Senin, 04 Agustus 2008

PENYAKIT KRONIS ITU, BERNAMA KORUPSI


BARU-baru ini kita dikabarkan dengan headlines di media massa yang santer memberitakan kasus korupsi yang melibatkan oknum legislatif. Kasus tersebut memang menjadi realitas pahit bagi bangsa ini, tatkala masyarakat Indonesia seantero negeri belum bisa menghela nafas dalam-dalam pasca kenaikan BBM. Satu wacana belum tuntas “diredam”, wacana lain siap sedia antri “mengunyam”, bahkan siap menggilas rating wacana sebelumnya. Satu wacana disambari kilat oleh wacana lain yang datangnya silih berganti, sebut saja wacana kenaikan BBM, skandal korupsi, kasus suap, hingga yang teraktual kasus pemadaman listrik. Namun, barangkali, saya dalam kesempatan ini lebih tertarik untuk memfokuskan diri pada satu wacana saja, yaitu K-O-R-U-P-S-I. Tujuh penggalan huruf itu pula yang kemudian membentuk satu kata yang barangkali sangat lazim dikenal oleh masyarakat republik ini. Sebagai seorang mahasiswa, tentu saja wacana ini menjadi menarik buat saya, dengan tidak bermaksud untuk menyebut wacana lain kurang “istimewa”, namun setidaknya wacana ini beranjak dari catatan kritis saya dalam domain latar belakang yang tentunya mengharuskan saya “tanggap” dalam menyikapi persoalan tersebut di atas.
Barangkali, wacana ini sudah menjadi wacana yang umum dibahas, dan barangkali pula wacana ini telah menjadi wacana kesekian dari sekian banyak wacana lain yang telah turut serta mengulas tajam persoalan yang sama. Namun, saya tak bermaksud sekadar membuat catatan ringkas untuk “menggenapkan” atau “menyempurnakan” bahasa (language) dan bahasan (contents) wacana terdahulu yang kurang lebih akan bernada sama, dan wacana ini saya buat dari sebuah epos nurani. Epos nurani bagi seorang penulis (:saya tentunya), yaitu dorongan yang terus “memaksa” dan “menghantui” saya untuk segera berbuat dengan menuangkan pikiran dan nurani apa adanya dari realitas apa adanya pula.
Berbicara tentang fokus masalah bernama KORUPSI, tentu telah menjadi polemik umum yang tiada habis-habis dikuak, terutama saat rezim Orde Baru nyata lengser pada era reformasi 1998. Wujud penyakit kronis korupsi sudah menunjukkan gejala yang amat kritis, sulit dicarikan antibiotik dan resep penyembuhannya. Gejala kronis korupsi diindikasikan dahulu dengan gejala “batuk-batuk” yang berpuluh tahun lamanya, kemudian “meradang” dalam kanker tenggorokan dan paru yang kian menyesakkan bangsa ini. Radang itu pula yang membuat bangsa ini kesulitan “bernafas”, karena paru dan tenggorok sudah dipenuhi oleh “lendir” dan “kuman” yang teramat banyak. Realitas itu pula yang kemudian “mengakar rambat” dalam arteri dan nadi, kemudian “mendarah daging” mulai rezim terdahulu hingga sekarang. Kebohongan publik bahkan konspirasi politik yang dahulunya dengan rapi “dipetak umpeti”, “diselubungi” dalam-dalam kian terkuak dan muncul ke permukaan bak terbang roket berkecepatan tinggi menembus langit yang menjulang.
Sungguh, kasus korupsi dewasa ini telah menjadi “medan catur” yang siap menyuguhkan area permainan yang serba “wah” dan menggiurkan bagi tiap pemainnya. Dalam permainan semacam itu, para oknum birokrat, pejabat legislatif, penegak hukum dan elit politik turut berperan jadi “bidak catur” yang warna bidaknya hitam. Ada bidak yang warnanya putih, namun tentu saja bidak tersebut tak bertahan lama karena terus digilas bidak-bidak lainnya, kemudian diseret ke dalam medan untuk segera bertukar “rupa” dan warna. Kebohongan dan permainan semacam itulah yang kemudian menjadi beban berkepanjangan yang harus ditanggung dan dipikul oleh rakyat kecil, petani, peladang dan pedagang kecil yang bekerja mencucuri keringat siang dan malam. Oleh karena perbuatan terkutuk dan laknat dari oknum tak bertanggung jawab, maka rakyat kecil ini pula yang harus menanggung pilu dalam gubuk penderitaan sekian lamanya.
Berangkat dari wacana korupsi pasca Orde Baru dikuak tuntas dan “diberangus”, sepeninggal itu “gudang masalah” tak cukup berhenti sampai di situ saja. Berharap kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme diusut dan digilas, setali dua tali dengan sebelumnya, kasus itu justru mewabah dalam siklus berulang berkepanjangan. Siklus berulang itu tentunya telah terancang dalam “skenario sistem” yang sangat mapan. Era reformasi yang hebat dalam meneriakkan slogan anti korup dan suap menyuap akhirnya berbalik menghadapi realitas pahit kemudiannya. Elit politik kala itu tak henti-hentinya meneriakkan slogan yang sama jelang kursi kepemimpinan didapatkan, alhasil semua hanyalah spanduk retorika untuk “mengambil hati” publik. Akhirnya, rakyat kecil kembali yang jadi tumbal kata-kata dan pengorbanan dari aktuasi slogan yang selama ini disemboyankan.
Alhasil, saat ini, kasus korupsi kian padu lebur dalam rumusan fasa yang kian rumit. Selalu ada “celah” untuk mencacah dan menenggak habis harta kekayaan rakyat dan negara, yang seyogyanya diperuntukkan untuk kesejahteraan rakyat. Wakil rakyat kembali berteriak “ini adil” dan “ini tak adil”, sementara tangan kirinya sempat-sempatnya “bermain mata” dengan tangan kanan hingga kasus kebobrokan ini terjadi berulang kali. Tak hanya legislatif (:oknum) yang berbuat keliru, tak tanggung-tanggung, lembaga supremasi macam kejaksaan agung juga tak luput dari jamahan penyakit kronis ini (:korupsi). Korupsi, suap, amplop pelicin, apapun namanya, merupakan “payung istilah” yang bersaudara tiri, bahkan kandung, satu dengan lainnya. Penyakit kronis itu pula yang mencemari otoritas pimpinan pusat, daerah, legislatif, birokrat hingga kejaksaan, hingga kehilangan martabat dan kepercayaan di mata rakyat. Bila kita cermati secara detail, maka lebih akan kita temukan ketimpangan-ketimpangan lain yang muncul dari mekanisme struktur dan hirarki jabatan dilembaga pemerintahan bangsa ini. Penyakit kronis KORUPSI ini telah menjalar jadi penyakit warisan yang sulit disembuhkan dan ditemukan “penawar” manjurnya.
Semoga saja, KPK, LSM, dan lembaga pemerhati korupsi, serta masyarakat umumnya dapat bekerjasama dan bahu-membahu dalam menyikapi persoalan ini hingga bentuk ketidakadilan semacam ini bisa diusut Tuntas, Tegas, dan Bernas (TTB). Semoga saja, para elit politik nanti tidak terlalu sibuk mengkampanyekan diri anti korupsi, seperti halnya kampanye dokter paru pada pasien-pasiennya yang menyarankan tiap pasien berhenti merokok demi kesehatan. Sementara, sepeninggal pasien, si dokter seenaknya “mengembul asapi” rokok dalam ruangan, sembari bergumam dalam hati : “biarkan saya berbuat dengan tenang, yang penting nasihat tak akan pernah berlaku buat diri saya”. Semoga saja analog demikian “salah”. Semoga.

Tidak ada komentar: