Jumat, 30 Mei 2008

Parodi Hujan Prosais Malam

/1/

( tik...tik...tik )

rintik hujan belum reda rasanya

depan pintu ada salju menyapa

pelataran dibanjiri kolam susu raya

gemericik air mengembun-kaburkan kaca

unggas berenang dengan riang lagi tertibnya

/2/

( tik...tik )

rintik hujan perlahan reda rasanya

depan pintu ada petromaks masih menyala

pelataran diriangi bunga-bunga menari salsa

gemericik air melembabi sepatu juga sepeda

unggas mengayuhi perahu lilin ke seberangnya

/3/

( tik... )

rintik hujan mulai sirna rasanya

depan pintu ada bulan tersenyum lagi menyapa

pelataran mulai dihinggapi semut juga serangga

gemericik air tak lagi menyahut sepatu dan sepeda

unggas meninabobokan awan di alam sana

/4/

( ... )

rintik hujan tak lagi ada

depan pintu ada matahari ganti menyapa

pelataran dipenuhi semut, serangga dan lainnya

gemericik air mengakar rambat pulang ke buminya

unggas entah di sini, entah jua di sana.

**

Padang/2008

Kamis, 29 Mei 2008

Taufiq Ismail: Antara Puisi dan Bangsa


/1/

Dalam suatu kata pembuka seratus puisi Taufiq Ismail Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia kritikus sastra dan sejarahwan Kuntowijoyo menulis bahwa Taufiq Ismail tidak lagi melukis tapi berpikir*. Kemungkinan hasil pemikiran dari kata pembuka itu juga yang kemudian menggagas lahirnya tulisan ringkas ini. Penulis menilai bahwa kemahiran Taufiq Ismail dalam mencerna sisi realita disekitarnya menjadikan setiap puisi yang ditulisnya seolah-olah “hidup” dalam arti yang sebenarnya. Alur kata melalui interpretasi dari sisi realita yang menjadikan setiap baitnya tidak terlalu terkesan abstrak yang melulu ditenggelamkan oleh sebuah keindahan dalam kata.
Penyair menjadi “hidup” oleh penguasaan kata, imaji yang kuat dari pengalaman empiris yang dilaluinya. Demikian juga dengan Taufiq kurang lebih 71 tahun** sudah usia sang penyair, usia yang setidaknya sudah lebih setengah abad diperuntukkan untuk menulis, berfikir hingga jatuh bangun dalam kolam kreativitas. Dengan usia yang mumpuni itu juga Taufiq masih setia berkarya, mengenang sejarah hingga memetakan masa depan lewat produktivitas karya-karyanya. Kematangan berpikir hingga penjelajahan kata dan imaji sudah didapatnya semenjak kecil. Lahir di ranah Minang Bukitttinggi tahun 1937 yang dikenal sebagai ranah yang kaya akan tambo, kaba dan petatah-petitih alam minangkabau. Kultur alam dengan filosofi “Alam Takambang Jadi Guru” tetap dimaknainya secara utuh hingga masih melekat dalam setiap bait yang ditulisnya.
Dibesarkan di tanah Jawa, Pekalongan, untuk menuntut ilmu dan berkreativitas membuatnya menulis puisi dan karya besar lainnya. Akhirnya ia dikukuhkan HB. Jassin sebagai penyair angkatan’66 dan memperoleh berkali kesempatan membawakan pembacaan puisi di negeri asing (diantaranya jadi penyair tamu di Universitas Lowa, USA dan pengarang tamu dewan kesenian Kualalumpur) yang turut membawanya kedalam “alam kata” yang sangat mapan.
Seorang Taufiq telah membawa segudang penghargaan, diantaranya Anugerah Seni pemerintahan RI (1970), Cultural Visit Award pemerintahan Australia (1977), South East Asia Write Award dari kerajaaan Thailand (1994) dan banyak lagi penghargaan lain yang diraihnya.

/2/

Konsepsi dan imaji yang kuat dari Taufiq Ismail secara eksplisit maupun tidak sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial (bahkan politik) yang menjadi budaya kolektif yang dinilai penting untuk dimunculkan. Rona puitis sang penyair seringkali diikuti dengan kontemplasi sosial yang sangat dalam. Wacana politis sosial menjadi semakin lugas dalam Tirani dan Benteng (TB) hingga Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (MAJOI) selayaknya mahasiswa reformis yang berupaya menelanjangi kebobrokan politis di zaman Orde Baru dan Orde Lama. Keberanian yang ditunjukkan melebihi keberanian sutradara perfilman India (bahkan mungkin) yang dengan berani memvisualisasikan dekadensi moral pejabat dan aparat demi tersalurnya aspirasi pikiran dan nurani. Tapi dibalik kelugasan penyampaiannya, puisi Taufiq hingga saat ini tetap saja menarik untuk dibahas, dikaji dan dideklamasikan. Pengkajian yang menarik dari hasil karangan ataupun kajian ekspresif terhadap sosok kepribadian dari pengarang itu sendiri.
Bagi penulis, Taufiq tidak saja dengan mudah menyuguhkan alam metafora yang serba “wah”, tetapi lebih daripada itu ia berhasil menyentuh satu sisi yang sangat layak dimunculkan, yaitu sisi moralitas, kejujuran dan nurani. Keberaniannya dalam menggagas dan menyelipkan suara nurani dalam setiap baitnya menjadi karakter sang penyair yang tak akan dapat dipisahkan. Substansi khas sang penyair tersirat dari sisi keakuan (aku lirik) dalam memetakan narasi puisi menjadi kabar (peristiwa). Sedikit dipengaruhi oleh puisi “bakaba”*** menjadikannya ikut larut dan terbiasa dalam menyuguhkan luapan perasaan (red_suara nurani) yang dialami untuk ikut berbaur dan “mengena” di hati pembacanya. Sesuatu yang “mengena” yang dimaksudkan yaitu pesan puitik yang dipetiknya dari pengalaman empiris sosial atau bahkan religiusitas yang dialami.

/3/

Sang penyair reformis tidak hanya menuangkan tinta di atas kertas kemudian mengukirnya dengan halus untuk menghasilkan sebuah keindahan. Tetapi ia lebih berupaya dalam memetakan gagasan konseptual didasarkan pengalaman batiniah untuk “menyuarakan” gagasan tersebut secara lebih “santun” dan bernas. Bagi penulis, Taufiq Ismail salah satu sosok yang tepat untuk memetakan gagasan konseptual di atas dalam bentuk puisi. Seusai penulisan TB pada tahun 1966 yang menjadi bentuk protes terhadap orde lama, namanya sering diidentikkan dengan sejarah, reformasi dan demokrasi. Ketiga tema tersebut menjadi objek situasi dan inspirasi dari setiap karya monumental yang ditulisnya. Tidak hanya itu, seringkali Taufiq memasukkan unsur repetisi dan eufoni puisi untuk mempertegas makna dalam puisi, memperindah pembacaan serta memperindah struktur puisi menjadi satu kesatuan.
Hingga saat ini, penulis menilai dua nama dalam dunia kepenyairan Indonesia yang secara lantang memperjuangkan moralitas dan nurani kebangsaan, yaitu taufiq Ismail dan Hamid Jabbar (alm.). Keduanya memang tidak bisa dibandingkan karena berada dalam dua generasi kepenyairan yang berbeda dengan gaya bahasa yang berbeda pula. Setidaknya dua penyair itulah yang sangat representatif menjadi figur penyair kebangsaan hingga saat ini. Figur yang dengan lantang “bersuara” terhadap praktik penyelewengan kultural yang dilakukan oleh rezim bangsa ini lewat jalur yang berbeda, yaitu kesenian.
Berbicara tentang figur sang penyair berarti juga berbicara tentang karakteristik karya yang ditulisnya (karya mencerminkan kepribadian). Kemampuan menangkap realita sosial kebangsaan untuk disuguhkan dalam tatanan stilistika secara baik menjadi ciri khas yang membedakannya dengan penyair-penyair lainnya. Keunggulan lain yang dimiliki sang penyair yaitu kemampuannya dalam memetakan peristiwa yang tidak dipengaruhi oleh dimensi ruang dan waktu. Memetakan peristiwa atau mengambil latar (suasana puitik) dengan imaji visual masa depan menjadi salah satu karakter dari seorang Taufiq ismail. Hal itu terlihat dalam Kembalikan Indonesia Padaku**** (1971) dalam bait :

Kembalikan Indonesia Padaku
Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga,
Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 watt, sebagian berwarna putih
dan sebagian hitam, yang menyala bergantian,
Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam dengan bola
yang bentuknya seperti telur angsa,
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam karena seratus juta
penduduknya,
Kembalikan
Indonesia
padaku.
Hari depan Indonesia adalah satu juta orang main pingpong siang malam
dengan bola telur angsa di bawah sinar lampu 15 watt,
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang pelan-pelan tenggelam lantaran
berat bebannya kemudian angsa-angsa berenang-renang di atasnya,
Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga, dan di
dalam mulut itu ada bola-bola lampu 15 watt, sebagian putih dan
sebagian hitam, yang menyala bergantian,
Hari depan Indonesia adalah angsa-angsa putih yang berenang-renang sambil
main pingpong di atas pulau Jawa yang tenggelam dan membawa
seratus juta bola lampu 15 watt ke dasar lautan,
Kembalikan
Indonesia
padaku.
Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam dengan bola
yang bentuknya seperti telur angsa.
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam karena seratus juta
penduduknya,
Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 watt, sebagian berwarna putih
dan sebagian hitam, yang menyala bergantian,
Kembalikan
Indonesia
padaku.
Paris, 1971
(Taufiq Ismail dalam Kembalikan Indonesia Padaku : Antologi MAJOI).

Apabila dilihat dari tahun penulisan, puisi tersebut ditulis Taufiq pada tahun 1971 di kota Paris pula. Jujur saja, entah kenapa sang penyair lebih tertarik menulis puisi yang meng’indonesia’ pada saat situasi keindahan Eiffel notabene menggandrungi inspirasi seniman dunia untuk menulis. Jiwa “Indonesia” lewat tulisannya menjadi catatan penting dari sejarah kepenyairan Indonesia. Tema kekecewaan dan harapan menjadi unsur tematik dalam kebanyakan karyanya termasuk dalam puisi KIP (1971) di atas. Sekali lagi, dalam bait tersebut seorang Taufiq Ismail memberi kesempatan bagi pembaca untuk “merasa” dan “meraba” hari depan Indonesia lewat dimensi ruang dan waktu yang dinarasikannya dengan :
// Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga //
atau dengan,
// Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 watt / sebagian berwarna putih
dan sebagian hitam / yang menyala bergantian //
Bait tersebut memaparkan intuisi sang penyair dalam meraba suatu peristiwa dalam potret masa depan bangsa, meski kenyataan Taufiq menulis pada tahun 1971. Gambaran buram dari setiap larik puisi tersebut justru ditulis tiga tahun sebelum peristiwa MALARI berkobar. Bisa dibayangkan jika tahun penulisan ditiadakan, pembaca hanya mampu menebak bahwa puisi tersebut dibuat pasca peristiwa MALARI atau mungkin pada dekade 1990an berdasarkan unsur tematik yang diangkatnya. Akan tetapi pengecualian tetap berlaku untuk Taufiq dimana tidak selamanya seorang penyair harus menjadi “penyair susana” yang harus menunggu inspirasi untuk berbuat dan berkarya. Jadilah puisi tematik Taufiq sarat dengan tema kebangsaan namun kaya dengan majas perumpamaan dan pengandaian yang tepat.
Tema kebangsaan yang diangkatnya tidak terlepas dari unsur kepekaan penulis terhadap sejarah (historical moments) serta kepekaan nurani yang dimiliki. Lanjutnya di kulit terakhir MAJOI Kuntowijoyo* menulis bahwa puisi Taufiq Ismail adalah puisi nurani. Menurut hemat penulis, dengan menulis kebenaran-kebenaran nurani agaknya Taufiq merasa puas untuk membenarkan yang “benar” ke dalam kata serta juga membenamkan yang “ingkar’ ke dalam kata. Salah dan benar memang harus dipertunjukkan agar seseorang dapat menilai ke arah mana nuraninya harus digerakkan.

/4/

Pengarang adalah orang yang mempunyai kepekaan terhadap persoalan, memiliki wawasan kemanusiaan yang tinggi dan dalam (Atmazaki : 1990 : hal.35). Tematik sosial yang ditulisnya mencirikan kepekaannya terhadap wawasan kemanusiaan. Seorang Taufiq (dalam posisinya sebagai pengarang) mampu menggarap puisi secara ekstensif dalam berbagai aspek kepengarangan. Sejalan dengan pengalaman yang menyertainya Taufiq perlahan menemukan teknik narasi dan gaya bercerita yang cerdas. Alur berkesenian dengan tematik sosial kebangsaan sudah diawalinya semenjak tahun 1966 yang kembali memuncak pada tahun 1998.
Karya-karya yang kebanyakan ditulis penyair turut mencerminkan pancaran kepribadiannya. Apabila penyair dilihat dari point of view yang sentralistik maka gerak jiwa, pengembaraan imajinasi dan fantasi pengarang selalu terlukis dalam karya-karyanya (Atmazaki : 1990 : hal.36). Point of view dari seorang Taufiq seperti yang ditunjukkan dalam TB dan MAJOI yaitu vitalitas pikirannya dalam menangkap fenomena sosial, sejarah, demokrasi dan reformasi. Tak jarang juga ia memasukkan kekentalan budaya religiusitas dan humor dalam puisi yang dibuatnya. Penyair sepertinya mungkin sangat merindukan saat-saat dimana kebenaran nurani diletakkan dalam setiap aspek kehidupan (sosial, sejarah, demokrasi dan reformasi).
Di awal tulisan ini, penulis menulis bahwa Taufiq berharap agar pesan puitik naratif yang dibuatnya dapat “mengena” di hati pembacanya. Berharap setiap kata yang dieja berbagai kalangan pembaca termasuk birokrat, mahasiswa, budayawan dan lain sebagainya, dapat dimaknai dalam satu kesatuan yang utuh. Taufiq berani “bersuka ria” dan muncul ke permukaan saat puisi Indonesia dewasa ini dominan dikuasai oleh motif romantik dan mode kontemporasi asing. Taufiq “emoh” menjadikan puisi sebagai objek komersialis dengan menyuguhkan keindahan yang “abstrak” semata dalam setiap puisi-puisinya. Taufiq berani berparade dalam deklamasi baca puisi dengan sangat antusiasnya hingga nuraninya yang dalam meneteskan air mata. Air mata tentang imaji yang suram sejumlah perilaku negatif seperti pragmatisme, utang negara, korupsi, suap, keserakahan, indoktrinasi, kecurangan pemilu, pengingkaran UUD dan lain sebagainya (kulit terakhir MAJOI : Kuntowijoyo : 1998). Vokal terang-terangan yang sangat dinantikan oleh kalangan mahasiswa dan aktivis HAM negara ini terdengar nyaring tatkala puisi Taufiq dideklamasikan di depan umum, hingga saat ini.

/5/

“Seorang pejuang tak lagi menggunakan pedang, melainkan kata”. Taufiq bukan pejuang, tapi beliau adalah pejuang sastra dan budaya. Implisivitas karyanya menjadi “pedang” yang mampu mengobarkan kembali semangat generasi muda Indonesia lewat satu sisi yang sangat positif. Hal itu dilakukannya saat suguhan media elektronik dan informasi menggandrungi pemikiran generasi muda saat ini. Taufiq barangkali sangat prihatin batinnya saat nilai sastra dan budaya perlahan ditinggalkan untuk menjadi konsumsi komunitas tertentu. Bentuk keprihatinan Taufiq terhadap generasi muda ditulisnya dalam puisi edukatif “Pelajaran Tata Bahasa dan Mengarang” yang merupakan kritik “membangun” terhadap sistem pengajaran yang selama ini diterapkan, seperti ditulisnya :
.............................................
“Wahai Pak Guru, jangan kami disalahkan apalagi dicerca
Bila kami tak mampu mengembangkan kosakata
Selama ini kami’kan diajar menghafal dan menghafal saja
Mana ada kami dididik mengembangkan logika
Mana ada diajar berargumentasi dengan pendapat berbeda
Dan mengenai masalah membaca buku dan karya sastra
Pak Guru sudah tahu lama sekali
Mata kami rabun novel,cerpen, rabun drama dan rabun puisi
Tapi mata kami’kan nyalang bila menonton televisi.”
1997
(Taufiq Ismail dalam Pelajaran Tata Bahasa dan Mengarang : Antologi MAJOI)

Sebagai orang Minang, Taufiq tahu betul bahwa hanya Agama (Syarak) yang menjadikan manusia menjadi lurus di hadapan TuhanNya dan dengan bahasa (Kato) manusia memiliki pancaran budi (Baso). Beberapa karyanya juga menyuguhkan nilai-nilai religius dan sopan santun itu seperti ditulisnya dalam bait berikut :

NASIHAT-NASIHAT KECIL ORANG TUA PADA ANAKNYA BERANGKAT DEWASA
Jika adalah yang harus kau lakukan Ialah menyampaikan kebenaran Jika adalah yang tak bisa dijual belikan Ialah yang bernama keyakinan Jika adalah yang harus kau tumbangkan Ialah segala pohon-pohon kezaliman Jika adalah orang yang kau agungkan Ialah hanya Rasul Tuhan Jika adalah kesempatan memilih mati Ialah syahid di jalan Illahi.
Trauma terhadap masa lalu bangsa yang kelam membuat Taufiq semakin kritis dalam menyuarakan suara kebenaran lewat kritik sosial. Hal itu yang menjadikan Taufiq tidak hanya menjadi pejuang sastra tapi sepatutnya juga ia menjadi pejuang bangsa. Dalam antologi MAJOI, beberapa puisi yang ditulisnya seperti 12 Mei, 1998, UUD’45, dan Kembalikan Indonesia Padaku (KIP) dan lain sebagainya memancarkan sisi kepengarangannya sebagai penyair kebangsaan. Beberapa puisi tersebut hanya sekelumit dari tematik kebangsaan yang pernah ditulisnya. Aspek heroik kepengarangan Taufiq salah satunya terlihat dalam larik 12 Mei, 1998.

12 MEI, 1998
mengenang Elang Mulya, Hery Hertanto,
Hendriawan Lesmana dan Hafidhin Royan

Empat syuhada berangkat pada suatu malam, gerimis air mata
tertahan di hari keesokan, telinga kami lekapkan ke tanah kuburan
dan simaklah itu sedu-sedan,
Mereka anak muda pengembara tiada sendiri, mengukir reformasi
karena jemu deformasi, dengarkan saban hari langkah sahabat-
sahabatmu beribu menderu-deru,
Kartu mahasiswa telah disimpan dan tas kuliah turun dari bahu.
mestinya kalian jadi insinyur dan ekonom abad dua puluh satu,
Tapi malaikat telah mencatat indeks prestasi kalian tertinggi di
Trisakti bahkan di seluruh negeri, karena kalian berani
mengukir alfabet pertama dari gelombang ini dengan
darah arteri sendiri,
Merah putih yang setengah tiang ini, merunduk di bawah garang
matahari, tak mampu mengibarkan diri karena angin lama
bersembunyi,
Tapi peluru logam telah kami patahkan dalam do’a bersama, dan
kalian pahlawan bersih dari dendam, karena jalan masih
jauh dan kita perlukan peta dari Tuhan.
1998.

Seringkali menulis tentang urgensi demokrasi dan apresiasi terhadap arti demokrasi itu sendiri menempatkan Taufiq sebagai demokrat sejati. Bahkan di kalangan mahasiswa puisinya sudah mendapatkan tempat tersendiri karena mencerminkan tentang perjuangan hak-hak mahasiswa dan juga bangsa, karena dirinya menulis :

Mahasiswa takut pada dosen Dosen takut pada dekan Dekan takut pada rektor Rektor takut pada menteri Menteri takut pada presiden Presiden takut pada mahasiswa. (Taufiq Ismail dalam ‘Takut 66, Takut 98’, 1998)

/6/

Orisinalitas sebuah karya tidak terlepas dari karakteristik karya itu sendiri yang ditulis dan diciptakan oleh seorang pengarang. Orisinalitas tersebut sangat berhubungan dengan domain kepengarangan dan juga diksi. Dengan diksi itu pula Taufiq merenungi sisi kontemplatif yang selalu mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan yang konkret. Kontemplasi kemanusiaan itulah yang mencirikan orisinalitas dari setiap karya (red_puisi) yang dibuatnya. Tatanan nilai dalam sebuah puisinya diraba secara konkret oleh pembaca agar pesan puitik pengarang dapat dirasai dalam setiap pembacaannya, maka saat itu pula pemikiran (brainwork) dan intelektualitas dari seorang pengarang memiliki peranan.
Puisi yang ditulis Taufiq tidak hanya dapat dinikmati dari struktur atau gaya kepenulisan, dihayati secara intens lewat makna kata, tetapi puisinya juga sangat adaptif untuk dipentaskan (deklamasi puisi). Lewat narasi serupa eufonik, puisi berkabar yang ditulisnya terkesan “tegas” dan indah untuk didendangkan (salah satunya syair Sajadah Panjang yang dinyanyikan Grup Musik Bimbo). Lanjutnya, Kuntowijoyo menulis bahwa dengan puisi dia (Taufiq) mendalang, berkabar tentang berbagai aspek kehidupan kepada pembaca dan pendengarnya. Aspek kehidupan yang didendangkan tidak jauh-jauh dari tatanan individu, sosial hingga sistem politik yang universal yaitu kehidupan berbangsa dan bernegara. Aspek itu pula yang menjadi snapshot peristiwa yang tidak pernah luput dari perhatian penyair kebangsaan kita, Taufiq Ismail.
Akhir kata, penulis mengutip lantunan sebuah pantun Minang berikut :
Nan kuriak iolah kundi
Nan sirah iolah sago,
Nan baiak iolah budi
Nan indah iolah baso.

Wassalam.
Ranah Minang
Padang, Februari 2008. ^Penulis adalah Mahasiswa Universitas Andalas Padang

KEPUSTAKAAN
Atmazaki.1990.Ilmu Sastra : Teori dan Terapan. PT. Angkasa Raya : Padang.
Ismail,Taufiq. 1998. Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (Kata Pembuka
Dr.Kuntowijoyo). PT. Intermasa : Jakarta.
Rosidi, Akip.1968. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. PT.Binacipta : Bandung.

* Dr. Kuntowijoyo dalam Kata Pembuka MAJOI
** Taufiq Ismail lahir tahun 1937 (Ajip Rosidi : Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia)
*** “Bakaba” dalam bahasa Minang berarti berkabar, sebuah pertunjukkan seni klasik yang menggunakan bahasa kias
(pantun) dan musik.
****Beberapa bahasan dalam esai ini memfokuskan posisi Taufik dalam Majoi (1998)
Lomba Karya Tulis Mahasiswa Tingkat Nasional
Tentang Taufiq Ismail dalam Peranannya dalam Sastra dan Budaya Indonesia



Introduction to Group Technology

by Andhika Dinata dan Ade Febriansyah

Abstract
Recently, batch manufacturing is estimated to be the most common production
that constitutes for about 50% or more of the total manufacturing activity. Based
on it, there is growing need to make batch more efficient. One of the approaches
that related to that objective is by using Group Technology (GT) concepts. GT is
a manufacturing philosophy that attempts to group products with similar design
or manufacturing characteristics. Indeed, GT even gained importance in a way of
worker effectiveness with the cellular design application. GT also attempts to
improve material flows (refer to; backtracki
ng reduction, intersection reduction)
in order to get higher utilization of labor and equipment.
Keywords: Group Technol
ogy, higher utilization

1. Introduction
Group Technology is an approach that seeks to identify those attributes of
a population that permit its members to be collected into groups, which are
called families. There are usually efficiencies and advantages to be gained
from dealing with the population when it is divided into groups. Similar
parts are arranged into group (part families). For example, a plant
producing 10,000 different part numbers may be able to group of these
parts into 50 or more distinct families. In fact, the processing of each parts
of a given family would be similar in term of manufacturing efficiencies.
These efficiencies are achieved by arranging the production equipment
into machine groups or cells, to facilitate work flow.
Originally, the biggest single obstacle in changing over to group
technology form a traditional production shop is the problem of grouping
parts. According to general researches, there are three methods which are
usually used for solving that problem. The three methods are : (1) Visual
inspection, (2) Classification and coding parts, and (3) Production flow
analysis.
2. A Definition of Group Technology
Group Technology is a management philosophy that attempts to group
products with similar design or manufacturing characteristics [1]. In
similar view, Groover has been defined Group Technology as a
manufacturing philosophy in which similar parts are identified and
grouped together to take advantage of their similarities in manufacturing
and design [2]. An application of GT is cellular manufacturing design
(CM) that involves grouping machines based on the parts manufactured by
them. The main objective of CM is to identify machine cells and part
families simultaneously, and also to allocate part families to machine cells
in a way that minimizes the intercellular movement of parts [2].
CM is a relatively recent concept that has been applied successfully in
many manufacturing environments can achieved significant benefits. The
surveyed Wemmerlov and Hyer (1989) have witnessed these goals of GT
with [2] :
Ø Set up time reduction
Ø Work-in-process inventory reduction
Ø Direct and indirect labor cost reduction
Ø Improvement in quality
Ø Improvement in material flow
Ø Improvement in machine utilization
Ø Improvement in space utilization
Ø Improvement in employee morale.
3. Part Families
A part family means that a collection of parts which are similar either
because of geometric shape and size or because similar processing steps
are required in their manufacture [1]. The parts within a family are
different, but their similarities are close enough to merit their identification
as members of the part family.















Figure 3.1 Two parts of identical shape and size and size but different
manufacturing requirements
Figure 3.2 Thirteen parts with similar manufacturing process requirements but different
design attributes

Figures 3.1 and 3.2 show two parts families. The two parts shown in figure
3.1 are similar from a design viewpoint but quite different in terms of
manufacturing. Figure 3.2 might constitute a part family in manufacturing,
but their geometry characteristics do not permit them to be grouped as
design parts family.

As a principle, GT are arranged the various machine tools by specific
function. There is a lathe, milling, drill press, and so on. During the
machining of a given part, the workpiece must be moved between sections
with perhaps the same section being visited several times. This results in a
significant amount of material handling, a large in-process inventory,
usually more setups than necessary, long manufacturing lead time, and
high cost.







Figure 3.4 Group Technology Layout

Figure 3.4 shows a production shop of equivalent capacity, but with the
machines arranged into cells. Each cell is organized to specialize in the
manufacture of a particular part family. Advantages are gained in the form
of reduced workpiece handling, lower set up times, less-in process
inventory, and shorter lead times. Continuously, some of the
manufacturing cells can be designed to form production flow lines, with
conveyors used to transport work parts between machines in the cell.
4. Conclusions
GT are commonly known as a manufacturing philosophy that attempts to
group products with similar design or similar manufacturing
characteristics. CM can be identified as an application of GT that involves
grouping machines based on the parts manufactured by them. Recently,
GT plays important roles for production, especially for improving material
flows, resources utilization, etc.

References
[1] Groover, Mikhell P. 1987. Automation, Production Systems, and Computer
Integrated Manufacturing. Prentice Hall International: USA.
[2] Heragu, Sunderesh. 1997. Facilities Design. PWS Publishing Company:
Boston.

Rabu, 28 Mei 2008

Panorama Menjelang Sore


dua orang anak kecil bermain di taman,

yang satu berbaju kuning

yang dua berbaju putih,

yang satu memakai sandal

yang dua tidak

mereka berdua memandangiku

akupun membalasinya senyum kala itu

mereka berdua memandangiku lagi

lalu berkejar-kejaran dalam

dimensi paruh waktu

sore itu

(: Ah, kini tak lagi mereka yang

bermain di taman sore,

tak seperti biasanya).


Padang, Juli 2005

Cerita Sastra Andhika

MENCERMATI WAJAH KELUMPUHAN

SASTRA INDONESIA DI SEKOLAH

(Sepenggal Catatan 55 Tahun Taufiq Ismail dalam Sastra dan

Budaya Indonesia)

“Jika pengajaran sastra di sekolah dapat dilaksanakan sebaik-baiknya, niscaya banyak manfaat yang dapat di ambil, baik dalam perspektif edukatif maupun kultural. Akan tetapi, dalam kenyataannya pengajaran sastra belum mampu memenuhi harapan” [Sayuti:2008].


Pengajaran sastra lebih sering diidentikkan dengan pembelajaran prosa, puisi, novel, cerpen, drama, berikut dengan penelaahannya. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan pembelajaran semacam itu, karena memang itulah sastra, sastra yang semestinya diajarkan pada bangku persekolahan lewat prosa, puisi, novel, cerpen, drama dan lain-lain dengan beberapa pemahaman yang lebih intens tentunya. Permasalahan yang muncul saat ini adalah seberapa efektifkah pembelajaran sastra di sekolah saat ini?. Sebuah pertanyaan yang barangkali tidak hanya diulas dalam wacana kali ini saja.

Pengajaran sastra selama ini yang kita lihat (merujuk pada pengalaman empiris) hanya berupa pembekalan edukatif dimana guru sebagai tenaga pengajar membidik siswa didik dengan materi kesusasteraan yang dibakukan, dengan harapan siswa dapat memahami sekaligus tidak merasa ‘canggung’ bila dihadapkan pada persoalan sastra berpilihan ganda pada saat naskah ujian diberikan. (: semoga pernyataan ini tidak sepenuhnya tepat). Bagi penulis pribadi, pengajaran sastra di sekolah tidak cukup dipandang sebagai “lepas kewajiban” dari seorang guru bahasa kepada siswanya (seusai sastra diajarkan, maka terpulang bagi siswa untuk meresapinya); hal tersebut juga diikuti dengan buruknya persepsi sastra dimata siswa ditambah lagi dengan minimnya porsi pendidikan yang diajarkan. Guru sebagai tenaga pengajar sekaligus pendidik tidak sepenuhnya dapat disalahkan, karena porsi pengajaran sastra yang inproporsional itu justru telah digariskan dan dibakukan dalam kurikulum pendidikan dan hal itu dapat dilihat pada statistik jumlah pertemuan yang membahas tentang materi ajar kesusastraan.

Minimnya porsi pengajaran sastra serta belum terpenuhinya kualitas pengajaran sastra yang kondusif mengundang beberapa polemik yang semakin “menjadi-jadi”. Hal ini ditandai dengan munculnya pelbagai keluhan dari kalangan masyarakat, baik yang datang dari kalangan sastrawan, pakar pendidikan dan pengajaran, dan kalangan dosen maupun guru sastra sendiri1. Menurut catatan Rosidi (dalam Sayuti: 2008), masalah pengajaran sastra khususnya yang menyangkut apresiasi para siswa, masuk pembicaraan resmi para ahli sastra dan kaum pendidik pada tahun 1955 dalam bentuk simposium di Fakultas Sastra UI. Masih dalam catatan tersebut, sejak saat itu tidak terhitung lagi tulisan-tulisan yang membicarakan masalah tersebut, baik dalam bentuk tulisan-tulisan ringan yang dimuat di berbagai surat kabar dan majalah maupun dalam bentuk kertas kerja di pertemuan-pertemuan ilmiah tingkat lokal, regional dan nasional.

Bentuk kekhawatiran terhadap terjadinya semacam “kelumpuhan” bahkan distorsi pembelajaran sastra di sekolah disinyalir oleh Prof. Dr. Suminto A. Sayuti (Guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta), bahwa dalam kenyataannya pengajaran sastra belum mampu memenuhi harapan. Meski tidak terkesan ilmiah, penulis dapat menerka dengan mudah proporsi siswa sekolahan yang mengenali nama-nama besar dalam kesusastraan, seperti Pramoedya Ananta Toer, NH Dini, Sutardji Calzoum Bachri, Ibrahim Sattah dan banyak lagi; yang dikomparatifkan dengan siswa yang justru tidak mengenali nama-nama besar yang sudah “mapan” ,seperti WS Rendra, Sapardi Djoko Damono, Taufiq Ismail, Goenawan Mohammad dan lain sebagainya. Singkat kata, untuk karya-karya monumental sekaliber WS Rendra, Sapardi Djoko Damono, Taufiq Ismail, Goenawan Mohammad siswa tak banyak tahu, lantas bagaimana untuk memahami karya sastra pembaharu (: kontemporer), seperti Hamid Djabbar, Sutardji Calzoum Bachri dan Ibrahim Sattah misalnya. Tentu saja wacana ini tidak sepenuhnya bermaksud untuk memvonis guru, siswa, dan stakeholder pendidikan umumnya terhadap buramnya wajah pengetahuan kesusastraan generasi muda Indonesia. Namun, setidaknya kita perlu menyadari dan meresapi dalam-dalam bahwa sastra bukan semata menjadi konsumsi komunitas orang-orang “lihai kata” (:sastrawan), melainkan sastra telah bertransformasi secara kultural dalam kepribadian bangsa ini. Sastra dapat diintroduksi, diobservasi untuk kemudian ditumbuhkembangkan dalam ladang subur pendidikan secara perspektif edukatif maupun kultural. Ia (: sastra) tidak semata menjadi bahan ajar, tetapi sekaligus berperan sebagai sokoguru pendidikan moral dan personal. Untuk istilah ini, penulis lebih merasa aman untuk menggantikan istilah “pembelajaran sastra” yang umum dikenal dengan istilah “pendidikan sastra” yang justru akan lebih memuat intensitas pendidikan dan nilai luhur yang kompleks. Seyogyanya pula, pendidikan sastra di kelas tidak semata untuk dihafal, diingat, dan dibacakan, tetapi sastra harus diresapi dan dinikmati sebagaimana tujuan penulisannya oleh pengarang yang menciptai sastra tersebut.

Dengan memuat pendidikan sastra, secara disadari atau tidak, dapat mengikis budaya pesimis masyarakat kita akan terjadinya deteriorasi nilai luhur kebangsaan yang merosot dikalangan generasi muda. Karena pada kenyataannya, karya sastra justru dominan menegakkan unsur edukatif (pesan moral), kritisisasi sosial, dan sarana estetis bagi pembacanya. Jika kebanyakan karya sastra telah terlebih dahulu memuat unsur tersebut, maka tidak ada alasan untuk memberikan porsi yang sedemikian minim dalam kurikulum pengajaran. Tentu saja, karya sastra yang dimaksud disini adalah karya sastra yang mewakili perkembangan dan karakteristik berbangsa dan berbudaya, dengan tetap untuk tidak mengindahkan sarana estetis bagi pembacanya.

Ternyata apa yang dikhawatirkan oleh sastrawan dan budayawan besar Taufiq Ismail2 dalam rumusan tulisan “Benarkah Kini Bangsa Kita Telah Rabun Membaca dan Lumpuh Menulis” menjadi suatu realita pahit yang tak terbantahkan. Meminjam istilah “Generasi Nol Buku”nya Taufiq, kita perlu sadari bahwa generasi harus memiliki daya kreatif membaca dan menulis, seiring dengan itu memahami pula secara intensif apa yang tengah dibacanya. Sebuah realita menganga depan kita bahwa telah terjadi kemerosotan membaca buku, menulis karangan dan apresiasi sastra di sekolah-sekolah, sejak dari SD sampai perguruan tinggi4. Di AMS Hindia Belanda2, siswa wajib membaca 25 buku sastra selama 3 tahun, dan menulis karangan 1 seminggu, 36 setahun, 108 karangan selama 3 tahun. Bandingkan itu dengan SMA kita hari ini: wajib baca 0 (nol) buku yang tidak ada pula disediakan di perpustakaan, dan menulis karangan wajib rata-rata sekali setahun menjelang naik kelas atau tamat sekolah, dengan kekecualiaan SMA yang sedikit sekali (Ismail: 1997).

Karya sastra adalah sebuah karya monumental yang tentu saja memuat pesan spesifik pada pembacanya, nilai-nilai luhur dalam tulisan kesusatraan telah dikarang dan ditulisi oleh pengarang negeri ini semenjak dahulunya. Siapa yang tidak kenal dengan Hamka lewat karya besar Tenggelamnya Kapal Van der Vijk, Marah Rusli dengan roman Siti Nurbaya, bahkan karangan Bumi Manusia yang ditulisi oleh pengarang kontroversial Pramoedya Ananta Toer. Karya monumental tersebut membentuk pola pikir dan daya imajinatif pembacanya dalam merenungi sejarah, sistem nilai, norma-norma dan kultur masyarakat kita.

*

Pendidikan sastra di sekolah bermuara pada penciptaan dan pendidikan karakter dari siswa didik. Pendidikan karakter3 , menurut Latif, adalah suatu payung istilah yang menjelaskan pelbagai aspek pengajaran dan pembelajaran bagi pengembangan personal. Pendidikan karakter menggarap pelbagai aspek dari pendidikan moral, pendidikan kewargaan, dan pengembangan karakter (Latif: 2008). Pendidikan karakter tersebut menjadi sarana yang tepat diwadahi dalam dunia sastra, seperti dicontohkan secara santun dalam bait puisi Taufiq Ismail berikut ini :

Jika adalah yang harus kau lakukan

Ialah menyampaikan kebenaran

Jika adalah yang tak bisa dijual belikan

Ialah yang bernama keyakinan

Jika adalah yang harus kau tumbangkan

Ialah segala pohon-pohon kezaliman

Jika adalah orang yang kau agungkan

Ialah hanya Rasul Tuhan

Jika adalah kesempatan memilih mati

Ialah syahid di jalan Illahi.

[“Nasihat-nasihat Kecil Orang Tua Pada Anaknya Berangkat Dewasa”]5

Bait puisi tersebut alangkah indah dan “sejuk” terasa, bila dideklamasikan oleh siswa di depan kelas, didiskusikan, dihayati dan diinterpretasikan pemaknaannya. Pada dasarnya, kesesusastraan Indonesia tidak akan-akan jauh dari gerakan moral serta pendidikan karakter yang tersirat dari sisi heroik (kepahlawanan) dan contoh keteladanan. Menurut Latif (2008), pendidikan karakter seringkali diintroduksikan ke dalam kelas dan kehidupan publik lewat contoh-contoh keteladanan dan kepahlawanan. Lanjutnya, siswa dan masyarakat memeriksa sifat-sifat karakter yang menjelma dalam diri teladan dari pahlawan itu. Nilai-nilai keteladanan dan kepahlawanan ini tidaklah diajarkan (taught) secara kognitif dalam rumus “pilihan ganda”, melainkan ditangkap (caught) lewat penghayatan emotif (Latif: 2008).

Agaknya hal yang demikian telah tersirat dalam pola pengajaran sastra yang selama ini diterapkan layaknya penggalan bait puisi Taufiq Ismail berikut:

.............................................

“Wahai Pak Guru, jangan kami disalahkan apalagi dicerca

Bila kami tak mampu mengembangkan kosakata

Selama ini kami’kan diajar menghafal dan menghafal saja

Mana ada kami dididik mengembangkan logika

Mana ada diajar berargumentasi dengan pendapat berbeda

Dan mengenai masalah membaca buku dan karya sastra

Pak Guru sudah tahu lama sekali

Mata kami rabun novel,cerpen, rabun drama dan rabun puisi

Tapi mata kami’kan nyalang bila menonton televisi.”

(Pelajaran Tata Bahasa dan Mengarang : Antologi MAJOI6)

Selasa, 27 Mei 2008

TERJEMAHKAN AKU TUHAN (1)

Terjemahkan Aku Tuhan

sebagai layangan yang putus menuju-Mu

Terjemahkan Aku Tuhan

sebagai air yang alir pada samudera-Mu

Terjemahkan Aku Tuhan

sebagai musafir yang merangkak dalam padang-Mu

Terjemahkan Aku Tuhan

sebagai padi yang merunduk oleh kuasa-Mu

Terjemahkan Aku Tuhan

sebagai burung yang menghinggap di ranting pohon-Mu

Terjemahkan Aku Tuhan

sebagai guguran daun yang melapuk pada tanah-Mu

Terjemahkan Aku Tuhan

sebagai tinta yang mengering dalam pena-Mu

Terjemahkan Aku Tuhan

sebagai embun yang menetes di atap sirap-Mu

Terjemahkan Aku Tuhan

sebagai tanah yang meliat pada bumi-Mu

Terjemahkan Aku Tuhan

sebagai bayi yang kubur menelentang di batu nisan-Mu

Terjemahkan Aku Tuhan

sebagai abu yang memutih di pelataran-Mu

Terjemahkan Aku Tuhan

sebagai apapun­_

dalam wajahMu

yang kumau

AMIN.

Padang, Agustus 2005

TERJEMAHKAN AKU TUHAN (2)

Terjemahkan Aku Tuhan

sebagai layangan

sebagai air

sebagai musafir

sebagai padi

sebagai burung

sebagai guguran daun

sebagai tinta

sebagai embun

sebagai tanah

sebagai bayi

sebagai abu

yang ;

putus menuju-Mu

alir pada samudera-Mu

merangkak dalam padang-Mu

merunduk oleh kuasa-Mu

menghinggap di ranting pohon-Mu

melapuk pada tanah-Mu

mengering dalam pena-Mu

menetes di atap sirap-Mu

meliat pada bumi-Mu

menelentang di batu nisan-Mu,

dalam wajahMu

yang kumau

AMIN YA RABBIL’ALAMIN.

Padang, Mei 2008


Senin, 26 Mei 2008

TRUE LOVE

kau bisiki aku kemudian menyelinap dalam sekejap mimpi seronok tapi aku percaya perpendaranmu sia-sia karena kau tentu hanya diizinkan mengaum sampai batas segmen ini saja mengaum dari kobar-kobaran lilin angkasa di persimpuhan malam kau menjelma capaimu dari sana untuk merayuku agar duduk satu meja denganmu dan juga dengan mereka di bawah telaga sana tapi sekali lagi perpendaranmu sia-sia meski kau paksakan sungsang payudara malam dalam sekejap anggur mimpi yang seronok

kabut (: semua hadir tanpa harga tanpa warna

kelam mati nyala sebelum kau sentuh kastil ketegaranku)

kekhawatiran ini hanya miliknya keresahan ini bukan untukmu kegalauan ini bukan pula bahagian dari duka mereka lantas kenapa kau berceritera lain pada awan pada hujan pada angkasa kenapa kau teramat risau menghawai-ku dalam hembusan hangat nafasnya tuk turut campur dalam persimpuhan ini awal mula kau tak dalam pengakuan terhadapku semua dimulai dari perselingkuhan kekhawatiran kegalauan kehasutan yang mengalir pada sungai-sungai kebimbangan sekujur darah menyesaki liang arterimu yang bocor demam galau semalam

kelam (: pun sedetiknya kau harus akui akupun

kabut tak tawar lagi tuk lebur dalam Nur sembilan puluh

sembilan di sepertiga malam milik kami berdua)

jelmamu bisu

nianmu rapuh

wajahmu cemberut

**

Padang, Agustus 2005


METAMORFOSA

/1/

Hanya puisi yang bisa kuhadiahkan

untukmu. Sebuah puisi tak sempurna

penuh metamorfosa kata

tanpa Warna

&

Bunga.


/2/

Hanya puisi yang bisa kuhadiahkan

untukmu. Sebuah puisi dalam sepenggal

kosakata lapuk,

kupungut ia lamat-lamat dari

perpustakaan malam alam raya

(: tertulis silau gelap-gelap mata)

// Katak / menjadi / lembu

Malam / se-malam / meraung

hi / hi / hi //

(: kaupun geli mendengarnya

puteri malu nan sembunyi pojok sana,

menggeliat

kehilangan malunya).


/3/

Hanya puisi yang bisa kuhadiahkan

untukmu. Sebuah puisi yang menyeruak

di piramida kata

kuanggap sempurna

kemudian mengkristal dalam tetes-tetes

embun di kehidupan lengang.


/4/

Hanya puisi yang bisa kuhadiahkan

untukmu. Sebuah puisi tak bermajas

dipoles retorika pelit-pelitan

yang kurangkai kala sinusku membengkak

parah oleh oksigen-oksigen

makna & kata.


/5/

Hanya puisi yang bisa kuhadiahkan

untukmu. Sebuah puisi tak sempurna

penuh metamorfosa kata

tanpa Warna

&

Bunga.


/6/

Untukmu.

Padang, Agustus 2005


Sabtu, 03 Mei 2008

Kutersenyum, Kau Sembunyikan Senyummu dalam lipstik

Senyum-senyuman malam bersahut-sahutan

riang meriang riak gelombang ;

Senyum, senyumlah, duhai bulan

senyumi bumi dan aku

di sini

(: riangmu, duhai bulan

senyummu dalam

lipstik-lipstik hujan)

Senyum, senyumlah, duhai bulan

senyumi bumi dan aku

di sini

(: kan kutaruh cappucino sebagai

menu dalam gelas pada

kanvas kesunyianmu)

Senyum, senyumlah, duhai bulan

senyumi bumi dan aku

di sini

(: cakrawala alam

Zamrutnya malam).

**

Padang/2008