Rabu, 23 Juli 2008

WAJAH INDUSTRI KECIL DI SUMBAR

Dalam peranannya sebagai katalisator pertumbuhan ekonomi nasional, perusahaan kecil (termasuk dalamnya sektor informal), menjadi lahan strategis untuk ditumbuh kembangkan, seperti yang dikemukakan Swasono (1986) bahwa dalam kenyataannya sektor informal merupakan bagian tak terpisahkan dari kerangka perekonomian nasional.


SUMATERA Barat menuju era industri?. Kenapa tidak, jawabnya. Sekilas pintas SUMBAR memang masih dipandang sebelah mata sebagai wilayah industri berkompeten di Indonesia. Hal tersebut memang beralasan, karena di SUMBAR sendiri sektor industri dengan largest investment masih dapat dihitung jari. Beberapa industri kompetitif di SUMBAR, diantaranya yaitu industri semen, tambang, tekstil, dan industri pangan. Beberapa diantara industri tersebut ada yang masih eksis dan ada pula yang ‘gulung tikar’, khususnya pasca krisis moneter 1998. Bila dibandingkan dengan daerah lain, seperti Sumatera Utara (SUMUT), Kepulauan Riau, terutama Jawa, maka jumlah dan perkembangan industri berkapital besar di SUMBAR masih belum menunjukkan taraf pertumbuhan yang signifikan. Artinya, jika pandangan umum berlaku bahwa kategori industrialisasi wilayah ditentukan oleh kuantitas, tepatnya, seberapa banyak industri largest investment menanamkan modal di suatu daerah/wilayah, maka tentu saja SUMBAR tidak diperhitungkan masuk ke dalam rating statistik. Namun, ada poin penting di sini, jika kita merujuk pada realitas bahwa kerangka industri tidak semata largest scale industries saja, tapi juga melibatkan small scale industries yang dikenal dengan sektor Industri Kecil dan Menengah (IKM). Sektor industri juga melibatkan peranan dan fungsi sektor IKM.
Di Indonesia, Jumlah unit usaha sektor industri kecil tahun 2003 sebanyak tiga juta unit usaha, industri menengah 16.411 unit, dan industri besar 7.593 unit. Jumlah tersebut meningkat apabila dibandingkan dengan tahun 2002. Jumlah unit usaha sektor industri kecil tahun 2002 sebanyak 2,55 juta unit usaha, industri menengah 15.952 unit, dan industri besar 6.735 unit. Dari data Departemen Perindustrian (Depperin), output sektor industri kecil tahun 2003 mencapai Rp 23,08 triliun. Sementara itu, output sektor industri menengah Rp 17,57 triliun dan output sektor industri besar Rp 63,83 triliun [Dikutip: Kompas: 2004]. Untuk itu diperlukan sinergitas antara pemberdayaan industri besar, menengah dan kecil dalam satu tatanan perekonomian nasional. Stayle dan Morse (Hasan:2002), menyatakan bahwa struktur ekonomi paling produktif adalah integrasi antara industri besar, menengah, dan kecil, yang akan saling mengisi satu sama lain. Karena itu, industri kecil menjadi komplemen yang tak dapat ditinggalkan dalam kerangka ekonomi nasional. Dalam peranannya sebagai katalisator pertumbuhan ekonomi nasional, perusahaan kecil (termasuk dalamnya sektor informal), menjadi lahan strategis untuk ditumbuh kembangkan, seperti yang dikemukakan Swasono (1986) bahwa dalam kenyataannya sektor informal merupakan bagian tak terpisahkan dari kerangka perekonomian nasional. Adanya sektor informal (: juga IKM) bukan sekedar karena terbatasnya lapangan pekerjaan, apalagi sekedar penampung lapangan kerja inkompeten, sebaliknya sektor informal telah menjadi pilar bagi ekonomi nasional. Pandangan tersebut, masih menurut Swasono, dikuatkan lagi oleh kenyataan bahwa perusahaan kecil dapat menyerap sekitar 71% jumlah tenaga kerja, sementara perusahaan besar hanya dapat menyerap sekitar 1,5% saja.
Bila melihat pada faktor jumlah (kuantitas), SUMBAR memiliki jumlah unit industri sebanyak 47.819 unit, terdiri dari 47.585 unit industri kecil dan 234 unit industri besar menengah, dengan perbandingan 203 : 1. Pada tahun 2001 investasi industri besar menengah mencapai Rp 3.052 milyar, atau 95,60% dari total investasi, sedangkan industri kecil memiliki investasi Rp. 1.412 milyar atau 4,40% dari total investasi. Nilai produksi industri besar menengah tahun 2001 mencapai Rp. 1.623 milyar, yaitu 60 % dari total nilai produksi, dan nilai produksi industri kecil mampu mencapai Rp. 1.090 milyar, atau 40% dari total nilai produksi [Dikutip: http://padanginfo.wordpress.com/]. Angka tersebut masih dapat ditingkatkan jika pihak industri kecil dan menengah (IKM) serta stakeholder lainnya mampu mengoptimalisasikan kerangka dan program pembinaan IKM yang bernas dan komprehensif.
Secara umum, perusahaan kecil dan menengah di SUMBAR bergerak pada industri pengolahan pangan, sandang dan kulit, kerajinan, serta industri serat dan mebel. Kuantitas tersebut cenderung bergerak linear sejalan dengan perkembangan penduduk dan dimensi strategis teknologi. Oleh karenanya, pemerintah tidak dapat menutup mata terhadap realitas ini. Besarnya jumlah IMKM di Indonesia umumnya, yang hakikatnya industri padat karya, telah menjadi fokus perhatian pemerintah pusat hingga daerah. Demikian juga di SUMBAR, fokus perhatian terhadap IKM sejalan bergulir dengan program pembinaan dan pengembangan usaha kecil yang dicanangkan sejak berdirinya Direktorat Jendral Industri Kecil (DJIK) pada tahun 1978. Program DJIK direalisasikan dengan bantuan perangkat keras (hardware) terwujud dalam bentuk penyediaan alokasi usaha, bantuan permodalan, penyediaan fasilitas layanan bersama (common service facilities) pada sentra industri kecil. Bantuan perangkat lunak (software) terlihat dalam penyelenggaraan pendidikan dan diklat untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan bagi pengusaha kecil, konsultasi peningkatan/pembinaan usaha, pengadaan Gugus Kendali Mutu (GKM), bantuan promosi dagang serta pelbagai kemudahan lain yang dapat menstimulus enterpreneur usaha kecil dalam mengembangkan usahanya.
*
Persoalan Klasik
SEBAGAI pendorong gerak pembangunan dan perekonomian, seyogyanya industri kecil mendapat fokus perhatian dan pembinaan yang serius. Industri kecil memiliki pola karakter yang tidak dimiliki oleh perusahaan menengah atau besar, seperti biaya organisasi lebih rendah, keuntungan dari segi lokasi, kebebasan bergerak serta rendahnya biaya investasi. Namun, sisi lainnya, sektor IKM juga tak luput dari sentra masalah, terutama bila dilihat dari segi prioritas permasalahannya. Mengenai persoalan klasik atau tepatnya kelemahan yang dimiliki oleh perusahaan kecil di SUMBAR khususnya, Said (1991) menyimpulkan pelbagai permasalahan berikut : kurangnya kemampuan wirausaha di bidang administrasi, lemahnya kemampuan pemasaran, kekurangan modal dan kesulitan untuk akses dengan sumber-sumber modal, serta kurangnya kemampuan untuk mendapatkan informasi dan teknologi yang diperlukan guna pengembangan usaha. Sedangkan Anwar (1991), menambahkan problem kelompok perusahaan kecil di SUMBAR (Kotamadya Padang khususnya) juga dihadapkan dengan persoalan rendahnya tingkat keuntungan usaha. Lanjutnya, perusahaan kecil hanya beroperasi pada posisi Break Event Point (BEP) di sekitar titik impas saja. Tentu saja, kondisi ini dipicu dari rendahnya tingkat pendidikan, pengalaman usaha dan faktor kritis lainnya.
Persoalan klasik lainnya yang seringkali dikeluhkan oleh kalangan pengusaha industri kecil umumnya dan masyarakat konsumen khususnya, yaitu ketatnya persaingan antara produk lokal dan non lokal. Sehingga, muncul polemik bahwa produk lokal tidak akan mampu bersaing dengan kompetitor (importir) di pasaran, belum lagi jika masalah dikerucutkan dengan tajamnya ongkos produksi yang membuat harga produk lokal melambung tinggi. Adakalanya pengusaha industri kecil yang ‘tanggap situasi’ tidak terlalu dipusingkan dengan hal ini karena adanya kecendrungan mereka untuk mengorientasikan usaha pada aspek pasar (: new paradigm). Setidaknya sikap tersebut berimplikasi positif bagi kemajuan usaha bila dibandingkan pengusaha yang “getol-getolan” berorientasi pada produk semata dibanding pasar (: old paradigm).
Persaingan produk dengan pihak importir merupakan hal yang tak dapat dihindarkan. Produk yang memiliki keunggulan, taste dan karakter kuat yang pada akhirnya akan memenangkan bursa persaingan. Demikian sebaliknya. Akan tetapi, persoalan di atas dapat disikapi jika pengusaha industri kecil di SUMBAR khususnya, dapat memainkan peranan pada strategi pasar dan penjualan. Tentu saja upaya ini diiringi dengan “penguatan karakter” produk atau penonjolan kekhasan atribut dari produk yang dipasarkan. Pengelolaan manajerial dan teknis tak dapat pula untuk diabaikan guna meminimalisir pemborosan akibat produksi (waste) yang berujung pada peningkatan produktifitas dan efisiensi perusahaan.
Modal menjadi persoalan klasik yang juga sering dimunculkan. Menilik pada sumber modal, sebagian besar modal industri kecil SUMBAR berasal dari lumbung modal pemilik perusahaan sendiri, hanya sebagian kecil yang berasal dari lembaga keuangan atau pihak ketiga. Pembatasan pemilikan modal dari industri kecil terutama disebabkan bentuk usaha dan sistem pengelolaan keuangan belum sepenuhnya meyakinkan perhatian luar atau lembaga perbankan. Persoalan ini salah satunya dipengaruhi oleh faktor intern dari mental wirausaha (enterpreneurship mentality) dari pengusaha kecil itu sendiri. Kemampuan untuk melakukan lobi usaha, pengajuan proposal usaha, pengelolaan manajemen organisasi secara baik menjadi substansi yang mutlak diperhatikan. Dewasanya, saat ini, pemerintah lewat Departemen Koperasi dan Usaha Kecil Menengah telah menyediakan pelbagai kredit usaha melalui Koperasi Usaha Kecil dan Menengah (KUKM), yang idealnya dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh pemilik dan penggalang usaha kecil, SUMBAR khususnya.
**
Pokok Pembinaan
INDUSTRI kecil harus dibina dan ditumbuhkembangkan. Pola pergeseran metode diterapkan lewat transformasi fungsi tradisional ke tingkat fungsi yang lebih modern (sophisticated) ; baik bila ditinjau dari penyediaan peralatan (equipment) ataupun dari segi penerapan pola manajemen (methods). Pola pergeseran tersebut dilakukan seiring dengan perkembangan teknologi dan knowledge management yang dimiliki dengan tanpa mengabaikan unsur-unsur dan substansi khas yang dimiliki. Di SUMBAR, misalnya, keberadaan sektor industri harus disesuaikan dengan kultur alam dan potensi masyarakat. Dengan demikian, tidak diinginkan munculnya konflik makro akibat kontaminasi lingkungan oleh industri, penelusuran bahan baku ilegal, pengalokasian SDM lokal yang inproporsional, dan lain sebagainya. Idealnya, pembinaan industri kecil harus diselaraskan dengan arah pengembangan dan potensi daerah. SUMBAR dasarnya adalah daerah bertekstur agraris, dimana sektor pertanian memegang peranan vital dalam perekonomian masyarakat. Dengan demikian, perlu diupayakan pertumbuhan yang komplementer antara sektor industri dengan sektor pertanian guna melahirkan sektor agroindustri yang sehat. Di beberapa daerah SUMBAR, seperti daerah Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten Lima Puluh Kota, Kabupaten Dharmas Raya, Kabupaten Solok telah diberdayakan agroindustri yang berawal dari sektor IKM, seperti pengadaan industri penghasil produk pertanian (: hydrotyller dan tresser), industri pengolahan kelapa sawit, serta industri perkebunan teh. Keberadaan agroindustri turut mencerminkan corak dan kultur masyarakat Minang yang ada di SUMBAR itu sendiri.
Prinsip pokok yang harus dipakai dalam pembinaan industri kecil harus diarahkan pada sentra-sentra industri. Dasarnya, daerah SUMBAR telah mendapat skala prioritas sentra industri, pada range sentra utama hingga range sentra berkembang. Di Kotamadya Padang, industri kecil telah berada pada sentra utama dimana industri kecil telah berkembang dengan baik dan sarana pembinaan yang telah dapat difungsionalisasikan keberadaannya. Pengelolaan Balai Latihan Kerja (BLK) salah satunya contoh sarana pembinaan pekerja yang penting untuk diberdayakan. Namun, persoalan terpulang pada seberapa efektifkah pengelolaan yang telah dilakukan sehingga dapat mengakomodir kepentingan industri dalam menjalankan usahanya. Begitu juga, dengan program Gugus Kendali Mutu harus dioptimalisasikan keberadaannya merujuk kenyataan program ini beberapa tahun terakhir belum sepenuhnya dapat memuaskan masyarakat dan sentra industri.
Sementara pada tingkat daerah/kabupaten, sentra industri baru berada pada range sentra berkembang, yaitu sentra yang baru dimonitor tetapi masih diperlukan pokok pembinaan yang intensif. Disadari atau tidak, pertumbuhan sektor industri kecil akan dapat membantu beban pemerintah dalam mengatasi masalah pengangguran. Disamping itu juga turut menunjang tercapainya pemerataan kesempatan kerja dan pemerataan pendapatan. Dalam pelaksanaannya, tentu saja wirausaha industri kecil dan menengah tidak dapat bergerak sendiri dan independen tanpa adanya bantuan dari pihak lain (stakeholders). Peran pemerintah secara konkrit maupun pemerintah dalam wadah instansi sangat dibutuhkan. Sebut saja peran stakeholders dalam wadah instansi maupun lembaga, seperti Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Departemen Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Departemen Tenaga Kerja, Kamar Dagang dan Industri (KADIN), Pemerintah Daerah, Balai Latihan Kerja (BLK), Perbankan, Perguruan Tinggi serta instansi lainnya yang berperan penting dalam pengembangan industri kecil tersebut.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Jika seandainya industri kecil di sumbar ingin dikembangkan menjadi lebih maju/modern, apa saja pelatihan/materi yang dibutuhkan?

Anonim mengatakan...

1. Giatkan kembali kegiatan GKM
2. Tumbuhkembangkan penerapan
sistem pembinaan "Bapak-Angkat"
dlm lingkup industri.
3. Adakan penyuluhan
(teoritik-praktis) sentra
pembinaan IKM.
4. Giatkan kembali training/diklat
seperti UPTD dll bekerjasama dg
kalangan industri.
5. peran serta pemerintah daerah
sebagai regulator
6. Yang paling pokok sumber daya
permodalan & pemahaman
"enterpreneurship"