamanya

Cintaku yang di langit biru itu
tidak sama dengan cinta dua kelopak melati yang
tumbuh semerbak mewangi, lantas
raib sekejap dalam
tetes embun di sepertiga malam

Cintaku yang di langit biru itu
adalah sama dengan cinta Rama kepada Sita
tetap terukir abadi dalam kisah Ramayana.
Apapun adanya.

SECERCAH RINDU DALAM ANGGUR PERCAKAPAN

Hormat untuk
Sapardi Djoko Damono


( i )
biarkan ku bercakap
  pada :

rerumputan
ilalang
bijih padi beterbangan
telaga hujan
pohon jambu
pondokan kecil
pinang
hujan
awan
bocah-bocah bermain layangan

          di sawah

surau menggemakan suaraNya
ikan bersembunyi di kali
gerbong kereta berasap
tikus bermain di sawah
bunga mekar aneka warna,

          kemudian menguncup

( ii )
biarkan ku berdiam
pada :

menara
state building
dasi-dasi tersenyum manis
tanjuk rencana ibukota
bis-bis tiga tingkat

          mendesak penuh padat penumpang
bocah bermain umpet
         di lorong-lorong jalan
pantai yang hanya
        landai se-malam
rona lampu warna-warni
kalkulator bising
suara gema kendaraan & pabrik
tikus tak lagi di sawah
bunga satu warna yang
        tak lagi mekar.

(**)

2005
(Revisi 2008)




Rabu, 11 Juni 2008

“QUALITY IMPROVEMENT dan STATISTICAL QUALITY CONTROL”

Oleh
Andhika Dinata, Yusra Syami

1.1 Quality Improvement

Quality Improvement didefinisikan sebagai upaya mereduksi variabilitas
dalam proses dan produk* [Montgomery, 1991, hal. 3]. Metode-metode statistik
seringkali digunakan dalam upaya perbaikan kualitas secara berkesinambungan.
Kualitas diartikan secara sederhana sebagai kesesuaian kegunaan produk atau jasa
dengan keinginan konsumen (fitness for use). Metode perbaikan kualitas bisa
diterapkan ke dalam berbagai aspek organisasi perusahaan seperti proses produksi
(manufaktur), pengembangan proses, perancangan teknis, akutansi-keuangan dan
layanan jasa.

Secara umum aspek kualitas terbagi atas dua :
1. Quality Design
Quality Design adalah teknik sistemik untuk menghasilkan produk
(barang) dalam level kualitas tertentu dan tingkat (grades) yang berbedabeda
sesuai dengan kepentingan perancang (designer).
2. Quality Conformances
Quality Conformances yaitu seberapa baik produk dibuat sesuai dengan
spesifikasi dan tingkat toleransi yang diinginkan oleh perancang.
Quality Conformances sangat dipengaruhi oleh :
a. Pemilihan proses manufaktur yang digunakan.
b. Pelatihan dan supervisi kerja.
c. Tipe kualitas dan sistem QA (Quality Assurances) yang berhubungan
dengan pengendalian proses, pengujian, aktivitas inspeksi dan
sebagainya.

1.2 Hubungan Quality Improvement dengan Produktivitas

Bahagian dari pencapaian strategi bisnis selalu melibatkan perencanaan
kualitas, pengendalian dan analisis untuk memastikan bahwa kualitas
berkontribusi besar terhadap cashflow, Return on Investment (ROI) dan business
profit secara umum.
Quality Improvement bisa merangsang pertumbuhan ekonomi bisnis dan
membukakan iklim kompetitif pada perusahaan yang menerapkannya. Pada saat
yang bersamaan, dilakukan perbaikan kualitas sebagai upaya untuk meminimasi
ongkos produksi.
Quality Improvement juga berarti upaya untuk mengeliminir waste. Waste
yang dimaksudkan dapat berupa sekrap dan rework dalam proses produksi, tes dan
inspeksi yang tidak terorganisir, kesalahan pencatatan (dokumentasi) dalam hal
checking, purchasing orders dan gambar teknik, serta pemborosan dari segi waktu
penyelesaian proyek dan sebagainya.
Quality Improvement dewasa ini telah muncul dan berkembang sebagai
salah satu aspek pengembangan strategi bisnis yang terarah, sistematis dan
terpadu.

Kemunculan tersebut dipengaruhi oleh beberapa alasan [Montgomery,
1991, hal. 4] diantaranya :
1. Meningkatnya kesadaran konsumen dalam hal pengembangan kualitas dan
keinginan kuat konsumen yang berorientasikan pada kualitas dan
performansi kualitas.
2. Keandalan/ketahanan produk yang ingin dihasilkan.
3. Peningkatan ongkos produksi termasuk ongkos tenaga kerja, energi dan
material.
4. Kompetisi bisnis yang semakin tajam.
5. Perbaikan kualitas ternyata membawa pengaruh ‘dramatis’ terhadap
kinerja (produktivitas).

Beberapa alasan yang mendorong perhatian manajer terhadap ongkos
pengembangan kualitas dalam suatu organisasi industri diberikan sebagai berikut
[Montgomery, 1991, hal. 4] :
a. Kenaikan ongkos pengembangan kualitas relevan dengan peningkatan
(kompleksitas) produk yang disebabkan oleh perkembangan teknologi
informasi.
b. Meningkatnya kesadaran (awareness) terhadap daur hidup biaya (life cycle
tests), termasuk perawatan (maintenance), tenaga kerja, suku cadang serta
ongkos kehilangan (cost of field failures).
c. Diperlukannya keberadaan manajer QC untuk mengkomunikasikan hal
tersebut di atas (yang juga melibatkan ongkos/biaya/uang) kepada general
managers.

1.3 Metode Quality Improvement

Teknik Rancang Percobaan (Design Experiment) sangat membantu
perancang (engineer) dalam membuat dan menemukan variabel berpengaruh yang
turut mempengaruhi karakteristik kualitas selama proses dilakukan. Design
Experiment merupakan salah satu bentuk pengendalian kualitas secara Off-Line
yang sering digunakan sepanjang aktivitas pengembangan dan sebagai tahap awal
dalam merancang aktivitas manufaktur. Hal berbeda ditemukan pada
pengendalian On-Line yang merupakan tahap dalam proses yang lebih cenderung
bersifat prosedural [Montgomery, 1991, hal. 11].

Model hubungan Input-Output dan Proses Produksi :

Gambar 1. Production Process Inputs & Outputs [Montgomery, 1991, hal. 12]

1.4 Fungsi Peta Kontrol (Control Chart)

Peta kontrol adalah tampilan grafis yang sering digunakan dalam
pengendalian proses produksi secara statistik.

Peta kontrol memiliki beberapa fungsi diantaranya [Montgomery, 1991,
hal. 108] :
1. Peta kontrol memuat teknik yang mampu mengendalikan/memperbaiki
produktivitas.
Suatu peta kontrol yang baik akan mampu mereduksi jumlah sekrap dan
rework seminimal mungkin. Jika sekrap dan rework dapat dikurangi maka
sangat berpengaruh terhadap peningkatan produktivitas, penurunan ongkos
produksi dan peningkatan volume dan laju produksi.
2. Peta kontrol sangat efektif digunakan dalam pencegahan defects.
Peta kontrol sangat membantu pengendalian proses dan hal ini relevan
dengan prinsip kualitas “do it right the first time”.
3. Peta kontrol mencegah penerapan proses yang tidak andal (unnecessary
process)
Suatu peta kontrol dapat membedakan variasi produksi yang tidak normal,
ketidaksesuaian dengan spesifikasi dan sebagainya.
4. Peta kontrol menyediakan informasi yang akurat (diagnostic information)
Dalam peta kontrol disediakan informasi penting sebagai bahan analisis
bagi manajemen operasi atau bagi perancang (engineer). Informasi yang
diperoleh tersebut diinterpretasikan dengan baik dan berdasarkan
informasi tersebut dapat diterapkan perubahan atau tidak dalam tahap
implementasi proses sehingga dapat mempengaruhi kriteria performansi.
5. Peta kontrol memuat informasi keandalan proses (process capability)
Peta kontrol menyediakan informasi tentang arti penting parameter proses
dalam aktivitas manufaktur dan menggambarkan kestabilan proses yang
dilakukan.


Gambar 2. Bentuk Peta Kontrol

1.5 Penggunaan Peta Kontrol

Peta kontrol menjadi alat yang memiliki peran penting dalam pengendalian
kualitas. Kegunaan peta kontrol** dijelaskan dalam item aplikasi berikut [Banks,
1989, hal. 135] :
1. On-line Control.
Data sampel dikumpulkan secara kolektif dan diplotkan ke dalam peta
kontrol. Apabila data jatuh dalam limit (batas) yang diizinkan dan hal
tersebut tidak berpengaruh terhadap respon sistem, maka proses tersebut
dikatakan berada dalam rentang kendali (in control). Prosedur tersebut sangat berguna untuk menentukan apakah proses yang dijalankan sudah
berada dalam rentang kendali pada masa lalu atau dimasa datang.
2. Perolehan Nilai Standar (Standard Values Given).
Salah satu tujuan penting dalam membuat peta kontrol adalah penentuan
apakah proses yang dijalankan mendekati tetapan standar yang diinginkan
oleh pihak manajemen atau perancang produk. Sebagai contoh, pihak
manejemen memberikan nilai standar untuk panjang material sebesar
0.125 in (mean value) dengan deviasi sebesar 0.008 in. Hal tersebut
berarti, satu titik atau lebih yang melewati batas kontrol yang diizinkan
maka berpengaruh terhadap pencapaian nilai standar, atau dengan kata lain
Standard Value tidak dapat dicapai dalam implementasi proses.
3. Keandalan Proses (Process Capability)
Suatu proses yang dapat dan bisa saja dilakukan dalam spesifikasi yang
diinginkan atau tidak. Jika proses menggunakan teknik statistik dalam
pengendalian kualitas, maka dapat ditentukan nilai means dan standard
deviation, nilai tersebut dapat digunakan untuk mengukur keandalan
proses untuk menghasilkan produk yang sesuai dengan spesifikasi yang
diinginkan. Proses tersebut sangat mempengaruhi beberapa keputusan
diantaranya keputusan investasi untuk mengurangi variabilitas proses dan
persetujuan kontrak dengan pihak pelanggan (customers).

Beberapa variabel penting dalam Peta Kontrol :
a. X chart untuk means (tendency central)
b. R chart untuk ranges
c. S chart untuk standard deviation (dispersion)
d. Atribut-atribut lainnya.

1.6 Jenis-jenis Pengendalian Mutu

Pengendalian mutu ditujukan untuk mempertahankan standar kualitas
produk yang dijanjikan oleh perusahaan kepada konsumen [Nasution, 2006, hal.
301]. Tindakan pengendalian dapat membantu mempertahankan kinerja proses
produksi dalam batas toleransi yang diizinkan. Dalam pengendalian mutu statistik,
dikenal dua jenis metode statistik yang berbeda yaitu pengambilan sampel
penerimaan dan pengendalian proses. Pengambilan sampel penerimaan bertujuan
untuk menghemat waktu dan biaya pemeriksaan, sedangkan pengendalian proses
ditujukan untuk mencegah kerugian lebih besar akibat produk cacat dengan
mengamati output yang dihasilkan pada tahapan proses produksi.

Jenis-jenis pengendalian mutu, diantaranya :
a. Off line Quality control
Pengendalian mutu di saat proses perancangan produk dilakukan untuk
memenuhi standar mutu yang diinginkan.
Off line Quality control terdiri atas :
1. Design eksperiment
Merupakan pengendalian mutu yang dilakukan dengan cara melakukan
riset atau rancang percobaan terhadap produk yang akan di uji. Rancang
percobaan juga dapat digunakan untuk mengetahui seberapa besar
pengaruh atau respon pengujian terhadap hasil yang diinginkan. Metode
ini menggunakan tools statistik diantaranya dengan menggunakan
beberapa metode seperti uji 1 faktorial, 2 faktorial ataupun nested
experiment.
2. Taguchi methode
Pengendalian mutu yang dilakukan dengan menggunakan beberapa
metode yang dikemukakan oleh Taguchi ohno yang dinamakan dengan
Taguchi methode. Metode Taguchi sangat umum digunakan dalam riset
pengendalian kualitas.
b. On line Quality Control
Merupakan pengendalian mutu yang dilakukan pada phase operasional
pada tahap proses produksi, sehingga produk yang dihasilkan memenuhi standar
yang ditentukan. Salah satu bentuk On line Quality Control yang umum
digunakan yaitu Statistical Quality Control (SPC).

Referensi :
Douglas C. Montgomery . 1991. “Introduction Statistical Control”. John Wiley & Sons.
Jerry Banks. 1989. “Principles of Quality Control”. John Wiley & Sons.
Nasution, Arman Hakim. 2006. Manajemen Industri : “Pengendalian Mutu”. PT.
ANDI Yogyakarta : Yogyakarta


* Douglas C. Montgomery . 1991. “Introduction Statistical Control”. John Wiley & Sons.
** Jerry Banks. 1989. “Principles of Quality Control”. John Wiley & Sons.

Kamis, 05 Juni 2008

SECERCAH RINDU DI DANAU SINGKARAK

Singkarak dalam imaji

Singkarak dalam hakiki

Singkarak dalam geraman

Singkarak dalam kedamaian

O....

Singkarak,

sudah terbakar rinduku dalam pelataran pulaumu

sudah melebur jiwaku dalam gelombang riakmu

sudah sangsai uratku dalam terbenam senjamu

sudah gagu ucapku dalam semerbak getarmu

sudah terbit anganku dalam fajar cayamu

Siapa

O...

Siapa ?

terdiam

terpana

sunyi

bisu

semedi

renyai

sangsai

gagu

bosan

rindumu

jiwamu

uratmu

ucapmu

darahmu

nafasmu

bukan kepunyaan-ku.

Singkarak-Padang, Agustus 2005

“Job Shop Schedulling Problems (JSSP)”

Scientific Journal. Published by LENSA : 2008

Masalah penjadwalan job shop merupakan salah satu masalah optimasi kombinatorial non deterministik dengan waktu polinomial (NP-complete) yang paling rumit. Waktu komputasi untuk mencari solusi optimal yang meningkat secara exponensial seiring dengan membesarnya nilai parameter masalah (jumlah mesin dan jumlah job) [Panggabean: 2002].

Salah satu teknik penjadwalan yang paling banyak digunakan dalam pemecahan masalah optimasi, yaitu algoritma penjadwalan Simulated Annealing (SA). Algoritma tersebut merupakan teknik pencarian probabilistik yang umum digunakan untuk menemukan solusi yang optimal.

Elsayed dan Laarhoven et al. [dalam Panggabean] melakukan suatu penelitian bahwa algoritma SA dapat menghasilkan suatu solusi yang optimal atau mendekati optimal dengan waktu relatif singkat, sehingga dapat dikatakan lebih baik bila dibandingkan dengan metode heuristik. Liu et al. [dalam Panggabean] mengemukakan bahwa hasil yang diperoleh konvergen lebih baik menuju nilai global minimum seiring dengan bertambahnya jumlah iterasi ke arah tak hingga serta bersifat problem independent sehingga fleksibel diterapkan dalam berbagai masalah dan lebih mudah dikomputerisasikan.

Kenyataan tersebut memberi harapan bahwa algoritma SA dapat menghasilkan jadwal produksi job shop dengan kualitas jadwal yang baik dengan waktu komputasi yang masih dapat diterima. Panggabean [2002] melakukan suatu penelitian penjadwalan job shop statik dengan menggunakan algoritma SA. Penelitian yang dilakukannya bertujuan untuk membuktikan validitas hasil penjadwalan SA dengan mencoba membandingkan hasil perhitungan algoritma dengan hasil perhitungan pada perangkat lunak penjadwalan Quant system.

Dari serangkaian percobaan yang dilakukan diperoleh suatu simpulan bahwa kualitas solusi yang dihasilkan oleh algoritma SA lebih baik bila dibandingkan dengan hasil penjadwalan Quant system terutama untuk kasus job shop berukuran besar, meskipun untuk itu diperlukan waktu komputasi yang relatif lebih besar bila dibandingkan dengan Quant system.

Algoritma penjadwalan Simulated Annealing (SA) untuk kasus penjadwalan job shop pertama kali ditemukan dan dikembangkan oleh Metropolis et al. pada tahun 1953. Aplikasi SA dalam masalah optimasi dikerjakan pertama kali oleh kirpatrick et al. pada tahun 1983. Algoritma ini beranalogi pada proses annealing (pendinginan) yang diterapkan dalam pembuatan material glassy (terdiri atas butir kristal). Dalam konteks optimasi, temperatur adalah variabel kontrol yang berkurang nilai sisanya selama proses optimasi tersebut dijalankan.

Skenario pendinginan dianalogikan dengan prosedur search yang menggantikan satu state dengan state lainnya dengan memperbaiki nilai fungsi objektif. Sebagai contoh, masalah optimasi kombinatorial (S, F) dimana i adalah konfigurasi/solusi sekarang (current) dengan fungsi cost F(i) dan j adalah konfigurasi berikutnya dengan fungsi cost F(j).

Kriteria penerimaan yang mewakili kriteria Metropolis didefinisikan sebagai berikut :

Prob(menerima j)= Min [1, exp(-(F(i)-F(j)/c)],
dimana c∈R+ adalah parameter kontrol, dan
i,j ∈ S adalah dua konfigurasi yang berbeda.

Pada saat ini, teknik penjadwalan job shop mengalami banyak perkembangan, diantaranya yang dikenal ialah metode program integer, metode branch and bound, serta metode heuristik.Metode pemrograman integer dan branch and bound pada dasarnya memiliki tingkat kesukaran yang tinggi dan belum tentu menghasilkan jadwal yang benar-benar optimal. Metode heuristik adalah suatu metode yang dapat menghasilkan solusi yang cukup baik tapi tidak menjamin perolehan jadwal yang benar-benar optimal [Kusuma:1999].

Dewasa ini, berbagai perkembangan dari penjadwalan ditemukan seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, berbagai macam pendekatan dengan model dan solusi dilakukan dengan meramu beberapa literatur keilmuan seperti operations research dan juga teknis matematis. Disamping itu terdapat beberapa metode penjadwalan yang umum dikenal, diantaranya dispatching rules, expert systems (AI agents), neural networks, tabu search, simulated annealing, genetic alghoritms, fuzzy logic, inductive learning dan lain sebagainya [Jones et al].

Teknik optimasi penjadwalan sering digunakan dengan menggunakan teknik pemrograman matematis yang dewasa ini dikembangkan secara ekstensif untuk berbagai kasus penjadwalan. Pemecahahan persoalan penjadwalan dengan menggunakan teknik matematis seringkali didekati dengan menggunakan metode integer linear programmimg, mixed integer programming, dan dynamic programming.

Dewasa ini, penggunaan pendekatan matematis dengan teknik tersebut di atas semakin jarang digunakan seiring dengan kompleksitas persoalan penjadwalan yang mendekati tingkat kesukaran masing-masing [Jones et al].

Metode penjadwalan heuristik adalah salah satu teknik penjadwalan yang pertama kali ditemukan dan menjadi akar pengembangan dari metode penjadwalan lain yang bersifat non-heuristik. Teknik penjadwalan tersebut menggunakan algoritma yang lebih sederhana, meski tidak ‘reliable’ untuk kasus-kasus penjadwalan yang kompleks.

Salah satu metode heuristik yang cukup umum dikenal ialah metode priority dispatching yang dikemukakan oleh Giffler dan Thompson [Kusuma: 1999]. Metode tersebut berprinsip pada pembuatan jadwal secara parsial (bertahap), dan terdiri atas dua (2) macam algoritma, yaitu algoritma untuk pembuatan jadwal aktif dan penjadwalan non delay [Kusuma: 1999].

Pada persoalan penjadwalan job shop klasik, job dinotasikan dengan J, dan operasi dinotasikan dengan Oij operasi yang mengikuti sekuens operasi tertentu (struktur presedens operasi serial), dan setiap job (yang terdiri atas operasi-operasi) ditugaskan pada sebuah mesin Mj tertentu [Morton. et al].

Gambar 1.1 Skema Penjadwalan Job Shop [Unachak]

Bedworth [1986] membagi aktivitas penjadwalan (scheduling activity) menjadi dilakukan melalui 2 (dua) tahapan (two stages) yaitu :
(1) Alokasikan setiap task pada tiap mesin (first stages), dan
(2) Memperhitungkan decision rules (second stages).

Decison rules yang dimaksud dalam tahap dua (2) yaitu aturan prioritas penjadwalan yang dapat berupa SPT (Shortest Processing Time), FIFO (First In First Out), Random, EDD (Earliest Due Date), MWKR (Most Work Remaining) yaitu memilih pekerjaan yang memiliki waktu proses keseluruhan yang masih tersisa paling besar, LWKR (Least Work Remaining) dengan jalan memilih pekerjaan yang memiliki waktu proses keseluruhan yang masih tersisa paling kecil, serta MONPR (Most Operation Remaining) [Bedworth :1986].

Gambar 1.2 Representasi Graph untuk Masalah Job Shop

Teknik lain yang digunakan dalam pemecahan masalah job shop yaitu teknik AI (Artificial Intelligences) yang melibatkan teknik intelligensi dengan merangkum berbagai pendapat dari para pakar penjadwalan [Jones et al]. Langkah awal dalam teknik ini yaitu : (1) Membangun studi empiris dengan menggunakan teknik-teknik dari kombinasi pengetahuan kuntitatif dan kualitatif dalam proses pengambilan keputusan, (2) Membuat penyelesaian persoalan penjadwalan heuristik yang sedikit lebih kompleks dari aturan priority dispatching, dan (3) Pemilihan solusi dari teknik heurustik terbaik yang dibuat sebelumnya, serta (4) Merumuskan keterkaitan hubungan antar struktur data untuk memudahkan manipulasi informasi yang terdapat pada struktur data tersebut.

Penjadwalan yang biasa diterapkan di lantai produksi secara umum dibedakan atas jumlah mesin atau kriteria lantai produksi, diantaranya sebagai berikut [Jones. et al] :

a. One stage, one processor
b. One stage, multiple processors
c. Multistages, flow shop
d. Multistages, job shop

Jones et al. mengemukakan bahwa pada tipikal penjadwalan one stage dan one processor, permasalahan cukup diselesaikan dalam satu tahap pemrosesan (one processing step) yang melewati satu sumber daya (mesin). Pada one stage, multiple processors tahapan pemrosesan melewati banyak sumber daya (mesin). Dalam kasus multistage pada persoalan penjadwalan flow shop, setiap pekerjaan (job) memiliki beberapa tugas (task) atau langkah kerja yang diproses oleh mesin yang spesifik namun melewati rute yang sama untuk setiap job tersebut. Pada kasus multistage job shop, sumber daya (mesin) diatur dan diset sedemikian rupa dengan rute operasi yang dipilih dan ditentukan sebelumnya namun memiliki berbagai macam variasi produksi.

Berdasarkan literatur-literatur tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa penjadwalan job shop (JSSP) memiliki berbagai teknik penyelesaian dan algoritma penjadwalan. Diantara metode
Scientific Journal. Published by LENSA : 2008
yang umum digunakan dalam riset penelitian diantaranya dispatching rules, expert systems (AI agents), neural networks, neighborhood, tabu search, simulated annealing, integer programming, branch and bound genetic alghoritms, fuzzy logic, inductive learning dan lain sebagainya. Beberapa metode tersebut memiliki keunggulan dan kekurangan masing-masing apabila ditinjau dari kompleksitas masalah, pengetahuan peneliti, tujuan penelitian, batasan variabel dan lain sebagainya.

Simple Dispatching Rules merupakan teknik penjadwalan heuristik yang sangat sederhana dan umum digunakan tetapi tidak ‘reliable’ untuk kasus penjadwalan yang berukuran besar dengan tingkat kompleksitas yang rumit. Demikian sebaliknya teknik-teknik lain seperti , tabu search, simulated annealing, integer programming, branch and bound genetic alghoritms memiliki tingkat kesukaran yang lebih tinggi daripada metode Priority Dispatching, namun sangat cocok digunakan untuk kasus yang kompleks dengan jumlah variabel yang lebih banyak. Teknik AI agents dan inductive learning mengkombinasikan antara kemampuan kualitatif (intuitif) dengan kuantitatif (matematis) dengan merujuk pada pengalaman ‘meneliti’ dan studi empiris. Namun, demikian keseluruhan metode tersebut dapat digunakan untuk berbagai kalangan berdasarkan variabel dan karakteristik penelitian yang diinginkan.

Padang, Januari 2008

Referensi :

(1) Albert Jones. et al. International Jounal :
Survey of Job Shop Schedulling
Techniques. jonesa@cme.nist.gov.
(2) David D. Betworth. et al. 1986.
”Integrated Production Control Systems”.
Jhon Wiley & Sons.
(3) Hendra Kusuma. 1999. ”Perencanaan
dan Pengendalian Produksi”. PT. Andi
Yogyakarta. Yogyakarta.
(4) Henry Pantas Panggabean. 2002. Jurnal:
Penjadwalan Job Shop Statik dengan
Algoritma Simulated Annealing.
Universitas Katolik Parahyangan :
Bandung.
(5) Thomas E.Morton. et al. 1993. “Heuristic
Schedulling Systems: with applications to
production systems & project
management”. Jhon Wiley&Sons, Inc,
Canada : USA.
(6) Prakarn Unachak. International Jounal :
Genetic Alghorithm in Job Shop Schedulling.
(Power Point Presentation).

Senin, 02 Juni 2008

INNA...WA INNA...

Inna Lillahi

buat tikus ada di kursi sana

Inna Lillahi

buat kucing umpet di lemari situ

Inna Lillahi

buat harimau mengaum di rimba sana

Inna Lillahi

buat siamang terkekeh di pohon situ

Inna Lillahi

buat domba nyengir di kandang sana

Inna Lillahi

buat rayap mendesis di kayu situ

Inna Ilaihi

kursi yang tinggal sana

Inna Ilaihi

lemari yang kosong situ

Inna Ilaihi

rimba yang sepi sana

Inna Ilaihi

pohon yang sunyi situ

Inna Ilaihi

kandang yang risau sana

Inna Ilaihi

kayu yang renyau situ

Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Raji’un

buat mereka semua

AMIN

**

Padang, Agustus 2005

DI NEGERI YANG KAYA, JADI MISKIN (AKU) RUPANYA ...

Seraya bertanya kepada seorang asing dulunya, saya (:penulis) pernah mengajukan suatu pertanyaan, kira-kira begini : what do you think about our country?. Lalu, ia menjawab panjang lebar pertanyaan

saya dengan ungkapan yang biasa pula anda dengar, pretty well, how beautiful, great, wonderful dan jawaban yang rada-rada hampir sama untuk menjawab pertanyaan yang saya ajukan. Selanjutnya tidak berhenti disitu saja, ia lalu menyebutkan satu kata ringkas pada saya, but .... (Anda barangkali bisa menerka apa yang tengah ia maksudkan dengan tidak harus saya lanjutkan kosakata isian berikutnya).

Fragmen tersebut merupakan buah pengalaman yang saya dapat (: mungkin) sudah cukup lama. Begitu banyak perspektif, deskripsi, dan sudut pandang orang luar dalam menggambarkan kondisi dan situasi yang tengah terjadi di negeri kita ini. Di satu sisi, negeri ini adalah ladang subur yang permai, kaya akan sumber daya hayati dan mineral dengan kultur masyarakat yang madani. Kekayaan tersebut merupakan aset tak ternilai yang sepatutnya untuk kita syukuri. Namun di sisi lain, ladang itu pula yang kemudian digarap dan dikuras untuk kepentingan individu dan sekelompok penguasa, bukan untuk kesejahteraan rakyat kecil.

Selepas kemerdekaan yang kita peroleh dari kaum imperialis barat, maka sepatutnya kita dapat memfungsikan diri sebagai bangsa yang ‘berwujud’ dan bermartabat. Akan tetapi, realita bertolak belakang menganga depan kita, kemerdekaan yang dulunya kita peroleh dahulu tak turut diikuti dengan kemerdekaan-kemerdekaan nurani, pola pikir, spiritualitas, mentalitas dan kejujuran.

Bila kita lihat satu koin logam, maka sudah tentu koin itu memiliki dua sisi. Sisi koin bagian atas dan satu sisi lain adalah koin bagian bawah. Jika saya boleh untuk membuat semacam analog, maka, bagi saya, sisi koin bagian atas adalah wajah Indonesia (negeri kita) yang berseri-seri, dan satu sisi lagi adalah koin bagian bawah yang menggambarkan Indonesia (negeri kita) yang kian ‘berkabut’ dan ‘buram’. Sisi itu bila dilempar bergantian, maka dua sisi akan silih berganti bermunculan, entah yang akan muncul probabilitasnya berbanding 0.5:0.5 atau 0.75:0.25 yang akan muncul. Hal itu, bagi saya, cukuplah jadi rahasia keramat “negara” dan orang “statistika” saja.

( Coba kita renungkan sejenak bangsa mana yang rela harga diri, martabat bahkan (: maaf), keperawanan bangsanya diinjak dan dikuasai oleh rezim bangsa lain ).

Di sini, di negeri yang konon katanya kaya ini, bangsa lain dengan sangat leluasa merampas harta, harga diri dan martabat kemerdekaan yang dulunya kita agungkan. Di sini pula, saham industrialis kapitalis asing merajai rasio modal sedemikian besar angka finansial dan proporsi statistisnya. Hingga BUMN dan UMKM seantero negeri jadi lumpuh tak berdaya dibuatnya.

Di sini, pejabat-pejabat pribumi dan koruptor-koruptor pribumi menenggak harta kekayaan rakyat dan negara sebagai bentuk aksi ‘ikut-ikutan’ yang turut diwarisi dari rezim Hindia Belanda dahulunya. Di sini pula, pertikaian dibuat dan diagungkan atas nama suku, ras, partai dan agama dan di sini terjadi percekcokan antar anggota parlemen tak habis-habisnya.

Di sini, tercatat anggota parlemen sudah kehilangan rasa malu dan rasa hormat mempertontonkan perselingkuhan syahwat di depan umum sedemikian hebatnya.

Di sini pula, barangkali tak lagi ada (mungkin sangat sedikit sekali) ditemukan jiwa pemimpinnya Hatta, Hamka dan Natsir yang mudah senyum dan ramah seusai debat habis perkara jadinya.

Di sini, mahasiswa telah menjadi syuhada menyumbangkan darah arteri bendera setengah tiang tiap tahunnya; merujuk polemik pragmatisme, kecurangan, KKN, reformasi dan kenaikan BBM se-indonesia raya. Konon, polemik itu pula yang jadi siklus berulang dan terus tercatat jadi darah dan sejarah tiap akhir tahunnya.

Di sini pula, aksi pembodohan turut dilakukan lewat tontonan sinetron, televisi dan juga musik dimana budaya “kumpul kebo”, pergaulan bebas, dan pesta pora menjadi sangat ‘lazim’ dipertontonkan dan jadi tematik yang luar biasa ratingnya.

Di sini, aliran agama sesat “sesesat-sesatnya” silih berganti bermunculan sana-sini, dan saat itu pula aparat dan hukum sudah kehilangan “kamus bicara”nya. Di sini, tak lagi ada ruang bagi orang-orang yang lantang vokal bicaranya, seperti Munir misalnya, berniat memperjuangkan HAM namun harus menanggung resiko tragis atas perjuangannya.

Di sini pula, orang-orang kaya tak mau ketinggalan untuk berlagak ‘miskin’ dengan turut mengambil alih jatah antri dana bantuan BBM-sembako, BLT namanya. Di sini, lalu lintas jalan raya sangat jelas semrawaut dan pikuknya hingga tak jarang orang kehilangan nyawa dan raga dibuatnya.

Di sini pula, teman-teman sejawat saya dan anda, yang ekonominya lemah, tak dapat bersekolah karena bangku sekolah dominan dirampas oleh yang kaya dan sejahtera saja.

Di sini, bisnis tahayul dan bid’ah sudah menjadi sentra konsumsi publik di mass media karena Mama Lorent salah satunya orang yang turut mengamini-nya. Di sini pula, bangsa dan rakyat kita jadi budak penyamun, ladang narkoba, lahan prostitusi, sarang kriminal, dan semacamnya, maka cukuplah Saya, Kita dan Anda jadi saksi bisu saja.

( Di sini... di sana.. dan seterusnya masih ada yang tak beres dan tak karuan di sana-sininya...)

Wallahualam.. kita dibuatnya.

Namun, saya turut berbangga tatkala orang asing, Mr. Esaikh namanya, turut memuji negeri ini (sebagai obat pelipur lara saya) dengan menyebut Indonesia sebagai beautiful countrynya sejagat raya. Meski saya dengan teramat sadar, gagu dan bisu meronta: “Di negeri yang kaya, justru, Jadi Miskin (Aku) Rupanya”. (baca: Miskin kesejahteraan, Miskin pengetahuan, Miskin harga diri, Miskin keberanian, Miskin moralitas, Miskin kejujuran, Martabat dan lain-lain sebagainya).

****

Sepenggal Catatan

Dari & Buat Dr. Ahmad Messaikh

(Karachi University)

Padang, Juni 2008