Time present and time past
Are both perhaps present in time future,
And time future was present in time past
(TS. Eliot)
Waktu adalah Pedang. Demikian untaian indah yang saya petik dari pepatah Arab termasyhur. Pepatah tersebut memiliki makna filosofis yang dalam bila kita renungkan. Dalam meniti sebuah kehidupan, maka kita tidak akan pernah lepas dari dimensi waktu. Hidup adalah perputaran waktu. Waktu, adalah satuan yang dinamis, tak mengenal lelah untuk berhenti berjalan dan berputar meniti detik kehidupan yang juga dinamis. Waktu relatif berubah sesuai dengan zamannya. Sebagai satuan yang dinamis, perihal waktu tak akan dapat diputarbalikkan, diubah alurnya, dihentikan keberadaannya; meski sejenak (terkecuali satuan itu sudah berada dalam kulminasi akhir dari ‘tetapan’ yang termaktub).
Dalam rentang waktu yang telah kita lalui terdapat suatu rekaman realitas yang menjadi blueprint kehidupan kita. Kehidupan adalah bentukan realitas yang memiliki warna dan rasa tersendiri. Warna dan rasa itu kita peroleh setelah melewati perspektif masa lalu yang panjang hingga saat ini. Perspektif masa lalu itu yang kemudian membawa kita ke dalam rekaman memori yang indah, “pahit”, bahkan “asin”.
Dalam konteks global, masa lalu dapat juga disebut sebagai sejarah (:jika telah berbaur dengan tajam dalam tatanan sistem kebangsaan). Perihal masa lalu (:konteks global) tidak akan pernah lepas dari sejarah. Sejarah adalah wujud kondisi masa lalu yang terekam kuat lewat realitas empirik yang dalam. Sejarah telah memuat dengan kompleks catatan ringkas, hingga catatan panjang tiap kondisi heroik, humanis, sosial, politik, heterokultural, religi dan lain sebagainya dalam pandangan kebangsaan yang kuat dan holistik. Konon, orang bilang, bangsa yang maju peradabannya, tinggi apresiasi dan hegemoni kebangsaannya adalah bangsa yang nyata-nyata tidak mau “melepaskan” diri dari unsur sejarah. Sebagaimana yang diungkapkan di awal, sejarah adalah bagian integral dari perihal waktu masa lalu (time past) yang kini kita tinjau dan petakan lewat masa sekarang (time present).
Bagi saya, sejarah adalah blueprint peristiwa yang tidak semata menjadi snapshot masa lalu. Sebagai blueprint peristiwa, tentunya sejarah tidak semata menjadi “bingkai” yang dimuseumkan; tetapi ia (:sejarah) telah menjadi padanan penting untuk dimunculkan dan dilakukan penggalian mendalam terhadapnya. Sejarah juga menjadi padanan penting sebagai tolak ukur “pengejawantahan” di masa datang.
Narasinya kira-kira begini: Jika saya pernah kejatuhan sepeda Federal 2x dahulunya, maka di masa ini saya berniat untuk tidak jatuh lagi untuk kesekian kalinya. Bisa saja, kasus “kejatuhan sepeda” itu saya eliminir dengan jalan mengganti “sepeda Federal” dengan “mobil”, hingga saya tidak lagi mengalami kasus “jatuh”, terkecuali kecelakaan hebat menimpali saya hingga jatuh ke tanah. Lalu bagaimana jika narasinya saya ganti, dengan mengganti objek “sepeda Federal” dengan “sepeda motor”, apakah kasus “kejatuhan” dapat saya eliminir; barangkali tidak jawabnya. Kasus “kejatuhan” pada “sepeda motor” prinsipnya akan sama dengan kasus “kejatuhan” pada “sepeda Federal”. Hanya saja, keterangan situasi dan objeknya dipertukarkan satu dengan lainnya. Tentu saja, kasus “kejatuhan” pada sepeda motor akan menjadi sangat berbeda jika kita mencoba memandangnya dari kondisi kausalitas (:resiko) yang mungkin ditimbulkan. Lagi-lagi, dalam kasus ini, tidak cukup bagi saya untuk mengganti objek dan keterangan saja, untuk mengantisipasi kasus “kejatuhan” yang saya maksudkan. Pada dasarnya, kasus “kejatuhan” itu, dapat saja eliminir lewat pendekatan yang berbeda (saya turut percaya Tak hanya satu jalan ke Roma). Misalnya, dengan membuat semacam strategi penanggulangan agar hal yang sama tidak terulang lagi, seperti dengan meningkatkan kewaspadaan, peningkatan kontrol kendali, dan training yang maksimal. Dengan demikian, resiko kasus dapat saya eliminir, setidaknya dapat saya reduksi, lebih dari yang sebelumnya.
Barangkali narasi itu yang akan membawa kita pada sebuah kontemplasi ringan, Apakah benar kita sudah seutuhnya dan sepenuhnya belajar dari masa lalu hingga kita dapat melepaskan diri dari kenangan “pahit’ bahkan “asin” menuju realitas yang indah dan manis?. Masa lalu adalah realitas yang dapat dipertahankan, digapai kembali, bahkan dapat pula lenyap menjadi ruang snapshot yang sempit. Masa lalu adalah cermin pembelajaran. Tidak sepenuhnya sejarah masa lalu berkelebat dalam kelam, namun tak seutuhnya pula masa lalu berkilau dalam cahaya kebenderangan. Namun, yang pasti sejarah dan memori adalah bagian penting dari perspektif masa lalu yang universal. Masa lalu tak butuh lagi direka, karena ia telah menjadi saksi “hidup” yang monumental. Masa lalu harus digali dalam-dalam sebagai buah pembelajaran. Masa sekarang tak perlu dielakkan, tetapi ia harus dilalui dan dihadapi dengan tegar. Masa sekarang adalah cermin realitas. Cermin realitas masa sekarang adalah realitas itu sendiri. Realitas tak dapat menjauh, dibenturkan, bahkan dielakkan; terkecuali realitas itu sendiri yang “berontak” dan datang menyanggupi diri untuk dijauhi, dibenturkan, bahkan dielakkan (dalam konteks ini, realitas telah berubah sakral menjadi buah kebohongan dan konspirasi).
Bagaimana dengan masa depan?. Masa depan adalah target pencapaian yang berada antara domain kepastian (certainty) dan ketidakpastian (uncertainty). Masa depan, tentu perlu direka, direncanakan, dipetakan. Namun, sekali lagi, ia (:masa depan) tak dapat pula dielakkan. Perekaan masa depan berwujud pada konstruksi konsep dan gagasan untuk diterapkan di masa datang. Pemetaan masa depan adalah buah imaji untuk “merasa” dan “memandang” masa depan sebagai satuan waktu yang teramat dekat, untuk digapai. Masa lalu, sekarang, dan masa depan adalah realitas yang tak dapat dielakkan, namun kita tak kan pernah kehilangan kesempatan untuk memperbaiki dan menggapainya.
Padang, In Memoriam, Juli, 2008.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar