Peran sastra dalam kemerdekaan mampu mengimbangi vitalitas gerakan kebangkitan yang ekstrim dengan digantikan dengan pola perjuangan moderat. Domain sastra mampu menyentuh, dan meresapi nurani pembaca bahkan “meresahi” publik yang jadi penafsir makna saat itu, yaitu kaum kolonialis.
Seorang Partha Chatterjee (pemikir India) dan Reynaldo Ileto (pemikir Filipina) mengakarkan nasionalisme bukan hanya pada mesiu, perundingan, kognisi barat, dan kapitalisme percetakan (print capitalism), melainkan pada emosi Dionysian (passion) yang dipancarkan puisi dan daya kata (Latif :2008). Sebuah retorika dan daya kata itu menjelma dan berdaya dorong kuat jadi sarana pergerakan (:perjuangan) yang dapat menyamai bahkan melebihi konfrontasi, diplomasi, dan kognisi politik. Bila menilik ke belakang (:sejarah), maka akan kita temukan beberapa catatan yang memuat posisi sastra dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Sebagai contoh, sosok Chairil Anwar tampil menonjol sebagai sosok yang penuh semangat hidup dan sikap kepahlawanan. Sebagaimana catatan Sapardi Djoko Damono (1985), dalam larik “Krawang Bekasi”, sajak saduran Chairil itu ditulisnya tahun 1948 ketika semua menyadari kesulitan yang dihadapi kebanyakan pemimpin bangsa saat itu (baca: Sukarno, Hatta, Syahrir). Tiga larik yang ditulis Chairil : //Menjaga Bung Karno/ Menjaga Bung Hatta/ Menjaga Syahrir// menjadi larik monumental yang mampu menggugah nurani publik saat itu. Lanjut Sapardi, seorang Chairil tidak pernah secara eksplisit menyatakan keterlibatannya pada kegiatan politik, tetapi setidaknya dalam sajak “Persetujuan dengan Bung Karno” (1948) menjadi sajak politik orisinilnya yang dianggap “paling berhasil” mengobarkan semangat generasi saat itu. Chairil dalam lariknya menyatakan bahwa sejak Proklamasi ia “melangkah ke depan berada rapat di sisi” dan merasa bahwa ia dan Bung Karno “satu zat satu urat”.
***
Ketika Politikus Bersastra
Jauh sebelum Chairil berkarya, peran sastra dan kesusatraan umumnya sudah mengakar rambat dalam nadi pejuang politik Indonesia saat itu semenjak era 1920 an. Seperti dikemukakan Yudi Latif (2008) bahwa perjuangan kebangkitan selalu dimulai dari kerja wacana. Tanpa kata, perjuangan kehilangan arah. Sepakat dengan Latif, praktisnya, perjuangan mesti harus dimulai dan dikerahkan dari tiap dimensi termasuk dimensi kultural dan lintas bahasa (kesusastraan). Faktanya, sejak 1924, Muhammad Hatta telah terlibat aktif di Perhimpunan Indonesia (PI) seraya tak lupa Hatta menulis puisi-puisi patriotik (: dua yang terkenal Beranta Indera dan Hindania). Pada tahun 1926, Sukarno juga secara aktif menulis di Jurnal Indonesia Moeda dan dalam waktu bersamaan, ia menjadi editor majalah SI, dan Bendera Islam (1924-1927). Tidak banyak yang tahu, Sukarno, politikus dan negarawan kelas wahid Indonesia itu, juga sempat menulis naskah drama selama masa pembuangan. Sutan Syahrir, disamping aktif di PI, kelak ia juga berperan aktif mengisi Jurnal Daulat Rakyat. Tak banyak yang tahu pula, Syahrir juga dikenal sebagai pemain sandiwara dan sering menekuni kelompok diskusi dan kerja jurnalistik sastra sesama koleganya ko-editor Jurnal Pembela Islam (1929). Hamka tak asing lagi dimata publik karena tersyohor kepiawaiannya menulis roman fenomenal Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk. Artinya, negarawan dan politikus saat itu tak dapat tidak melepaskan diri dari torehan pena, lewat sastra, jalur jurnalistik dan kesenian mereka turut andil berjuang.
Hakikatnya, “keberaksaraan” sastra_meminjam istilah Latif_telah bertransformasi positif jadi medium penyampaian kognitif, ide dan aspirasi dengan derajat literasi dan nilai (value) yang tinggi. Peran sastra dalam kemerdekaan mampu mengimbangi vitalitas gerakan kebangkitan yang ekstrim dengan digantikan dengan pola perjuangan moderat. Domain sastra mampu menyentuh, dan meresapi nurani pembaca bahkan “meresahi” publik yang jadi penafsir makna saat itu, yaitu kaum kolonialis. Maka tak jarang di era pencapaian kemerdekaan, pejuang dan pemimpin bangsa yang menguasai retorika, mahir menulis esai dan juga sastra berulang kali “dipeti-eskan” oleh kaum kolonial. Sebut saja, Sukarno, Hatta, Hamka, Syahrir (terlepas dari posisi politik) berulang kali jadi ‘bulan-bulanan” penguasa ditangkap, dibuang dan diasingkan.
***
Sastra dan Hegemoni Politik
Antonio Skarmeta, sastrawan Chile, mengatakan, jika modernitas bukan sekadar budaya efisiensi, dan jika demokrasi bukan hanya pesta pemilihan dan penjelimetan prosedur politik, akan selalu ada intelektual-sastrawan di seberang struktur politik-berhadapan dengan mereka yang memburu kekuasaan-di luar institusionalisasi akademik dan negara. Pendapat ini mencerminkan bahwa sastrawan dasarnya berada pada posisi masyarakat awam yang merindukan demokrasi yang murni. Ia turut mengambil peran menentang ketidakadilan dan turut menelanjangi peta politik yang tiran. Pada zaman kolonial, sastra dan esai patriotik, dicap sebagai “bacaan liar” dan harus dilenyapkan. Oleh karena urgensi sastra dan esai kala itu telah menjadi konsepsi tajam yang mampu menggugah dan menggerakkan nurani orang banyak. Kesadaran nasional salah satunya terbentuk lewat medium ini. Dalam usahanya, pemerintah kolonial saat itu menggelar larangan terhadap bacaan yang dianggap dapat merusak kekuasaan pemerintah saat itu lewat pendirian Komisi Bacaan Rakyat atau Commisie Voor de Inlandsche School en Volkslectuur tahun 1917 (Rosidi: 1968). Sejak abad 19, sastra, khususnya kesustraan Melayu saat itu telah berkembang hingga mengalahkan peranan bahasa Belanda yang saat itu hendak dikukuhkan jadi bahasa resmi negara. Keberadaan sastra Melayu yang juga beriringan dengan penyeruan penggunaannya oleh tokoh nasional sangat membantu perkembangan lahirnya Bahasa Indonesia (Sumpah Pemuda 1928).
Keberadaan sastra pada periode kelahiran diawali dengan gebrakan sastra oleh M.Yamin, Rustam Efendi, Sutan Takdir Alisyahbana, Armijn Pane, Amir Hamzah, JE Tatengkeng dan seterusnya. Pada dekade 1920 an, M.Yamin, Sanusi Pane, Hatta dan Rustam Efendi banyak menulis soneta yaitu bentuk puisi yang berasal dari Italia. Soneta yang mereka buat tidak hanya bermotif romantik tetapi juga kebanyakan bersentral pada nilai perjuangan. Sastrawan pada periode kelahiran telah menggoreskan tinta emas dalam posisi kesusatraan Indonesia jauh seblaum periode perkembangan yang dipelopori Chairil Anwar lahir. Budi Darma (2008) mengemukakan bahwa retorika (:sastra) berkaitan dengan aspirasi politik, dan aspirasi politik sangat mungkin berkaitan dengan protes, misalnya protes terhadap penjajahan, rasisme, ketidakadilan sosial, dan lain sebagainya. Bung Karno adalah orator sekaligus pencinta sastra, dengan kelihaian retorika bahasa (: jika retorika identik orasi), beliau mampu membakar semangat revolusioner dan menyerukan persatuan bangsa. Demikian juga dengan peranan sastra sebagai dulce et utile (: keindahan dan manfaat), merupakan hakikat moral yang salah satunya tercermin dalam puisi Hatta, M.Yamin, Rustam Efendi, roman Hamka, serta sajak Chairil juga. Demikian, sastra akan tetap berperan menyerukan protes aspirasi yang konon berlanjut “sedu sedan”nya_ meminjam istilah Chairil _hingga saat ini. (Sebuah Kado Kemerdekaan Indonesia Agustus 2008)
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar