MENCERMATI WAJAH KELUMPUHAN
SASTRA INDONESIA DI SEKOLAH
(Sepenggal Catatan 55 Tahun Taufiq Ismail dalam Sastra dan
Budaya Indonesia)
“Jika pengajaran sastra di sekolah dapat dilaksanakan sebaik-baiknya, niscaya banyak manfaat yang dapat di ambil, baik dalam perspektif edukatif maupun kultural. Akan tetapi, dalam kenyataannya pengajaran sastra belum mampu memenuhi harapan” [Sayuti:2008].
Pengajaran sastra lebih sering diidentikkan dengan pembelajaran prosa, puisi, novel, cerpen, drama, berikut dengan penelaahannya. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan pembelajaran semacam itu, karena memang itulah sastra, sastra yang semestinya diajarkan pada bangku persekolahan lewat prosa, puisi, novel, cerpen, drama dan lain-lain dengan beberapa pemahaman yang lebih intens tentunya. Permasalahan yang muncul saat ini adalah seberapa efektifkah pembelajaran sastra di sekolah saat ini?. Sebuah pertanyaan yang barangkali tidak hanya diulas dalam wacana kali ini saja.
Pengajaran sastra selama ini yang kita lihat (merujuk pada pengalaman empiris) hanya berupa pembekalan edukatif dimana guru sebagai tenaga pengajar membidik siswa didik dengan materi kesusasteraan yang dibakukan, dengan harapan siswa dapat memahami sekaligus tidak merasa ‘canggung’ bila dihadapkan pada persoalan sastra berpilihan ganda pada saat naskah ujian diberikan. (: semoga pernyataan ini tidak sepenuhnya tepat). Bagi penulis pribadi, pengajaran sastra di sekolah tidak cukup dipandang sebagai “lepas kewajiban” dari seorang guru bahasa kepada siswanya (seusai sastra diajarkan, maka terpulang bagi siswa untuk meresapinya); hal tersebut juga diikuti dengan buruknya persepsi sastra dimata siswa ditambah lagi dengan minimnya porsi pendidikan yang diajarkan. Guru sebagai tenaga pengajar sekaligus pendidik tidak sepenuhnya dapat disalahkan, karena porsi pengajaran sastra yang inproporsional itu justru telah digariskan dan dibakukan dalam kurikulum pendidikan dan hal itu dapat dilihat pada statistik jumlah pertemuan yang membahas tentang materi ajar kesusastraan.
Minimnya porsi pengajaran sastra serta belum terpenuhinya kualitas pengajaran sastra yang kondusif mengundang beberapa polemik yang semakin “menjadi-jadi”. Hal ini ditandai dengan munculnya pelbagai keluhan dari kalangan masyarakat, baik yang datang dari kalangan sastrawan, pakar pendidikan dan pengajaran, dan kalangan dosen maupun guru sastra sendiri1. Menurut catatan Rosidi (dalam Sayuti: 2008), masalah pengajaran sastra khususnya yang menyangkut apresiasi para siswa, masuk pembicaraan resmi para ahli sastra dan kaum pendidik pada tahun 1955 dalam bentuk simposium di Fakultas Sastra UI. Masih dalam catatan tersebut, sejak saat itu tidak terhitung lagi tulisan-tulisan yang membicarakan masalah tersebut, baik dalam bentuk tulisan-tulisan ringan yang dimuat di berbagai surat kabar dan majalah maupun dalam bentuk kertas kerja di pertemuan-pertemuan ilmiah tingkat lokal, regional dan nasional.
Bentuk kekhawatiran terhadap terjadinya semacam “kelumpuhan” bahkan distorsi pembelajaran sastra di sekolah disinyalir oleh Prof. Dr. Suminto A. Sayuti (Guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta), bahwa dalam kenyataannya pengajaran sastra belum mampu memenuhi harapan. Meski tidak terkesan ilmiah, penulis dapat menerka dengan mudah proporsi siswa sekolahan yang mengenali nama-nama besar dalam kesusastraan, seperti Pramoedya Ananta Toer, NH Dini, Sutardji Calzoum Bachri, Ibrahim Sattah dan banyak lagi; yang dikomparatifkan dengan siswa yang justru tidak mengenali nama-nama besar yang sudah “mapan” ,seperti WS Rendra, Sapardi Djoko Damono, Taufiq Ismail, Goenawan Mohammad dan lain sebagainya. Singkat kata, untuk karya-karya monumental sekaliber WS Rendra, Sapardi Djoko Damono, Taufiq Ismail, Goenawan Mohammad siswa tak banyak tahu, lantas bagaimana untuk memahami karya sastra pembaharu (: kontemporer), seperti Hamid Djabbar, Sutardji Calzoum Bachri dan Ibrahim Sattah misalnya. Tentu saja wacana ini tidak sepenuhnya bermaksud untuk memvonis guru, siswa, dan stakeholder pendidikan umumnya terhadap buramnya wajah pengetahuan kesusastraan generasi muda Indonesia. Namun, setidaknya kita perlu menyadari dan meresapi dalam-dalam bahwa sastra bukan semata menjadi konsumsi komunitas orang-orang “lihai kata” (:sastrawan), melainkan sastra telah bertransformasi secara kultural dalam kepribadian bangsa ini. Sastra dapat diintroduksi, diobservasi untuk kemudian ditumbuhkembangkan dalam ladang subur pendidikan secara perspektif edukatif maupun kultural. Ia (: sastra) tidak semata menjadi bahan ajar, tetapi sekaligus berperan sebagai sokoguru pendidikan moral dan personal. Untuk istilah ini, penulis lebih merasa aman untuk menggantikan istilah “pembelajaran sastra” yang umum dikenal dengan istilah “pendidikan sastra” yang justru akan lebih memuat intensitas pendidikan dan nilai luhur yang kompleks. Seyogyanya pula, pendidikan sastra di kelas tidak semata untuk dihafal, diingat, dan dibacakan, tetapi sastra harus diresapi dan dinikmati sebagaimana tujuan penulisannya oleh pengarang yang menciptai sastra tersebut.
Dengan memuat pendidikan sastra, secara disadari atau tidak, dapat mengikis budaya pesimis masyarakat kita akan terjadinya deteriorasi nilai luhur kebangsaan yang merosot dikalangan generasi muda. Karena pada kenyataannya, karya sastra justru dominan menegakkan unsur edukatif (pesan moral), kritisisasi sosial, dan sarana estetis bagi pembacanya. Jika kebanyakan karya sastra telah terlebih dahulu memuat unsur tersebut, maka tidak ada alasan untuk memberikan porsi yang sedemikian minim dalam kurikulum pengajaran. Tentu saja, karya sastra yang dimaksud disini adalah karya sastra yang mewakili perkembangan dan karakteristik berbangsa dan berbudaya, dengan tetap untuk tidak mengindahkan sarana estetis bagi pembacanya.
Ternyata apa yang dikhawatirkan oleh sastrawan dan budayawan besar Taufiq Ismail2 dalam rumusan tulisan “Benarkah Kini Bangsa Kita Telah Rabun Membaca dan Lumpuh Menulis” menjadi suatu realita pahit yang tak terbantahkan. Meminjam istilah “Generasi Nol Buku”nya Taufiq, kita perlu sadari bahwa generasi harus memiliki daya kreatif membaca dan menulis, seiring dengan itu memahami pula secara intensif apa yang tengah dibacanya. Sebuah realita menganga depan kita bahwa telah terjadi kemerosotan membaca buku, menulis karangan dan apresiasi sastra di sekolah-sekolah, sejak dari SD sampai perguruan tinggi4. Di AMS Hindia Belanda2, siswa wajib membaca 25 buku sastra selama 3 tahun, dan menulis karangan 1 seminggu, 36 setahun, 108 karangan selama 3 tahun. Bandingkan itu dengan SMA kita hari ini: wajib baca 0 (nol) buku yang tidak ada pula disediakan di perpustakaan, dan menulis karangan wajib rata-rata sekali setahun menjelang naik kelas atau tamat sekolah, dengan kekecualiaan SMA yang sedikit sekali (Ismail: 1997).
Karya sastra adalah sebuah karya monumental yang tentu saja memuat pesan spesifik pada pembacanya, nilai-nilai luhur dalam tulisan kesusatraan telah dikarang dan ditulisi oleh pengarang negeri ini semenjak dahulunya. Siapa yang tidak kenal dengan Hamka lewat karya besar Tenggelamnya Kapal Van der Vijk, Marah Rusli dengan roman Siti Nurbaya, bahkan karangan Bumi Manusia yang ditulisi oleh pengarang kontroversial Pramoedya Ananta Toer. Karya monumental tersebut membentuk pola pikir dan daya imajinatif pembacanya dalam merenungi sejarah, sistem nilai, norma-norma dan kultur masyarakat kita.
*
Pendidikan sastra di sekolah bermuara pada penciptaan dan pendidikan karakter dari siswa didik. Pendidikan karakter3 , menurut Latif, adalah suatu payung istilah yang menjelaskan pelbagai aspek pengajaran dan pembelajaran bagi pengembangan personal. Pendidikan karakter menggarap pelbagai aspek dari pendidikan moral, pendidikan kewargaan, dan pengembangan karakter (Latif: 2008). Pendidikan karakter tersebut menjadi sarana yang tepat diwadahi dalam dunia sastra, seperti dicontohkan secara santun dalam bait puisi Taufiq Ismail berikut ini :
Jika adalah yang harus kau lakukan
Ialah menyampaikan kebenaran
Jika adalah yang tak bisa dijual belikan
Ialah yang bernama keyakinan
Jika adalah yang harus kau tumbangkan
Ialah segala pohon-pohon kezaliman
Jika adalah orang yang kau agungkan
Ialah hanya Rasul Tuhan
Jika adalah kesempatan memilih mati
Ialah syahid di jalan Illahi.
[“Nasihat-nasihat Kecil Orang Tua Pada Anaknya Berangkat Dewasa”]5
Bait puisi tersebut alangkah indah dan “sejuk” terasa, bila dideklamasikan oleh siswa di depan kelas, didiskusikan, dihayati dan diinterpretasikan pemaknaannya. Pada dasarnya, kesesusastraan Indonesia tidak akan-akan jauh dari gerakan moral serta pendidikan karakter yang tersirat dari sisi heroik (kepahlawanan) dan contoh keteladanan. Menurut Latif (2008), pendidikan karakter seringkali diintroduksikan ke dalam kelas dan kehidupan publik lewat contoh-contoh keteladanan dan kepahlawanan. Lanjutnya, siswa dan masyarakat memeriksa sifat-sifat karakter yang menjelma dalam diri teladan dari pahlawan itu. Nilai-nilai keteladanan dan kepahlawanan ini tidaklah diajarkan (taught) secara kognitif dalam rumus “pilihan ganda”, melainkan ditangkap (caught) lewat penghayatan emotif (Latif: 2008).
Agaknya hal yang demikian telah tersirat dalam pola pengajaran sastra yang selama ini diterapkan layaknya penggalan bait puisi Taufiq Ismail berikut:
.............................................
“Wahai Pak Guru, jangan kami disalahkan apalagi dicerca
Bila kami tak mampu mengembangkan kosakata
Selama ini kami’kan diajar menghafal dan menghafal saja
Mana ada kami dididik mengembangkan logika
Mana ada diajar berargumentasi dengan pendapat berbeda
Dan mengenai masalah membaca buku dan karya sastra
Pak Guru sudah tahu lama sekali
Mata kami rabun novel,cerpen, rabun drama dan rabun puisi
Tapi mata kami’kan nyalang bila menonton televisi.”
(Pelajaran Tata Bahasa dan Mengarang : Antologi MAJOI6)