Minggu, 24 Agustus 2008

AGUS SALIM : TEROPONG KEMERDEKAAN DAN POLITIK



Menjelang atau bertepatan peringatan kemerdekaan RI 17 Agustus, kita kembali diingatkan dengan figur kebangsaan kita. Penelusuran atau pengingatan itu menjadi medium bagi kita untuk kembali mengangkat semangat nasionalisme dan mentalitas berbangsa. Pencarian figur Bapak Bangsa atau “the founding father” sering dilakukan guna menggali informasi dari perjalanan patriotik ketokohan Bapak Bangsa tersebut. Berbicara tentang siapa figur Bapak Bangsa barangkali perhatian akan tertuju pada nama-nama, seperti sosok Dwi Tunggal Sukarno-Hatta, Syahrir, Supomo atau M.Yamin. Sukarno-Hatta terpilih jadi figur Bapak Bangsa itu wajar karena selain berperan sebagai proklamator juga menjadi pemimpin pertama Negara RI. Sutan Syahrir adalah tokoh kepartaian yang handal, sementara Supomo dan M.Yamin sangat menonjol peranannya dalam Panitia Sembilan sidang BPUPKI tanggal 29 April 1945. Ada satu tokoh lagi yang terkadang luput dari perhatian publik, yaitu sosok the grand old man1, H. Agus Salim (1884-1954). Agus Salim termasuk pada 68 Tokoh Bapak Bangsa terbaik yang pernah dimiliki Indonesia. Tokoh tua (Oude Heer) ini adalah sosok paling berjasa sekaligus sering dilupa (peranannya) dalam sejarah bangsa. Dalam Panitia Sembilan misalnya, Agus Salim tidak hanya dihormati karena faktor usia tetapi juga karena wibawa dan kepiawaiannya dalam berdebat mengemukakan pendapat di depan publik.

Sosok Agus Salim adalah sosok yang komplit. Ya, negarawan. Ya, politikus, agamawan, budayawan, sastrawan dan lain sebagainya. Kita bayangkan, Indonesia dahulu tanpa sesosok Agus Salim. Perjuangan Sukarno Hatta barangkali akan jauh “tersandung” tanpa ada peran Agus Salim dalamnya. Beliau dikenal sebagai lobbyst dan diplomator terbaik yang dimiliki bangsa saat itu. Jika Sukarno dikenal dunia sebagai orator, maka Agus Salim akan dikenang sebagai diplomator. Tercatat karir diplomasi politiknya gemilang dalam forum internasional terutama sepanjang tahun 1947 hingga 1953. Sebagaimana catatan Salam (1996), bahwa dalam suatu pertemuan Yogya tahun 1948, Belanda kembali bersikeras menegaskan pendirian negaranya. Agus Salim, tercatat dalam sejarah, bereaksi spontan : “Kalau Tuan-tuan menganggap usaha kami untuk mendapatkan pengakuan de jure2 dari negara-negara Arab atas Republik ini bertentangan dengan perjanjian Linggarjati, apakah aksi militer yang Tuan lancarkan terhadap kami sesuai dengan perjanjian Linggarjati?....” (disampaikan kembali oleh Mestika Zed : 2004). Publik kembali terperangah, lontaran pikiran dan kata-kata Agus Salim mampu menggugah forum Internasional berpihak ke Indonesia dan memaksa Belanda berunding kembali hingga penghujung 1949.

Agus Salim : Politik dan Islam
Sebagaimana diceritakan Emil Salim, kemenakan Agus Salim, komitmen terhadap demokrasi dicontohkannya dengan gamblang, Agus Salim menolak mentah-mentah permintaan jadi Ketua Umum Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Maret 1950. Alasannya, tercantum dalam surat kepada M.Zein Arief 26 Maret 1950, ngeri menyaksikan partai politik menggunakan jumlah anggota untuk memperoleh kursi kabinet. Lanjutnya, anggota partai dituntut lebih proaktif memberi dukungan di DPR tanpa memandang kecakapan dan pengalaman mereka. Nah, kondisi itu bertolak belakang dengan sekarang dimana ambisiusitas personal mengalahkan segalanya. Tiap personal dalam partai saling berebut jatah jadi pimpinan umum partai. Disamping itu, pemilihan anggota partai tidak lagi merujuk pada kenyataan bahwa kecakapan dan pengalaman jadi konsiderasi primer lebih dari faktor-faktor lainnya.

Lanjutnya, Simanungkalit (2004), mengutip pendapat Agus Salim, dalam negara demokratis, paham politik mesti disiarkan di kalangan rakyat. Saat itu, Indonesia baru mengembangkan demokrasi, rakyat sangat perlu memperoleh penerangan dan pencerahan yang dapat menstimulus jalannya demokrasi yang sehat. Artinya, “pencerahan” yang dimaksud tidak hanya menjadi tugas individu yang tergabung partai, tetapi menjadi tugas semua kalangan untuk memberi pemahaman semacam itu.

Pasca menolak permintaan PSII untuk jadi Ketua Umum partai, Agus Salim malah membentuk Partai Penyadar (1936). Kali ini Agus Salim mengorientasikan diri pada misii sosial, religi dan kemanusiaan. Sebagai ulama besar, Salim tetap kentara dengan tradisi luhur keislaman, sebagaimana tersurat dan tersirat pada misi partainya, yaitu menyadarkan umat manusia agar berpegang pada Al Qur’an dan Sunah. Dalam misi sosial kemanusiaan, Salim mencurahkan perhatian bagi pemberdayaan kelompok masyarakat kecil melalui Persatuan Pedagang Pasar, Persatuan Sopir Oplet, Perkumpulan Buruh Batik, dan seterusnya. Suatu hal menarik, tidak ada label partai dan persatuan bernuansa Islam dalamnya, tetapi Agus Salim justru mampu memberikan ruh organisasi dalam semangat Islam humanis, yang dihayati dan diterapkan secara integral dalam pengimplementasian, bukan simbol belaka.
***

Negarawan Kita
Agus Salim adalah sosok negarawan tangguh. Beliau tidak hanya politikus ulung tapi sudah menjelma jadi the founding father yang barangkali langka ditemukan saat ini. Agus Salim hidup dalam kesederhanaan, bahkan mungkin “melarat”. Beliau mengorbankan jiwa demi kepentingan bangsa dan negara. Benar, jika beliau tidak sebijak itu, sudah tentu beliau lebih diuntungkan ikut Belanda saja yang menjanjikan harta dan kekayaan buat orang-orang berpengaruh saat itu. Benar, analogi terbalik seratus delapan puluh derajat, bila dibanding saat ini.

Lahir di Ranah Minang, Koto Gadang Bukittinggi (8 Oktober 1884), beliau telah menorehkan garis sejarah dikening kita semua, yang notabene orang Minang ini. Beliau telah menjelma jadi Bapak Bangsa sekaligus figur tangguh yang berani menantang dunia. Satu lagi peran yang beliau tunjukkan, yaitu perjuangan dalam pencantuman “Republik Indonesia berdiri atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa”, hingga butir ini termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Kemerdekaan hakikatnya adalah rahmat dan karunia Allah SWT, jika kita bawa pada dimensi saat ini, bagaimana kita sebagai bangsa tak lagi terjajah dapat mensyukuri dan mempertanggungjawabkan semua itu?. Sementara kita tetap berbaris dan “berjalan” di tempat itu ke itu juga. Ibarat memutar lagu lama yang selalu terseot tatkala dimainkan. Katakanlah, percaturan politik yang “kurang rasa” terhadap rakyat, praktik suap-korupsi, kolusi, penyelewengan dan konspirasi telah menodai catatan rasa syukur kita yang termaktub itu. Kemerdekaan ini kah yang kita maksud?. Sebuah kesia-siaan yang barangkali Agus Salim sendiri (bila masih hidup) akan terbatuk-batuk mual dibuatnya. Moga nurani kita bisa menjawabnya...
***

*Disarikan kembali dari Mestika Zed (2004).
“The Founding Fatherdari Negeri Kata-Kata”, dan dari
Salomo Simanungkalit (2004). ”Demokrasi,
Dinamika Islam, serta Islam dan Negara”


Catatan :
1 gelar tersebut diberikan langsung oleh Bung Karno
2 Republik tak hanya diakui de facto tapi de jure

3 komentar:

Abdussalim bin Darmuya mengatakan...

andhika,
dalam sejarah negara kita memang sering terjadi pembunuhan karakter.
ribuan tokoh yang hilang begitu saja, justru banyak tokoh yang dianggap pahlawan.
mungkin kita mengenal sharifudi prawira negara, tampa dia indonesia mungkin tinggal sejarah. tapi apakah kita mengenal darmuya, tokoh yang lebih dahulu berparan pada masa penjajahan belanda.

Anonim mengatakan...

memang di sumatra barat lahir berbagai tokoh baik pahlawan hingga pemberontak, dari kiay islam sampai komonis (seperti NA Aidit)
tapi sayang sekarang tidak lagi.
apa pendapat saudara?
apa beda dulu sama sekarang?

Anonim mengatakan...

bagus banget tulisannya
saya amat tertarik dg H Agis Salim meski sya di surabaya
bisa bantu dpet info tentang beliau
e-book, buku, artikel dan relasi atau keluarga beliau yg bisa dihubungi
saya sedang menyusun tugas Akhir tyentang beliau
email saya: akubisa_tommyheaven@yahoo.com


thanx b4 and salam kenal
Bustomi