Minggu, 24 Agustus 2008

AGUS SALIM : TEROPONG KEMERDEKAAN DAN POLITIK



Menjelang atau bertepatan peringatan kemerdekaan RI 17 Agustus, kita kembali diingatkan dengan figur kebangsaan kita. Penelusuran atau pengingatan itu menjadi medium bagi kita untuk kembali mengangkat semangat nasionalisme dan mentalitas berbangsa. Pencarian figur Bapak Bangsa atau “the founding father” sering dilakukan guna menggali informasi dari perjalanan patriotik ketokohan Bapak Bangsa tersebut. Berbicara tentang siapa figur Bapak Bangsa barangkali perhatian akan tertuju pada nama-nama, seperti sosok Dwi Tunggal Sukarno-Hatta, Syahrir, Supomo atau M.Yamin. Sukarno-Hatta terpilih jadi figur Bapak Bangsa itu wajar karena selain berperan sebagai proklamator juga menjadi pemimpin pertama Negara RI. Sutan Syahrir adalah tokoh kepartaian yang handal, sementara Supomo dan M.Yamin sangat menonjol peranannya dalam Panitia Sembilan sidang BPUPKI tanggal 29 April 1945. Ada satu tokoh lagi yang terkadang luput dari perhatian publik, yaitu sosok the grand old man1, H. Agus Salim (1884-1954). Agus Salim termasuk pada 68 Tokoh Bapak Bangsa terbaik yang pernah dimiliki Indonesia. Tokoh tua (Oude Heer) ini adalah sosok paling berjasa sekaligus sering dilupa (peranannya) dalam sejarah bangsa. Dalam Panitia Sembilan misalnya, Agus Salim tidak hanya dihormati karena faktor usia tetapi juga karena wibawa dan kepiawaiannya dalam berdebat mengemukakan pendapat di depan publik.

Sosok Agus Salim adalah sosok yang komplit. Ya, negarawan. Ya, politikus, agamawan, budayawan, sastrawan dan lain sebagainya. Kita bayangkan, Indonesia dahulu tanpa sesosok Agus Salim. Perjuangan Sukarno Hatta barangkali akan jauh “tersandung” tanpa ada peran Agus Salim dalamnya. Beliau dikenal sebagai lobbyst dan diplomator terbaik yang dimiliki bangsa saat itu. Jika Sukarno dikenal dunia sebagai orator, maka Agus Salim akan dikenang sebagai diplomator. Tercatat karir diplomasi politiknya gemilang dalam forum internasional terutama sepanjang tahun 1947 hingga 1953. Sebagaimana catatan Salam (1996), bahwa dalam suatu pertemuan Yogya tahun 1948, Belanda kembali bersikeras menegaskan pendirian negaranya. Agus Salim, tercatat dalam sejarah, bereaksi spontan : “Kalau Tuan-tuan menganggap usaha kami untuk mendapatkan pengakuan de jure2 dari negara-negara Arab atas Republik ini bertentangan dengan perjanjian Linggarjati, apakah aksi militer yang Tuan lancarkan terhadap kami sesuai dengan perjanjian Linggarjati?....” (disampaikan kembali oleh Mestika Zed : 2004). Publik kembali terperangah, lontaran pikiran dan kata-kata Agus Salim mampu menggugah forum Internasional berpihak ke Indonesia dan memaksa Belanda berunding kembali hingga penghujung 1949.

Agus Salim : Politik dan Islam
Sebagaimana diceritakan Emil Salim, kemenakan Agus Salim, komitmen terhadap demokrasi dicontohkannya dengan gamblang, Agus Salim menolak mentah-mentah permintaan jadi Ketua Umum Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Maret 1950. Alasannya, tercantum dalam surat kepada M.Zein Arief 26 Maret 1950, ngeri menyaksikan partai politik menggunakan jumlah anggota untuk memperoleh kursi kabinet. Lanjutnya, anggota partai dituntut lebih proaktif memberi dukungan di DPR tanpa memandang kecakapan dan pengalaman mereka. Nah, kondisi itu bertolak belakang dengan sekarang dimana ambisiusitas personal mengalahkan segalanya. Tiap personal dalam partai saling berebut jatah jadi pimpinan umum partai. Disamping itu, pemilihan anggota partai tidak lagi merujuk pada kenyataan bahwa kecakapan dan pengalaman jadi konsiderasi primer lebih dari faktor-faktor lainnya.

Lanjutnya, Simanungkalit (2004), mengutip pendapat Agus Salim, dalam negara demokratis, paham politik mesti disiarkan di kalangan rakyat. Saat itu, Indonesia baru mengembangkan demokrasi, rakyat sangat perlu memperoleh penerangan dan pencerahan yang dapat menstimulus jalannya demokrasi yang sehat. Artinya, “pencerahan” yang dimaksud tidak hanya menjadi tugas individu yang tergabung partai, tetapi menjadi tugas semua kalangan untuk memberi pemahaman semacam itu.

Pasca menolak permintaan PSII untuk jadi Ketua Umum partai, Agus Salim malah membentuk Partai Penyadar (1936). Kali ini Agus Salim mengorientasikan diri pada misii sosial, religi dan kemanusiaan. Sebagai ulama besar, Salim tetap kentara dengan tradisi luhur keislaman, sebagaimana tersurat dan tersirat pada misi partainya, yaitu menyadarkan umat manusia agar berpegang pada Al Qur’an dan Sunah. Dalam misi sosial kemanusiaan, Salim mencurahkan perhatian bagi pemberdayaan kelompok masyarakat kecil melalui Persatuan Pedagang Pasar, Persatuan Sopir Oplet, Perkumpulan Buruh Batik, dan seterusnya. Suatu hal menarik, tidak ada label partai dan persatuan bernuansa Islam dalamnya, tetapi Agus Salim justru mampu memberikan ruh organisasi dalam semangat Islam humanis, yang dihayati dan diterapkan secara integral dalam pengimplementasian, bukan simbol belaka.
***

Negarawan Kita
Agus Salim adalah sosok negarawan tangguh. Beliau tidak hanya politikus ulung tapi sudah menjelma jadi the founding father yang barangkali langka ditemukan saat ini. Agus Salim hidup dalam kesederhanaan, bahkan mungkin “melarat”. Beliau mengorbankan jiwa demi kepentingan bangsa dan negara. Benar, jika beliau tidak sebijak itu, sudah tentu beliau lebih diuntungkan ikut Belanda saja yang menjanjikan harta dan kekayaan buat orang-orang berpengaruh saat itu. Benar, analogi terbalik seratus delapan puluh derajat, bila dibanding saat ini.

Lahir di Ranah Minang, Koto Gadang Bukittinggi (8 Oktober 1884), beliau telah menorehkan garis sejarah dikening kita semua, yang notabene orang Minang ini. Beliau telah menjelma jadi Bapak Bangsa sekaligus figur tangguh yang berani menantang dunia. Satu lagi peran yang beliau tunjukkan, yaitu perjuangan dalam pencantuman “Republik Indonesia berdiri atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa”, hingga butir ini termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Kemerdekaan hakikatnya adalah rahmat dan karunia Allah SWT, jika kita bawa pada dimensi saat ini, bagaimana kita sebagai bangsa tak lagi terjajah dapat mensyukuri dan mempertanggungjawabkan semua itu?. Sementara kita tetap berbaris dan “berjalan” di tempat itu ke itu juga. Ibarat memutar lagu lama yang selalu terseot tatkala dimainkan. Katakanlah, percaturan politik yang “kurang rasa” terhadap rakyat, praktik suap-korupsi, kolusi, penyelewengan dan konspirasi telah menodai catatan rasa syukur kita yang termaktub itu. Kemerdekaan ini kah yang kita maksud?. Sebuah kesia-siaan yang barangkali Agus Salim sendiri (bila masih hidup) akan terbatuk-batuk mual dibuatnya. Moga nurani kita bisa menjawabnya...
***

*Disarikan kembali dari Mestika Zed (2004).
“The Founding Fatherdari Negeri Kata-Kata”, dan dari
Salomo Simanungkalit (2004). ”Demokrasi,
Dinamika Islam, serta Islam dan Negara”


Catatan :
1 gelar tersebut diberikan langsung oleh Bung Karno
2 Republik tak hanya diakui de facto tapi de jure

Jumat, 22 Agustus 2008

SASTRA : PERSPEKTIF SEJARAH DAN KEMERDEKAAN



Peran sastra dalam kemerdekaan mampu mengimbangi vitalitas gerakan kebangkitan yang ekstrim dengan digantikan dengan pola perjuangan moderat. Domain sastra mampu menyentuh, dan meresapi nurani pembaca bahkan “meresahi” publik yang jadi penafsir makna saat itu, yaitu kaum kolonialis.



Seorang Partha Chatterjee (pemikir India) dan Reynaldo Ileto (pemikir Filipina) mengakarkan nasionalisme bukan hanya pada mesiu, perundingan, kognisi barat, dan kapitalisme percetakan (print capitalism), melainkan pada emosi Dionysian (passion) yang dipancarkan puisi dan daya kata (Latif :2008). Sebuah retorika dan daya kata itu menjelma dan berdaya dorong kuat jadi sarana pergerakan (:perjuangan) yang dapat menyamai bahkan melebihi konfrontasi, diplomasi, dan kognisi politik. Bila menilik ke belakang (:sejarah), maka akan kita temukan beberapa catatan yang memuat posisi sastra dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Sebagai contoh, sosok Chairil Anwar tampil menonjol sebagai sosok yang penuh semangat hidup dan sikap kepahlawanan. Sebagaimana catatan Sapardi Djoko Damono (1985), dalam larik “Krawang Bekasi”, sajak saduran Chairil itu ditulisnya tahun 1948 ketika semua menyadari kesulitan yang dihadapi kebanyakan pemimpin bangsa saat itu (baca: Sukarno, Hatta, Syahrir). Tiga larik yang ditulis Chairil : //Menjaga Bung Karno/ Menjaga Bung Hatta/ Menjaga Syahrir// menjadi larik monumental yang mampu menggugah nurani publik saat itu. Lanjut Sapardi, seorang Chairil tidak pernah secara eksplisit menyatakan keterlibatannya pada kegiatan politik, tetapi setidaknya dalam sajak “Persetujuan dengan Bung Karno” (1948) menjadi sajak politik orisinilnya yang dianggap “paling berhasil” mengobarkan semangat generasi saat itu. Chairil dalam lariknya menyatakan bahwa sejak Proklamasi ia “melangkah ke depan berada rapat di sisi” dan merasa bahwa ia dan Bung Karno “satu zat satu urat”.
***

Ketika Politikus Bersastra
Jauh sebelum Chairil berkarya, peran sastra dan kesusatraan umumnya sudah mengakar rambat dalam nadi pejuang politik Indonesia saat itu semenjak era 1920 an. Seperti dikemukakan Yudi Latif (2008) bahwa perjuangan kebangkitan selalu dimulai dari kerja wacana. Tanpa kata, perjuangan kehilangan arah. Sepakat dengan Latif, praktisnya, perjuangan mesti harus dimulai dan dikerahkan dari tiap dimensi termasuk dimensi kultural dan lintas bahasa (kesusastraan). Faktanya, sejak 1924, Muhammad Hatta telah terlibat aktif di Perhimpunan Indonesia (PI) seraya tak lupa Hatta menulis puisi-puisi patriotik (: dua yang terkenal Beranta Indera dan Hindania). Pada tahun 1926, Sukarno juga secara aktif menulis di Jurnal Indonesia Moeda dan dalam waktu bersamaan, ia menjadi editor majalah SI, dan Bendera Islam (1924-1927). Tidak banyak yang tahu, Sukarno, politikus dan negarawan kelas wahid Indonesia itu, juga sempat menulis naskah drama selama masa pembuangan. Sutan Syahrir, disamping aktif di PI, kelak ia juga berperan aktif mengisi Jurnal Daulat Rakyat. Tak banyak yang tahu pula, Syahrir juga dikenal sebagai pemain sandiwara dan sering menekuni kelompok diskusi dan kerja jurnalistik sastra sesama koleganya ko-editor Jurnal Pembela Islam (1929). Hamka tak asing lagi dimata publik karena tersyohor kepiawaiannya menulis roman fenomenal Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk. Artinya, negarawan dan politikus saat itu tak dapat tidak melepaskan diri dari torehan pena, lewat sastra, jalur jurnalistik dan kesenian mereka turut andil berjuang.
Hakikatnya, “keberaksaraan” sastra_meminjam istilah Latif_telah bertransformasi positif jadi medium penyampaian kognitif, ide dan aspirasi dengan derajat literasi dan nilai (value) yang tinggi. Peran sastra dalam kemerdekaan mampu mengimbangi vitalitas gerakan kebangkitan yang ekstrim dengan digantikan dengan pola perjuangan moderat. Domain sastra mampu menyentuh, dan meresapi nurani pembaca bahkan “meresahi” publik yang jadi penafsir makna saat itu, yaitu kaum kolonialis. Maka tak jarang di era pencapaian kemerdekaan, pejuang dan pemimpin bangsa yang menguasai retorika, mahir menulis esai dan juga sastra berulang kali “dipeti-eskan” oleh kaum kolonial. Sebut saja, Sukarno, Hatta, Hamka, Syahrir (terlepas dari posisi politik) berulang kali jadi ‘bulan-bulanan” penguasa ditangkap, dibuang dan diasingkan.
***

Sastra dan Hegemoni Politik
Antonio Skarmeta, sastrawan Chile, mengatakan, jika modernitas bukan sekadar budaya efisiensi, dan jika demokrasi bukan hanya pesta pemilihan dan penjelimetan prosedur politik, akan selalu ada intelektual-sastrawan di seberang struktur politik-berhadapan dengan mereka yang memburu kekuasaan-di luar institusionalisasi akademik dan negara. Pendapat ini mencerminkan bahwa sastrawan dasarnya berada pada posisi masyarakat awam yang merindukan demokrasi yang murni. Ia turut mengambil peran menentang ketidakadilan dan turut menelanjangi peta politik yang tiran. Pada zaman kolonial, sastra dan esai patriotik, dicap sebagai “bacaan liar” dan harus dilenyapkan. Oleh karena urgensi sastra dan esai kala itu telah menjadi konsepsi tajam yang mampu menggugah dan menggerakkan nurani orang banyak. Kesadaran nasional salah satunya terbentuk lewat medium ini. Dalam usahanya, pemerintah kolonial saat itu menggelar larangan terhadap bacaan yang dianggap dapat merusak kekuasaan pemerintah saat itu lewat pendirian Komisi Bacaan Rakyat atau Commisie Voor de Inlandsche School en Volkslectuur tahun 1917 (Rosidi: 1968). Sejak abad 19, sastra, khususnya kesustraan Melayu saat itu telah berkembang hingga mengalahkan peranan bahasa Belanda yang saat itu hendak dikukuhkan jadi bahasa resmi negara. Keberadaan sastra Melayu yang juga beriringan dengan penyeruan penggunaannya oleh tokoh nasional sangat membantu perkembangan lahirnya Bahasa Indonesia (Sumpah Pemuda 1928).
Keberadaan sastra pada periode kelahiran diawali dengan gebrakan sastra oleh M.Yamin, Rustam Efendi, Sutan Takdir Alisyahbana, Armijn Pane, Amir Hamzah, JE Tatengkeng dan seterusnya. Pada dekade 1920 an, M.Yamin, Sanusi Pane, Hatta dan Rustam Efendi banyak menulis soneta yaitu bentuk puisi yang berasal dari Italia. Soneta yang mereka buat tidak hanya bermotif romantik tetapi juga kebanyakan bersentral pada nilai perjuangan. Sastrawan pada periode kelahiran telah menggoreskan tinta emas dalam posisi kesusatraan Indonesia jauh seblaum periode perkembangan yang dipelopori Chairil Anwar lahir. Budi Darma (2008) mengemukakan bahwa retorika (:sastra) berkaitan dengan aspirasi politik, dan aspirasi politik sangat mungkin berkaitan dengan protes, misalnya protes terhadap penjajahan, rasisme, ketidakadilan sosial, dan lain sebagainya. Bung Karno adalah orator sekaligus pencinta sastra, dengan kelihaian retorika bahasa (: jika retorika identik orasi), beliau mampu membakar semangat revolusioner dan menyerukan persatuan bangsa. Demikian juga dengan peranan sastra sebagai dulce et utile (: keindahan dan manfaat), merupakan hakikat moral yang salah satunya tercermin dalam puisi Hatta, M.Yamin, Rustam Efendi, roman Hamka, serta sajak Chairil juga. Demikian, sastra akan tetap berperan menyerukan protes aspirasi yang konon berlanjut “sedu sedan”nya_ meminjam istilah Chairil _hingga saat ini. (Sebuah Kado Kemerdekaan Indonesia Agustus 2008)
***

Jumat, 08 Agustus 2008

DI LORONG ALIF IA MEMBACA

Inspirasi Q.S Al Alaq : 1-5

siapa bilang ia buta ?
mereka saja tak paham makna
ia bisa membaca

siapa bilang ia buta ?
kau saja tak hiraukannya
ia sanggup berirama

Aku ?
“aku bilang ia buta ?”,
“Tidak”.
Ia mampu melelehkan
tetes air mata dalam
Luka
AlifNya.

Senin, 04 Agustus 2008

PENYAKIT KRONIS ITU, BERNAMA KORUPSI


BARU-baru ini kita dikabarkan dengan headlines di media massa yang santer memberitakan kasus korupsi yang melibatkan oknum legislatif. Kasus tersebut memang menjadi realitas pahit bagi bangsa ini, tatkala masyarakat Indonesia seantero negeri belum bisa menghela nafas dalam-dalam pasca kenaikan BBM. Satu wacana belum tuntas “diredam”, wacana lain siap sedia antri “mengunyam”, bahkan siap menggilas rating wacana sebelumnya. Satu wacana disambari kilat oleh wacana lain yang datangnya silih berganti, sebut saja wacana kenaikan BBM, skandal korupsi, kasus suap, hingga yang teraktual kasus pemadaman listrik. Namun, barangkali, saya dalam kesempatan ini lebih tertarik untuk memfokuskan diri pada satu wacana saja, yaitu K-O-R-U-P-S-I. Tujuh penggalan huruf itu pula yang kemudian membentuk satu kata yang barangkali sangat lazim dikenal oleh masyarakat republik ini. Sebagai seorang mahasiswa, tentu saja wacana ini menjadi menarik buat saya, dengan tidak bermaksud untuk menyebut wacana lain kurang “istimewa”, namun setidaknya wacana ini beranjak dari catatan kritis saya dalam domain latar belakang yang tentunya mengharuskan saya “tanggap” dalam menyikapi persoalan tersebut di atas.
Barangkali, wacana ini sudah menjadi wacana yang umum dibahas, dan barangkali pula wacana ini telah menjadi wacana kesekian dari sekian banyak wacana lain yang telah turut serta mengulas tajam persoalan yang sama. Namun, saya tak bermaksud sekadar membuat catatan ringkas untuk “menggenapkan” atau “menyempurnakan” bahasa (language) dan bahasan (contents) wacana terdahulu yang kurang lebih akan bernada sama, dan wacana ini saya buat dari sebuah epos nurani. Epos nurani bagi seorang penulis (:saya tentunya), yaitu dorongan yang terus “memaksa” dan “menghantui” saya untuk segera berbuat dengan menuangkan pikiran dan nurani apa adanya dari realitas apa adanya pula.
Berbicara tentang fokus masalah bernama KORUPSI, tentu telah menjadi polemik umum yang tiada habis-habis dikuak, terutama saat rezim Orde Baru nyata lengser pada era reformasi 1998. Wujud penyakit kronis korupsi sudah menunjukkan gejala yang amat kritis, sulit dicarikan antibiotik dan resep penyembuhannya. Gejala kronis korupsi diindikasikan dahulu dengan gejala “batuk-batuk” yang berpuluh tahun lamanya, kemudian “meradang” dalam kanker tenggorokan dan paru yang kian menyesakkan bangsa ini. Radang itu pula yang membuat bangsa ini kesulitan “bernafas”, karena paru dan tenggorok sudah dipenuhi oleh “lendir” dan “kuman” yang teramat banyak. Realitas itu pula yang kemudian “mengakar rambat” dalam arteri dan nadi, kemudian “mendarah daging” mulai rezim terdahulu hingga sekarang. Kebohongan publik bahkan konspirasi politik yang dahulunya dengan rapi “dipetak umpeti”, “diselubungi” dalam-dalam kian terkuak dan muncul ke permukaan bak terbang roket berkecepatan tinggi menembus langit yang menjulang.
Sungguh, kasus korupsi dewasa ini telah menjadi “medan catur” yang siap menyuguhkan area permainan yang serba “wah” dan menggiurkan bagi tiap pemainnya. Dalam permainan semacam itu, para oknum birokrat, pejabat legislatif, penegak hukum dan elit politik turut berperan jadi “bidak catur” yang warna bidaknya hitam. Ada bidak yang warnanya putih, namun tentu saja bidak tersebut tak bertahan lama karena terus digilas bidak-bidak lainnya, kemudian diseret ke dalam medan untuk segera bertukar “rupa” dan warna. Kebohongan dan permainan semacam itulah yang kemudian menjadi beban berkepanjangan yang harus ditanggung dan dipikul oleh rakyat kecil, petani, peladang dan pedagang kecil yang bekerja mencucuri keringat siang dan malam. Oleh karena perbuatan terkutuk dan laknat dari oknum tak bertanggung jawab, maka rakyat kecil ini pula yang harus menanggung pilu dalam gubuk penderitaan sekian lamanya.
Berangkat dari wacana korupsi pasca Orde Baru dikuak tuntas dan “diberangus”, sepeninggal itu “gudang masalah” tak cukup berhenti sampai di situ saja. Berharap kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme diusut dan digilas, setali dua tali dengan sebelumnya, kasus itu justru mewabah dalam siklus berulang berkepanjangan. Siklus berulang itu tentunya telah terancang dalam “skenario sistem” yang sangat mapan. Era reformasi yang hebat dalam meneriakkan slogan anti korup dan suap menyuap akhirnya berbalik menghadapi realitas pahit kemudiannya. Elit politik kala itu tak henti-hentinya meneriakkan slogan yang sama jelang kursi kepemimpinan didapatkan, alhasil semua hanyalah spanduk retorika untuk “mengambil hati” publik. Akhirnya, rakyat kecil kembali yang jadi tumbal kata-kata dan pengorbanan dari aktuasi slogan yang selama ini disemboyankan.
Alhasil, saat ini, kasus korupsi kian padu lebur dalam rumusan fasa yang kian rumit. Selalu ada “celah” untuk mencacah dan menenggak habis harta kekayaan rakyat dan negara, yang seyogyanya diperuntukkan untuk kesejahteraan rakyat. Wakil rakyat kembali berteriak “ini adil” dan “ini tak adil”, sementara tangan kirinya sempat-sempatnya “bermain mata” dengan tangan kanan hingga kasus kebobrokan ini terjadi berulang kali. Tak hanya legislatif (:oknum) yang berbuat keliru, tak tanggung-tanggung, lembaga supremasi macam kejaksaan agung juga tak luput dari jamahan penyakit kronis ini (:korupsi). Korupsi, suap, amplop pelicin, apapun namanya, merupakan “payung istilah” yang bersaudara tiri, bahkan kandung, satu dengan lainnya. Penyakit kronis itu pula yang mencemari otoritas pimpinan pusat, daerah, legislatif, birokrat hingga kejaksaan, hingga kehilangan martabat dan kepercayaan di mata rakyat. Bila kita cermati secara detail, maka lebih akan kita temukan ketimpangan-ketimpangan lain yang muncul dari mekanisme struktur dan hirarki jabatan dilembaga pemerintahan bangsa ini. Penyakit kronis KORUPSI ini telah menjalar jadi penyakit warisan yang sulit disembuhkan dan ditemukan “penawar” manjurnya.
Semoga saja, KPK, LSM, dan lembaga pemerhati korupsi, serta masyarakat umumnya dapat bekerjasama dan bahu-membahu dalam menyikapi persoalan ini hingga bentuk ketidakadilan semacam ini bisa diusut Tuntas, Tegas, dan Bernas (TTB). Semoga saja, para elit politik nanti tidak terlalu sibuk mengkampanyekan diri anti korupsi, seperti halnya kampanye dokter paru pada pasien-pasiennya yang menyarankan tiap pasien berhenti merokok demi kesehatan. Sementara, sepeninggal pasien, si dokter seenaknya “mengembul asapi” rokok dalam ruangan, sembari bergumam dalam hati : “biarkan saya berbuat dengan tenang, yang penting nasihat tak akan pernah berlaku buat diri saya”. Semoga saja analog demikian “salah”. Semoga.