Senin, 02 Juni 2008

DI NEGERI YANG KAYA, JADI MISKIN (AKU) RUPANYA ...

Seraya bertanya kepada seorang asing dulunya, saya (:penulis) pernah mengajukan suatu pertanyaan, kira-kira begini : what do you think about our country?. Lalu, ia menjawab panjang lebar pertanyaan

saya dengan ungkapan yang biasa pula anda dengar, pretty well, how beautiful, great, wonderful dan jawaban yang rada-rada hampir sama untuk menjawab pertanyaan yang saya ajukan. Selanjutnya tidak berhenti disitu saja, ia lalu menyebutkan satu kata ringkas pada saya, but .... (Anda barangkali bisa menerka apa yang tengah ia maksudkan dengan tidak harus saya lanjutkan kosakata isian berikutnya).

Fragmen tersebut merupakan buah pengalaman yang saya dapat (: mungkin) sudah cukup lama. Begitu banyak perspektif, deskripsi, dan sudut pandang orang luar dalam menggambarkan kondisi dan situasi yang tengah terjadi di negeri kita ini. Di satu sisi, negeri ini adalah ladang subur yang permai, kaya akan sumber daya hayati dan mineral dengan kultur masyarakat yang madani. Kekayaan tersebut merupakan aset tak ternilai yang sepatutnya untuk kita syukuri. Namun di sisi lain, ladang itu pula yang kemudian digarap dan dikuras untuk kepentingan individu dan sekelompok penguasa, bukan untuk kesejahteraan rakyat kecil.

Selepas kemerdekaan yang kita peroleh dari kaum imperialis barat, maka sepatutnya kita dapat memfungsikan diri sebagai bangsa yang ‘berwujud’ dan bermartabat. Akan tetapi, realita bertolak belakang menganga depan kita, kemerdekaan yang dulunya kita peroleh dahulu tak turut diikuti dengan kemerdekaan-kemerdekaan nurani, pola pikir, spiritualitas, mentalitas dan kejujuran.

Bila kita lihat satu koin logam, maka sudah tentu koin itu memiliki dua sisi. Sisi koin bagian atas dan satu sisi lain adalah koin bagian bawah. Jika saya boleh untuk membuat semacam analog, maka, bagi saya, sisi koin bagian atas adalah wajah Indonesia (negeri kita) yang berseri-seri, dan satu sisi lagi adalah koin bagian bawah yang menggambarkan Indonesia (negeri kita) yang kian ‘berkabut’ dan ‘buram’. Sisi itu bila dilempar bergantian, maka dua sisi akan silih berganti bermunculan, entah yang akan muncul probabilitasnya berbanding 0.5:0.5 atau 0.75:0.25 yang akan muncul. Hal itu, bagi saya, cukuplah jadi rahasia keramat “negara” dan orang “statistika” saja.

( Coba kita renungkan sejenak bangsa mana yang rela harga diri, martabat bahkan (: maaf), keperawanan bangsanya diinjak dan dikuasai oleh rezim bangsa lain ).

Di sini, di negeri yang konon katanya kaya ini, bangsa lain dengan sangat leluasa merampas harta, harga diri dan martabat kemerdekaan yang dulunya kita agungkan. Di sini pula, saham industrialis kapitalis asing merajai rasio modal sedemikian besar angka finansial dan proporsi statistisnya. Hingga BUMN dan UMKM seantero negeri jadi lumpuh tak berdaya dibuatnya.

Di sini, pejabat-pejabat pribumi dan koruptor-koruptor pribumi menenggak harta kekayaan rakyat dan negara sebagai bentuk aksi ‘ikut-ikutan’ yang turut diwarisi dari rezim Hindia Belanda dahulunya. Di sini pula, pertikaian dibuat dan diagungkan atas nama suku, ras, partai dan agama dan di sini terjadi percekcokan antar anggota parlemen tak habis-habisnya.

Di sini, tercatat anggota parlemen sudah kehilangan rasa malu dan rasa hormat mempertontonkan perselingkuhan syahwat di depan umum sedemikian hebatnya.

Di sini pula, barangkali tak lagi ada (mungkin sangat sedikit sekali) ditemukan jiwa pemimpinnya Hatta, Hamka dan Natsir yang mudah senyum dan ramah seusai debat habis perkara jadinya.

Di sini, mahasiswa telah menjadi syuhada menyumbangkan darah arteri bendera setengah tiang tiap tahunnya; merujuk polemik pragmatisme, kecurangan, KKN, reformasi dan kenaikan BBM se-indonesia raya. Konon, polemik itu pula yang jadi siklus berulang dan terus tercatat jadi darah dan sejarah tiap akhir tahunnya.

Di sini pula, aksi pembodohan turut dilakukan lewat tontonan sinetron, televisi dan juga musik dimana budaya “kumpul kebo”, pergaulan bebas, dan pesta pora menjadi sangat ‘lazim’ dipertontonkan dan jadi tematik yang luar biasa ratingnya.

Di sini, aliran agama sesat “sesesat-sesatnya” silih berganti bermunculan sana-sini, dan saat itu pula aparat dan hukum sudah kehilangan “kamus bicara”nya. Di sini, tak lagi ada ruang bagi orang-orang yang lantang vokal bicaranya, seperti Munir misalnya, berniat memperjuangkan HAM namun harus menanggung resiko tragis atas perjuangannya.

Di sini pula, orang-orang kaya tak mau ketinggalan untuk berlagak ‘miskin’ dengan turut mengambil alih jatah antri dana bantuan BBM-sembako, BLT namanya. Di sini, lalu lintas jalan raya sangat jelas semrawaut dan pikuknya hingga tak jarang orang kehilangan nyawa dan raga dibuatnya.

Di sini pula, teman-teman sejawat saya dan anda, yang ekonominya lemah, tak dapat bersekolah karena bangku sekolah dominan dirampas oleh yang kaya dan sejahtera saja.

Di sini, bisnis tahayul dan bid’ah sudah menjadi sentra konsumsi publik di mass media karena Mama Lorent salah satunya orang yang turut mengamini-nya. Di sini pula, bangsa dan rakyat kita jadi budak penyamun, ladang narkoba, lahan prostitusi, sarang kriminal, dan semacamnya, maka cukuplah Saya, Kita dan Anda jadi saksi bisu saja.

( Di sini... di sana.. dan seterusnya masih ada yang tak beres dan tak karuan di sana-sininya...)

Wallahualam.. kita dibuatnya.

Namun, saya turut berbangga tatkala orang asing, Mr. Esaikh namanya, turut memuji negeri ini (sebagai obat pelipur lara saya) dengan menyebut Indonesia sebagai beautiful countrynya sejagat raya. Meski saya dengan teramat sadar, gagu dan bisu meronta: “Di negeri yang kaya, justru, Jadi Miskin (Aku) Rupanya”. (baca: Miskin kesejahteraan, Miskin pengetahuan, Miskin harga diri, Miskin keberanian, Miskin moralitas, Miskin kejujuran, Martabat dan lain-lain sebagainya).

****

Sepenggal Catatan

Dari & Buat Dr. Ahmad Messaikh

(Karachi University)

Padang, Juni 2008

1 komentar:

Anonim mengatakan...

sungguh sebuah ironi
aniwei, artikel yang bagus -TFS
;dh/