Jumat, 25 Juli 2008

KOSAKATA MINI

KOSAKATA MINI 1
Catatan kecilku :
biografi, prosa, puisi & esai.
“ dimana aku dan kuburku ?”
**

KOSAKATA MINI 2
aku tak ingin libatkan diri
dalam sunyi yang syahdu.

jeruji aku dalam palung
kerinduan dalam
lagu AlifMu
**


KOSAKATA MINI
Alif
....

Mendekatlah!


2008

PETANI DALAM HUJAN

berikan aku suara hujan
suara katak pesawahan malam
menyanyi riang sahut-sahutan.

sawah. Aku.
Adalah satu;
(: satu pematang
satu arteri, dalam
hujan dan bayang )

taburi bunga-bunga kehidupan
romansa malam ruang-riang.
Mari Menyanyi !
Mari berparodi !
Mari.. Mari.


2008

Rabu, 23 Juli 2008

WAJAH INDUSTRI KECIL DI SUMBAR

Dalam peranannya sebagai katalisator pertumbuhan ekonomi nasional, perusahaan kecil (termasuk dalamnya sektor informal), menjadi lahan strategis untuk ditumbuh kembangkan, seperti yang dikemukakan Swasono (1986) bahwa dalam kenyataannya sektor informal merupakan bagian tak terpisahkan dari kerangka perekonomian nasional.


SUMATERA Barat menuju era industri?. Kenapa tidak, jawabnya. Sekilas pintas SUMBAR memang masih dipandang sebelah mata sebagai wilayah industri berkompeten di Indonesia. Hal tersebut memang beralasan, karena di SUMBAR sendiri sektor industri dengan largest investment masih dapat dihitung jari. Beberapa industri kompetitif di SUMBAR, diantaranya yaitu industri semen, tambang, tekstil, dan industri pangan. Beberapa diantara industri tersebut ada yang masih eksis dan ada pula yang ‘gulung tikar’, khususnya pasca krisis moneter 1998. Bila dibandingkan dengan daerah lain, seperti Sumatera Utara (SUMUT), Kepulauan Riau, terutama Jawa, maka jumlah dan perkembangan industri berkapital besar di SUMBAR masih belum menunjukkan taraf pertumbuhan yang signifikan. Artinya, jika pandangan umum berlaku bahwa kategori industrialisasi wilayah ditentukan oleh kuantitas, tepatnya, seberapa banyak industri largest investment menanamkan modal di suatu daerah/wilayah, maka tentu saja SUMBAR tidak diperhitungkan masuk ke dalam rating statistik. Namun, ada poin penting di sini, jika kita merujuk pada realitas bahwa kerangka industri tidak semata largest scale industries saja, tapi juga melibatkan small scale industries yang dikenal dengan sektor Industri Kecil dan Menengah (IKM). Sektor industri juga melibatkan peranan dan fungsi sektor IKM.
Di Indonesia, Jumlah unit usaha sektor industri kecil tahun 2003 sebanyak tiga juta unit usaha, industri menengah 16.411 unit, dan industri besar 7.593 unit. Jumlah tersebut meningkat apabila dibandingkan dengan tahun 2002. Jumlah unit usaha sektor industri kecil tahun 2002 sebanyak 2,55 juta unit usaha, industri menengah 15.952 unit, dan industri besar 6.735 unit. Dari data Departemen Perindustrian (Depperin), output sektor industri kecil tahun 2003 mencapai Rp 23,08 triliun. Sementara itu, output sektor industri menengah Rp 17,57 triliun dan output sektor industri besar Rp 63,83 triliun [Dikutip: Kompas: 2004]. Untuk itu diperlukan sinergitas antara pemberdayaan industri besar, menengah dan kecil dalam satu tatanan perekonomian nasional. Stayle dan Morse (Hasan:2002), menyatakan bahwa struktur ekonomi paling produktif adalah integrasi antara industri besar, menengah, dan kecil, yang akan saling mengisi satu sama lain. Karena itu, industri kecil menjadi komplemen yang tak dapat ditinggalkan dalam kerangka ekonomi nasional. Dalam peranannya sebagai katalisator pertumbuhan ekonomi nasional, perusahaan kecil (termasuk dalamnya sektor informal), menjadi lahan strategis untuk ditumbuh kembangkan, seperti yang dikemukakan Swasono (1986) bahwa dalam kenyataannya sektor informal merupakan bagian tak terpisahkan dari kerangka perekonomian nasional. Adanya sektor informal (: juga IKM) bukan sekedar karena terbatasnya lapangan pekerjaan, apalagi sekedar penampung lapangan kerja inkompeten, sebaliknya sektor informal telah menjadi pilar bagi ekonomi nasional. Pandangan tersebut, masih menurut Swasono, dikuatkan lagi oleh kenyataan bahwa perusahaan kecil dapat menyerap sekitar 71% jumlah tenaga kerja, sementara perusahaan besar hanya dapat menyerap sekitar 1,5% saja.
Bila melihat pada faktor jumlah (kuantitas), SUMBAR memiliki jumlah unit industri sebanyak 47.819 unit, terdiri dari 47.585 unit industri kecil dan 234 unit industri besar menengah, dengan perbandingan 203 : 1. Pada tahun 2001 investasi industri besar menengah mencapai Rp 3.052 milyar, atau 95,60% dari total investasi, sedangkan industri kecil memiliki investasi Rp. 1.412 milyar atau 4,40% dari total investasi. Nilai produksi industri besar menengah tahun 2001 mencapai Rp. 1.623 milyar, yaitu 60 % dari total nilai produksi, dan nilai produksi industri kecil mampu mencapai Rp. 1.090 milyar, atau 40% dari total nilai produksi [Dikutip: http://padanginfo.wordpress.com/]. Angka tersebut masih dapat ditingkatkan jika pihak industri kecil dan menengah (IKM) serta stakeholder lainnya mampu mengoptimalisasikan kerangka dan program pembinaan IKM yang bernas dan komprehensif.
Secara umum, perusahaan kecil dan menengah di SUMBAR bergerak pada industri pengolahan pangan, sandang dan kulit, kerajinan, serta industri serat dan mebel. Kuantitas tersebut cenderung bergerak linear sejalan dengan perkembangan penduduk dan dimensi strategis teknologi. Oleh karenanya, pemerintah tidak dapat menutup mata terhadap realitas ini. Besarnya jumlah IMKM di Indonesia umumnya, yang hakikatnya industri padat karya, telah menjadi fokus perhatian pemerintah pusat hingga daerah. Demikian juga di SUMBAR, fokus perhatian terhadap IKM sejalan bergulir dengan program pembinaan dan pengembangan usaha kecil yang dicanangkan sejak berdirinya Direktorat Jendral Industri Kecil (DJIK) pada tahun 1978. Program DJIK direalisasikan dengan bantuan perangkat keras (hardware) terwujud dalam bentuk penyediaan alokasi usaha, bantuan permodalan, penyediaan fasilitas layanan bersama (common service facilities) pada sentra industri kecil. Bantuan perangkat lunak (software) terlihat dalam penyelenggaraan pendidikan dan diklat untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan bagi pengusaha kecil, konsultasi peningkatan/pembinaan usaha, pengadaan Gugus Kendali Mutu (GKM), bantuan promosi dagang serta pelbagai kemudahan lain yang dapat menstimulus enterpreneur usaha kecil dalam mengembangkan usahanya.
*
Persoalan Klasik
SEBAGAI pendorong gerak pembangunan dan perekonomian, seyogyanya industri kecil mendapat fokus perhatian dan pembinaan yang serius. Industri kecil memiliki pola karakter yang tidak dimiliki oleh perusahaan menengah atau besar, seperti biaya organisasi lebih rendah, keuntungan dari segi lokasi, kebebasan bergerak serta rendahnya biaya investasi. Namun, sisi lainnya, sektor IKM juga tak luput dari sentra masalah, terutama bila dilihat dari segi prioritas permasalahannya. Mengenai persoalan klasik atau tepatnya kelemahan yang dimiliki oleh perusahaan kecil di SUMBAR khususnya, Said (1991) menyimpulkan pelbagai permasalahan berikut : kurangnya kemampuan wirausaha di bidang administrasi, lemahnya kemampuan pemasaran, kekurangan modal dan kesulitan untuk akses dengan sumber-sumber modal, serta kurangnya kemampuan untuk mendapatkan informasi dan teknologi yang diperlukan guna pengembangan usaha. Sedangkan Anwar (1991), menambahkan problem kelompok perusahaan kecil di SUMBAR (Kotamadya Padang khususnya) juga dihadapkan dengan persoalan rendahnya tingkat keuntungan usaha. Lanjutnya, perusahaan kecil hanya beroperasi pada posisi Break Event Point (BEP) di sekitar titik impas saja. Tentu saja, kondisi ini dipicu dari rendahnya tingkat pendidikan, pengalaman usaha dan faktor kritis lainnya.
Persoalan klasik lainnya yang seringkali dikeluhkan oleh kalangan pengusaha industri kecil umumnya dan masyarakat konsumen khususnya, yaitu ketatnya persaingan antara produk lokal dan non lokal. Sehingga, muncul polemik bahwa produk lokal tidak akan mampu bersaing dengan kompetitor (importir) di pasaran, belum lagi jika masalah dikerucutkan dengan tajamnya ongkos produksi yang membuat harga produk lokal melambung tinggi. Adakalanya pengusaha industri kecil yang ‘tanggap situasi’ tidak terlalu dipusingkan dengan hal ini karena adanya kecendrungan mereka untuk mengorientasikan usaha pada aspek pasar (: new paradigm). Setidaknya sikap tersebut berimplikasi positif bagi kemajuan usaha bila dibandingkan pengusaha yang “getol-getolan” berorientasi pada produk semata dibanding pasar (: old paradigm).
Persaingan produk dengan pihak importir merupakan hal yang tak dapat dihindarkan. Produk yang memiliki keunggulan, taste dan karakter kuat yang pada akhirnya akan memenangkan bursa persaingan. Demikian sebaliknya. Akan tetapi, persoalan di atas dapat disikapi jika pengusaha industri kecil di SUMBAR khususnya, dapat memainkan peranan pada strategi pasar dan penjualan. Tentu saja upaya ini diiringi dengan “penguatan karakter” produk atau penonjolan kekhasan atribut dari produk yang dipasarkan. Pengelolaan manajerial dan teknis tak dapat pula untuk diabaikan guna meminimalisir pemborosan akibat produksi (waste) yang berujung pada peningkatan produktifitas dan efisiensi perusahaan.
Modal menjadi persoalan klasik yang juga sering dimunculkan. Menilik pada sumber modal, sebagian besar modal industri kecil SUMBAR berasal dari lumbung modal pemilik perusahaan sendiri, hanya sebagian kecil yang berasal dari lembaga keuangan atau pihak ketiga. Pembatasan pemilikan modal dari industri kecil terutama disebabkan bentuk usaha dan sistem pengelolaan keuangan belum sepenuhnya meyakinkan perhatian luar atau lembaga perbankan. Persoalan ini salah satunya dipengaruhi oleh faktor intern dari mental wirausaha (enterpreneurship mentality) dari pengusaha kecil itu sendiri. Kemampuan untuk melakukan lobi usaha, pengajuan proposal usaha, pengelolaan manajemen organisasi secara baik menjadi substansi yang mutlak diperhatikan. Dewasanya, saat ini, pemerintah lewat Departemen Koperasi dan Usaha Kecil Menengah telah menyediakan pelbagai kredit usaha melalui Koperasi Usaha Kecil dan Menengah (KUKM), yang idealnya dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh pemilik dan penggalang usaha kecil, SUMBAR khususnya.
**
Pokok Pembinaan
INDUSTRI kecil harus dibina dan ditumbuhkembangkan. Pola pergeseran metode diterapkan lewat transformasi fungsi tradisional ke tingkat fungsi yang lebih modern (sophisticated) ; baik bila ditinjau dari penyediaan peralatan (equipment) ataupun dari segi penerapan pola manajemen (methods). Pola pergeseran tersebut dilakukan seiring dengan perkembangan teknologi dan knowledge management yang dimiliki dengan tanpa mengabaikan unsur-unsur dan substansi khas yang dimiliki. Di SUMBAR, misalnya, keberadaan sektor industri harus disesuaikan dengan kultur alam dan potensi masyarakat. Dengan demikian, tidak diinginkan munculnya konflik makro akibat kontaminasi lingkungan oleh industri, penelusuran bahan baku ilegal, pengalokasian SDM lokal yang inproporsional, dan lain sebagainya. Idealnya, pembinaan industri kecil harus diselaraskan dengan arah pengembangan dan potensi daerah. SUMBAR dasarnya adalah daerah bertekstur agraris, dimana sektor pertanian memegang peranan vital dalam perekonomian masyarakat. Dengan demikian, perlu diupayakan pertumbuhan yang komplementer antara sektor industri dengan sektor pertanian guna melahirkan sektor agroindustri yang sehat. Di beberapa daerah SUMBAR, seperti daerah Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten Lima Puluh Kota, Kabupaten Dharmas Raya, Kabupaten Solok telah diberdayakan agroindustri yang berawal dari sektor IKM, seperti pengadaan industri penghasil produk pertanian (: hydrotyller dan tresser), industri pengolahan kelapa sawit, serta industri perkebunan teh. Keberadaan agroindustri turut mencerminkan corak dan kultur masyarakat Minang yang ada di SUMBAR itu sendiri.
Prinsip pokok yang harus dipakai dalam pembinaan industri kecil harus diarahkan pada sentra-sentra industri. Dasarnya, daerah SUMBAR telah mendapat skala prioritas sentra industri, pada range sentra utama hingga range sentra berkembang. Di Kotamadya Padang, industri kecil telah berada pada sentra utama dimana industri kecil telah berkembang dengan baik dan sarana pembinaan yang telah dapat difungsionalisasikan keberadaannya. Pengelolaan Balai Latihan Kerja (BLK) salah satunya contoh sarana pembinaan pekerja yang penting untuk diberdayakan. Namun, persoalan terpulang pada seberapa efektifkah pengelolaan yang telah dilakukan sehingga dapat mengakomodir kepentingan industri dalam menjalankan usahanya. Begitu juga, dengan program Gugus Kendali Mutu harus dioptimalisasikan keberadaannya merujuk kenyataan program ini beberapa tahun terakhir belum sepenuhnya dapat memuaskan masyarakat dan sentra industri.
Sementara pada tingkat daerah/kabupaten, sentra industri baru berada pada range sentra berkembang, yaitu sentra yang baru dimonitor tetapi masih diperlukan pokok pembinaan yang intensif. Disadari atau tidak, pertumbuhan sektor industri kecil akan dapat membantu beban pemerintah dalam mengatasi masalah pengangguran. Disamping itu juga turut menunjang tercapainya pemerataan kesempatan kerja dan pemerataan pendapatan. Dalam pelaksanaannya, tentu saja wirausaha industri kecil dan menengah tidak dapat bergerak sendiri dan independen tanpa adanya bantuan dari pihak lain (stakeholders). Peran pemerintah secara konkrit maupun pemerintah dalam wadah instansi sangat dibutuhkan. Sebut saja peran stakeholders dalam wadah instansi maupun lembaga, seperti Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Departemen Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Departemen Tenaga Kerja, Kamar Dagang dan Industri (KADIN), Pemerintah Daerah, Balai Latihan Kerja (BLK), Perbankan, Perguruan Tinggi serta instansi lainnya yang berperan penting dalam pengembangan industri kecil tersebut.

Jumat, 18 Juli 2008

MASA LALU & MASA DEPAN

Time present and time past
Are both perhaps present in time future,
And time future was present in time past
(TS. Eliot)


Waktu adalah Pedang. Demikian untaian indah yang saya petik dari pepatah Arab termasyhur. Pepatah tersebut memiliki makna filosofis yang dalam bila kita renungkan. Dalam meniti sebuah kehidupan, maka kita tidak akan pernah lepas dari dimensi waktu. Hidup adalah perputaran waktu. Waktu, adalah satuan yang dinamis, tak mengenal lelah untuk berhenti berjalan dan berputar meniti detik kehidupan yang juga dinamis. Waktu relatif berubah sesuai dengan zamannya. Sebagai satuan yang dinamis, perihal waktu tak akan dapat diputarbalikkan, diubah alurnya, dihentikan keberadaannya; meski sejenak (terkecuali satuan itu sudah berada dalam kulminasi akhir dari ‘tetapan’ yang termaktub).

Dalam rentang waktu yang telah kita lalui terdapat suatu rekaman realitas yang menjadi blueprint kehidupan kita. Kehidupan adalah bentukan realitas yang memiliki warna dan rasa tersendiri. Warna dan rasa itu kita peroleh setelah melewati perspektif masa lalu yang panjang hingga saat ini. Perspektif masa lalu itu yang kemudian membawa kita ke dalam rekaman memori yang indah, “pahit”, bahkan “asin”.

Dalam konteks global, masa lalu dapat juga disebut sebagai sejarah (:jika telah berbaur dengan tajam dalam tatanan sistem kebangsaan). Perihal masa lalu (:konteks global) tidak akan pernah lepas dari sejarah. Sejarah adalah wujud kondisi masa lalu yang terekam kuat lewat realitas empirik yang dalam. Sejarah telah memuat dengan kompleks catatan ringkas, hingga catatan panjang tiap kondisi heroik, humanis, sosial, politik, heterokultural, religi dan lain sebagainya dalam pandangan kebangsaan yang kuat dan holistik. Konon, orang bilang, bangsa yang maju peradabannya, tinggi apresiasi dan hegemoni kebangsaannya adalah bangsa yang nyata-nyata tidak mau “melepaskan” diri dari unsur sejarah. Sebagaimana yang diungkapkan di awal, sejarah adalah bagian integral dari perihal waktu masa lalu (time past) yang kini kita tinjau dan petakan lewat masa sekarang (time present).

Bagi saya, sejarah adalah blueprint peristiwa yang tidak semata menjadi snapshot masa lalu. Sebagai blueprint peristiwa, tentunya sejarah tidak semata menjadi “bingkai” yang dimuseumkan; tetapi ia (:sejarah) telah menjadi padanan penting untuk dimunculkan dan dilakukan penggalian mendalam terhadapnya. Sejarah juga menjadi padanan penting sebagai tolak ukur “pengejawantahan” di masa datang.

Narasinya kira-kira begini: Jika saya pernah kejatuhan sepeda Federal 2x dahulunya, maka di masa ini saya berniat untuk tidak jatuh lagi untuk kesekian kalinya. Bisa saja, kasus “kejatuhan sepeda” itu saya eliminir dengan jalan mengganti “sepeda Federal” dengan “mobil”, hingga saya tidak lagi mengalami kasus “jatuh”, terkecuali kecelakaan hebat menimpali saya hingga jatuh ke tanah. Lalu bagaimana jika narasinya saya ganti, dengan mengganti objek “sepeda Federal” dengan “sepeda motor”, apakah kasus “kejatuhan” dapat saya eliminir; barangkali tidak jawabnya. Kasus “kejatuhan” pada “sepeda motor” prinsipnya akan sama dengan kasus “kejatuhan” pada “sepeda Federal”. Hanya saja, keterangan situasi dan objeknya dipertukarkan satu dengan lainnya. Tentu saja, kasus “kejatuhan” pada sepeda motor akan menjadi sangat berbeda jika kita mencoba memandangnya dari kondisi kausalitas (:resiko) yang mungkin ditimbulkan. Lagi-lagi, dalam kasus ini, tidak cukup bagi saya untuk mengganti objek dan keterangan saja, untuk mengantisipasi kasus “kejatuhan” yang saya maksudkan. Pada dasarnya, kasus “kejatuhan” itu, dapat saja eliminir lewat pendekatan yang berbeda (saya turut percaya Tak hanya satu jalan ke Roma). Misalnya, dengan membuat semacam strategi penanggulangan agar hal yang sama tidak terulang lagi, seperti dengan meningkatkan kewaspadaan, peningkatan kontrol kendali, dan training yang maksimal. Dengan demikian, resiko kasus dapat saya eliminir, setidaknya dapat saya reduksi, lebih dari yang sebelumnya.

Barangkali narasi itu yang akan membawa kita pada sebuah kontemplasi ringan, Apakah benar kita sudah seutuhnya dan sepenuhnya belajar dari masa lalu hingga kita dapat melepaskan diri dari kenangan “pahit’ bahkan “asin” menuju realitas yang indah dan manis?. Masa lalu adalah realitas yang dapat dipertahankan, digapai kembali, bahkan dapat pula lenyap menjadi ruang snapshot yang sempit. Masa lalu adalah cermin pembelajaran. Tidak sepenuhnya sejarah masa lalu berkelebat dalam kelam, namun tak seutuhnya pula masa lalu berkilau dalam cahaya kebenderangan. Namun, yang pasti sejarah dan memori adalah bagian penting dari perspektif masa lalu yang universal. Masa lalu tak butuh lagi direka, karena ia telah menjadi saksi “hidup” yang monumental. Masa lalu harus digali dalam-dalam sebagai buah pembelajaran. Masa sekarang tak perlu dielakkan, tetapi ia harus dilalui dan dihadapi dengan tegar. Masa sekarang adalah cermin realitas. Cermin realitas masa sekarang adalah realitas itu sendiri. Realitas tak dapat menjauh, dibenturkan, bahkan dielakkan; terkecuali realitas itu sendiri yang “berontak” dan datang menyanggupi diri untuk dijauhi, dibenturkan, bahkan dielakkan (dalam konteks ini, realitas telah berubah sakral menjadi buah kebohongan dan konspirasi).

Bagaimana dengan masa depan?. Masa depan adalah target pencapaian yang berada antara domain kepastian (certainty) dan ketidakpastian (uncertainty). Masa depan, tentu perlu direka, direncanakan, dipetakan. Namun, sekali lagi, ia (:masa depan) tak dapat pula dielakkan. Perekaan masa depan berwujud pada konstruksi konsep dan gagasan untuk diterapkan di masa datang. Pemetaan masa depan adalah buah imaji untuk “merasa” dan “memandang” masa depan sebagai satuan waktu yang teramat dekat, untuk digapai. Masa lalu, sekarang, dan masa depan adalah realitas yang tak dapat dielakkan, namun kita tak kan pernah kehilangan kesempatan untuk memperbaiki dan menggapainya.

Padang, In Memoriam, Juli, 2008.

Senin, 14 Juli 2008

SYAIR

bagiku alam adalah nafas kosakata.
kosong dalam lamunan hujan.
bertuba dalam lorong-lorong malam.
Ku sibuk menggasak makna;
(: makna utuh dalam diri,
sekerat lidah terpalu ? )


“Tak sekedar”, sahutku, dalam
bayang hujan.
terkadang di sini (dalam syair)
hati yang gosong bisa berdenyut
oleh parfum estetika.
estetika alam-mini-kata
begitu ku menyebutnya.


Allah yang dalam
Allah yang nian,
( penggal tiap kata yang kueja dalam
diriku, namun ku tetap utuh mengenangMu )





2008