Kamis, 29 Mei 2008

Taufiq Ismail: Antara Puisi dan Bangsa


/1/

Dalam suatu kata pembuka seratus puisi Taufiq Ismail Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia kritikus sastra dan sejarahwan Kuntowijoyo menulis bahwa Taufiq Ismail tidak lagi melukis tapi berpikir*. Kemungkinan hasil pemikiran dari kata pembuka itu juga yang kemudian menggagas lahirnya tulisan ringkas ini. Penulis menilai bahwa kemahiran Taufiq Ismail dalam mencerna sisi realita disekitarnya menjadikan setiap puisi yang ditulisnya seolah-olah “hidup” dalam arti yang sebenarnya. Alur kata melalui interpretasi dari sisi realita yang menjadikan setiap baitnya tidak terlalu terkesan abstrak yang melulu ditenggelamkan oleh sebuah keindahan dalam kata.
Penyair menjadi “hidup” oleh penguasaan kata, imaji yang kuat dari pengalaman empiris yang dilaluinya. Demikian juga dengan Taufiq kurang lebih 71 tahun** sudah usia sang penyair, usia yang setidaknya sudah lebih setengah abad diperuntukkan untuk menulis, berfikir hingga jatuh bangun dalam kolam kreativitas. Dengan usia yang mumpuni itu juga Taufiq masih setia berkarya, mengenang sejarah hingga memetakan masa depan lewat produktivitas karya-karyanya. Kematangan berpikir hingga penjelajahan kata dan imaji sudah didapatnya semenjak kecil. Lahir di ranah Minang Bukitttinggi tahun 1937 yang dikenal sebagai ranah yang kaya akan tambo, kaba dan petatah-petitih alam minangkabau. Kultur alam dengan filosofi “Alam Takambang Jadi Guru” tetap dimaknainya secara utuh hingga masih melekat dalam setiap bait yang ditulisnya.
Dibesarkan di tanah Jawa, Pekalongan, untuk menuntut ilmu dan berkreativitas membuatnya menulis puisi dan karya besar lainnya. Akhirnya ia dikukuhkan HB. Jassin sebagai penyair angkatan’66 dan memperoleh berkali kesempatan membawakan pembacaan puisi di negeri asing (diantaranya jadi penyair tamu di Universitas Lowa, USA dan pengarang tamu dewan kesenian Kualalumpur) yang turut membawanya kedalam “alam kata” yang sangat mapan.
Seorang Taufiq telah membawa segudang penghargaan, diantaranya Anugerah Seni pemerintahan RI (1970), Cultural Visit Award pemerintahan Australia (1977), South East Asia Write Award dari kerajaaan Thailand (1994) dan banyak lagi penghargaan lain yang diraihnya.

/2/

Konsepsi dan imaji yang kuat dari Taufiq Ismail secara eksplisit maupun tidak sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial (bahkan politik) yang menjadi budaya kolektif yang dinilai penting untuk dimunculkan. Rona puitis sang penyair seringkali diikuti dengan kontemplasi sosial yang sangat dalam. Wacana politis sosial menjadi semakin lugas dalam Tirani dan Benteng (TB) hingga Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (MAJOI) selayaknya mahasiswa reformis yang berupaya menelanjangi kebobrokan politis di zaman Orde Baru dan Orde Lama. Keberanian yang ditunjukkan melebihi keberanian sutradara perfilman India (bahkan mungkin) yang dengan berani memvisualisasikan dekadensi moral pejabat dan aparat demi tersalurnya aspirasi pikiran dan nurani. Tapi dibalik kelugasan penyampaiannya, puisi Taufiq hingga saat ini tetap saja menarik untuk dibahas, dikaji dan dideklamasikan. Pengkajian yang menarik dari hasil karangan ataupun kajian ekspresif terhadap sosok kepribadian dari pengarang itu sendiri.
Bagi penulis, Taufiq tidak saja dengan mudah menyuguhkan alam metafora yang serba “wah”, tetapi lebih daripada itu ia berhasil menyentuh satu sisi yang sangat layak dimunculkan, yaitu sisi moralitas, kejujuran dan nurani. Keberaniannya dalam menggagas dan menyelipkan suara nurani dalam setiap baitnya menjadi karakter sang penyair yang tak akan dapat dipisahkan. Substansi khas sang penyair tersirat dari sisi keakuan (aku lirik) dalam memetakan narasi puisi menjadi kabar (peristiwa). Sedikit dipengaruhi oleh puisi “bakaba”*** menjadikannya ikut larut dan terbiasa dalam menyuguhkan luapan perasaan (red_suara nurani) yang dialami untuk ikut berbaur dan “mengena” di hati pembacanya. Sesuatu yang “mengena” yang dimaksudkan yaitu pesan puitik yang dipetiknya dari pengalaman empiris sosial atau bahkan religiusitas yang dialami.

/3/

Sang penyair reformis tidak hanya menuangkan tinta di atas kertas kemudian mengukirnya dengan halus untuk menghasilkan sebuah keindahan. Tetapi ia lebih berupaya dalam memetakan gagasan konseptual didasarkan pengalaman batiniah untuk “menyuarakan” gagasan tersebut secara lebih “santun” dan bernas. Bagi penulis, Taufiq Ismail salah satu sosok yang tepat untuk memetakan gagasan konseptual di atas dalam bentuk puisi. Seusai penulisan TB pada tahun 1966 yang menjadi bentuk protes terhadap orde lama, namanya sering diidentikkan dengan sejarah, reformasi dan demokrasi. Ketiga tema tersebut menjadi objek situasi dan inspirasi dari setiap karya monumental yang ditulisnya. Tidak hanya itu, seringkali Taufiq memasukkan unsur repetisi dan eufoni puisi untuk mempertegas makna dalam puisi, memperindah pembacaan serta memperindah struktur puisi menjadi satu kesatuan.
Hingga saat ini, penulis menilai dua nama dalam dunia kepenyairan Indonesia yang secara lantang memperjuangkan moralitas dan nurani kebangsaan, yaitu taufiq Ismail dan Hamid Jabbar (alm.). Keduanya memang tidak bisa dibandingkan karena berada dalam dua generasi kepenyairan yang berbeda dengan gaya bahasa yang berbeda pula. Setidaknya dua penyair itulah yang sangat representatif menjadi figur penyair kebangsaan hingga saat ini. Figur yang dengan lantang “bersuara” terhadap praktik penyelewengan kultural yang dilakukan oleh rezim bangsa ini lewat jalur yang berbeda, yaitu kesenian.
Berbicara tentang figur sang penyair berarti juga berbicara tentang karakteristik karya yang ditulisnya (karya mencerminkan kepribadian). Kemampuan menangkap realita sosial kebangsaan untuk disuguhkan dalam tatanan stilistika secara baik menjadi ciri khas yang membedakannya dengan penyair-penyair lainnya. Keunggulan lain yang dimiliki sang penyair yaitu kemampuannya dalam memetakan peristiwa yang tidak dipengaruhi oleh dimensi ruang dan waktu. Memetakan peristiwa atau mengambil latar (suasana puitik) dengan imaji visual masa depan menjadi salah satu karakter dari seorang Taufiq ismail. Hal itu terlihat dalam Kembalikan Indonesia Padaku**** (1971) dalam bait :

Kembalikan Indonesia Padaku
Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga,
Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 watt, sebagian berwarna putih
dan sebagian hitam, yang menyala bergantian,
Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam dengan bola
yang bentuknya seperti telur angsa,
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam karena seratus juta
penduduknya,
Kembalikan
Indonesia
padaku.
Hari depan Indonesia adalah satu juta orang main pingpong siang malam
dengan bola telur angsa di bawah sinar lampu 15 watt,
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang pelan-pelan tenggelam lantaran
berat bebannya kemudian angsa-angsa berenang-renang di atasnya,
Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga, dan di
dalam mulut itu ada bola-bola lampu 15 watt, sebagian putih dan
sebagian hitam, yang menyala bergantian,
Hari depan Indonesia adalah angsa-angsa putih yang berenang-renang sambil
main pingpong di atas pulau Jawa yang tenggelam dan membawa
seratus juta bola lampu 15 watt ke dasar lautan,
Kembalikan
Indonesia
padaku.
Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam dengan bola
yang bentuknya seperti telur angsa.
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam karena seratus juta
penduduknya,
Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 watt, sebagian berwarna putih
dan sebagian hitam, yang menyala bergantian,
Kembalikan
Indonesia
padaku.
Paris, 1971
(Taufiq Ismail dalam Kembalikan Indonesia Padaku : Antologi MAJOI).

Apabila dilihat dari tahun penulisan, puisi tersebut ditulis Taufiq pada tahun 1971 di kota Paris pula. Jujur saja, entah kenapa sang penyair lebih tertarik menulis puisi yang meng’indonesia’ pada saat situasi keindahan Eiffel notabene menggandrungi inspirasi seniman dunia untuk menulis. Jiwa “Indonesia” lewat tulisannya menjadi catatan penting dari sejarah kepenyairan Indonesia. Tema kekecewaan dan harapan menjadi unsur tematik dalam kebanyakan karyanya termasuk dalam puisi KIP (1971) di atas. Sekali lagi, dalam bait tersebut seorang Taufiq Ismail memberi kesempatan bagi pembaca untuk “merasa” dan “meraba” hari depan Indonesia lewat dimensi ruang dan waktu yang dinarasikannya dengan :
// Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga //
atau dengan,
// Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 watt / sebagian berwarna putih
dan sebagian hitam / yang menyala bergantian //
Bait tersebut memaparkan intuisi sang penyair dalam meraba suatu peristiwa dalam potret masa depan bangsa, meski kenyataan Taufiq menulis pada tahun 1971. Gambaran buram dari setiap larik puisi tersebut justru ditulis tiga tahun sebelum peristiwa MALARI berkobar. Bisa dibayangkan jika tahun penulisan ditiadakan, pembaca hanya mampu menebak bahwa puisi tersebut dibuat pasca peristiwa MALARI atau mungkin pada dekade 1990an berdasarkan unsur tematik yang diangkatnya. Akan tetapi pengecualian tetap berlaku untuk Taufiq dimana tidak selamanya seorang penyair harus menjadi “penyair susana” yang harus menunggu inspirasi untuk berbuat dan berkarya. Jadilah puisi tematik Taufiq sarat dengan tema kebangsaan namun kaya dengan majas perumpamaan dan pengandaian yang tepat.
Tema kebangsaan yang diangkatnya tidak terlepas dari unsur kepekaan penulis terhadap sejarah (historical moments) serta kepekaan nurani yang dimiliki. Lanjutnya di kulit terakhir MAJOI Kuntowijoyo* menulis bahwa puisi Taufiq Ismail adalah puisi nurani. Menurut hemat penulis, dengan menulis kebenaran-kebenaran nurani agaknya Taufiq merasa puas untuk membenarkan yang “benar” ke dalam kata serta juga membenamkan yang “ingkar’ ke dalam kata. Salah dan benar memang harus dipertunjukkan agar seseorang dapat menilai ke arah mana nuraninya harus digerakkan.

/4/

Pengarang adalah orang yang mempunyai kepekaan terhadap persoalan, memiliki wawasan kemanusiaan yang tinggi dan dalam (Atmazaki : 1990 : hal.35). Tematik sosial yang ditulisnya mencirikan kepekaannya terhadap wawasan kemanusiaan. Seorang Taufiq (dalam posisinya sebagai pengarang) mampu menggarap puisi secara ekstensif dalam berbagai aspek kepengarangan. Sejalan dengan pengalaman yang menyertainya Taufiq perlahan menemukan teknik narasi dan gaya bercerita yang cerdas. Alur berkesenian dengan tematik sosial kebangsaan sudah diawalinya semenjak tahun 1966 yang kembali memuncak pada tahun 1998.
Karya-karya yang kebanyakan ditulis penyair turut mencerminkan pancaran kepribadiannya. Apabila penyair dilihat dari point of view yang sentralistik maka gerak jiwa, pengembaraan imajinasi dan fantasi pengarang selalu terlukis dalam karya-karyanya (Atmazaki : 1990 : hal.36). Point of view dari seorang Taufiq seperti yang ditunjukkan dalam TB dan MAJOI yaitu vitalitas pikirannya dalam menangkap fenomena sosial, sejarah, demokrasi dan reformasi. Tak jarang juga ia memasukkan kekentalan budaya religiusitas dan humor dalam puisi yang dibuatnya. Penyair sepertinya mungkin sangat merindukan saat-saat dimana kebenaran nurani diletakkan dalam setiap aspek kehidupan (sosial, sejarah, demokrasi dan reformasi).
Di awal tulisan ini, penulis menulis bahwa Taufiq berharap agar pesan puitik naratif yang dibuatnya dapat “mengena” di hati pembacanya. Berharap setiap kata yang dieja berbagai kalangan pembaca termasuk birokrat, mahasiswa, budayawan dan lain sebagainya, dapat dimaknai dalam satu kesatuan yang utuh. Taufiq berani “bersuka ria” dan muncul ke permukaan saat puisi Indonesia dewasa ini dominan dikuasai oleh motif romantik dan mode kontemporasi asing. Taufiq “emoh” menjadikan puisi sebagai objek komersialis dengan menyuguhkan keindahan yang “abstrak” semata dalam setiap puisi-puisinya. Taufiq berani berparade dalam deklamasi baca puisi dengan sangat antusiasnya hingga nuraninya yang dalam meneteskan air mata. Air mata tentang imaji yang suram sejumlah perilaku negatif seperti pragmatisme, utang negara, korupsi, suap, keserakahan, indoktrinasi, kecurangan pemilu, pengingkaran UUD dan lain sebagainya (kulit terakhir MAJOI : Kuntowijoyo : 1998). Vokal terang-terangan yang sangat dinantikan oleh kalangan mahasiswa dan aktivis HAM negara ini terdengar nyaring tatkala puisi Taufiq dideklamasikan di depan umum, hingga saat ini.

/5/

“Seorang pejuang tak lagi menggunakan pedang, melainkan kata”. Taufiq bukan pejuang, tapi beliau adalah pejuang sastra dan budaya. Implisivitas karyanya menjadi “pedang” yang mampu mengobarkan kembali semangat generasi muda Indonesia lewat satu sisi yang sangat positif. Hal itu dilakukannya saat suguhan media elektronik dan informasi menggandrungi pemikiran generasi muda saat ini. Taufiq barangkali sangat prihatin batinnya saat nilai sastra dan budaya perlahan ditinggalkan untuk menjadi konsumsi komunitas tertentu. Bentuk keprihatinan Taufiq terhadap generasi muda ditulisnya dalam puisi edukatif “Pelajaran Tata Bahasa dan Mengarang” yang merupakan kritik “membangun” terhadap sistem pengajaran yang selama ini diterapkan, seperti ditulisnya :
.............................................
“Wahai Pak Guru, jangan kami disalahkan apalagi dicerca
Bila kami tak mampu mengembangkan kosakata
Selama ini kami’kan diajar menghafal dan menghafal saja
Mana ada kami dididik mengembangkan logika
Mana ada diajar berargumentasi dengan pendapat berbeda
Dan mengenai masalah membaca buku dan karya sastra
Pak Guru sudah tahu lama sekali
Mata kami rabun novel,cerpen, rabun drama dan rabun puisi
Tapi mata kami’kan nyalang bila menonton televisi.”
1997
(Taufiq Ismail dalam Pelajaran Tata Bahasa dan Mengarang : Antologi MAJOI)

Sebagai orang Minang, Taufiq tahu betul bahwa hanya Agama (Syarak) yang menjadikan manusia menjadi lurus di hadapan TuhanNya dan dengan bahasa (Kato) manusia memiliki pancaran budi (Baso). Beberapa karyanya juga menyuguhkan nilai-nilai religius dan sopan santun itu seperti ditulisnya dalam bait berikut :

NASIHAT-NASIHAT KECIL ORANG TUA PADA ANAKNYA BERANGKAT DEWASA
Jika adalah yang harus kau lakukan Ialah menyampaikan kebenaran Jika adalah yang tak bisa dijual belikan Ialah yang bernama keyakinan Jika adalah yang harus kau tumbangkan Ialah segala pohon-pohon kezaliman Jika adalah orang yang kau agungkan Ialah hanya Rasul Tuhan Jika adalah kesempatan memilih mati Ialah syahid di jalan Illahi.
Trauma terhadap masa lalu bangsa yang kelam membuat Taufiq semakin kritis dalam menyuarakan suara kebenaran lewat kritik sosial. Hal itu yang menjadikan Taufiq tidak hanya menjadi pejuang sastra tapi sepatutnya juga ia menjadi pejuang bangsa. Dalam antologi MAJOI, beberapa puisi yang ditulisnya seperti 12 Mei, 1998, UUD’45, dan Kembalikan Indonesia Padaku (KIP) dan lain sebagainya memancarkan sisi kepengarangannya sebagai penyair kebangsaan. Beberapa puisi tersebut hanya sekelumit dari tematik kebangsaan yang pernah ditulisnya. Aspek heroik kepengarangan Taufiq salah satunya terlihat dalam larik 12 Mei, 1998.

12 MEI, 1998
mengenang Elang Mulya, Hery Hertanto,
Hendriawan Lesmana dan Hafidhin Royan

Empat syuhada berangkat pada suatu malam, gerimis air mata
tertahan di hari keesokan, telinga kami lekapkan ke tanah kuburan
dan simaklah itu sedu-sedan,
Mereka anak muda pengembara tiada sendiri, mengukir reformasi
karena jemu deformasi, dengarkan saban hari langkah sahabat-
sahabatmu beribu menderu-deru,
Kartu mahasiswa telah disimpan dan tas kuliah turun dari bahu.
mestinya kalian jadi insinyur dan ekonom abad dua puluh satu,
Tapi malaikat telah mencatat indeks prestasi kalian tertinggi di
Trisakti bahkan di seluruh negeri, karena kalian berani
mengukir alfabet pertama dari gelombang ini dengan
darah arteri sendiri,
Merah putih yang setengah tiang ini, merunduk di bawah garang
matahari, tak mampu mengibarkan diri karena angin lama
bersembunyi,
Tapi peluru logam telah kami patahkan dalam do’a bersama, dan
kalian pahlawan bersih dari dendam, karena jalan masih
jauh dan kita perlukan peta dari Tuhan.
1998.

Seringkali menulis tentang urgensi demokrasi dan apresiasi terhadap arti demokrasi itu sendiri menempatkan Taufiq sebagai demokrat sejati. Bahkan di kalangan mahasiswa puisinya sudah mendapatkan tempat tersendiri karena mencerminkan tentang perjuangan hak-hak mahasiswa dan juga bangsa, karena dirinya menulis :

Mahasiswa takut pada dosen Dosen takut pada dekan Dekan takut pada rektor Rektor takut pada menteri Menteri takut pada presiden Presiden takut pada mahasiswa. (Taufiq Ismail dalam ‘Takut 66, Takut 98’, 1998)

/6/

Orisinalitas sebuah karya tidak terlepas dari karakteristik karya itu sendiri yang ditulis dan diciptakan oleh seorang pengarang. Orisinalitas tersebut sangat berhubungan dengan domain kepengarangan dan juga diksi. Dengan diksi itu pula Taufiq merenungi sisi kontemplatif yang selalu mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan yang konkret. Kontemplasi kemanusiaan itulah yang mencirikan orisinalitas dari setiap karya (red_puisi) yang dibuatnya. Tatanan nilai dalam sebuah puisinya diraba secara konkret oleh pembaca agar pesan puitik pengarang dapat dirasai dalam setiap pembacaannya, maka saat itu pula pemikiran (brainwork) dan intelektualitas dari seorang pengarang memiliki peranan.
Puisi yang ditulis Taufiq tidak hanya dapat dinikmati dari struktur atau gaya kepenulisan, dihayati secara intens lewat makna kata, tetapi puisinya juga sangat adaptif untuk dipentaskan (deklamasi puisi). Lewat narasi serupa eufonik, puisi berkabar yang ditulisnya terkesan “tegas” dan indah untuk didendangkan (salah satunya syair Sajadah Panjang yang dinyanyikan Grup Musik Bimbo). Lanjutnya, Kuntowijoyo menulis bahwa dengan puisi dia (Taufiq) mendalang, berkabar tentang berbagai aspek kehidupan kepada pembaca dan pendengarnya. Aspek kehidupan yang didendangkan tidak jauh-jauh dari tatanan individu, sosial hingga sistem politik yang universal yaitu kehidupan berbangsa dan bernegara. Aspek itu pula yang menjadi snapshot peristiwa yang tidak pernah luput dari perhatian penyair kebangsaan kita, Taufiq Ismail.
Akhir kata, penulis mengutip lantunan sebuah pantun Minang berikut :
Nan kuriak iolah kundi
Nan sirah iolah sago,
Nan baiak iolah budi
Nan indah iolah baso.

Wassalam.
Ranah Minang
Padang, Februari 2008. ^Penulis adalah Mahasiswa Universitas Andalas Padang

KEPUSTAKAAN
Atmazaki.1990.Ilmu Sastra : Teori dan Terapan. PT. Angkasa Raya : Padang.
Ismail,Taufiq. 1998. Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (Kata Pembuka
Dr.Kuntowijoyo). PT. Intermasa : Jakarta.
Rosidi, Akip.1968. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. PT.Binacipta : Bandung.

* Dr. Kuntowijoyo dalam Kata Pembuka MAJOI
** Taufiq Ismail lahir tahun 1937 (Ajip Rosidi : Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia)
*** “Bakaba” dalam bahasa Minang berarti berkabar, sebuah pertunjukkan seni klasik yang menggunakan bahasa kias
(pantun) dan musik.
****Beberapa bahasan dalam esai ini memfokuskan posisi Taufik dalam Majoi (1998)
Lomba Karya Tulis Mahasiswa Tingkat Nasional
Tentang Taufiq Ismail dalam Peranannya dalam Sastra dan Budaya Indonesia



Tidak ada komentar: