Selasa, 27 Januari 2009
‘ayn al yaqin
Ya Rabb telah membumbung
qalbuku dalamMu, maka
bukakan mataku yang lelap dari
duka hari yang bengis
jeritan saudaraku
di Palestina
di Khasmir
di Iraq
di Afghan
di Chechnya
di Bosnia
di Moro
di Ambon
-dimana-manapun
mereka berada,
mendekam kemudian
berpulang padaMu.
Ya Rabb telah membumbung
nafsku dalamMu, maka
lepaskan kekakuan lisanku dari
konspirasi hitam yang bengis
menusuk rongga ketakadilan
oksigen saudaraku
di Palestina
di Khasmir
di Iraq
di Afghan
di Chechnya
di Bosnia
di Moro
di Ambon
-dimana-manapun
mereka berada,
menjerit kemudian
berpulang menujuMu.
Ya Rabb telah membumbung
dzikirku dalamMu, maka
gerakkanlah rangkaku yang diam dari
kebohongan perang yang bengis:
sepakat tanda kabung telah
membasuh darah saudaraku
di Palestina
di Khasmir
di Iraq
di Afghan
di Chechnya
di Bosnia
di Moro
di Ambon
-dimana-manapun
mereka berada,
diperkosa kemudian
dipenggal menujuMu.
Ya Rabb telah membumbung
kesadaran amarahku dalamMu, maka
tabirkan gendang telingaku yang pekak dari
jerit tangis ibu tak bertalu
menyirami bendera perang
saat bayi putih terkubur
di Palestina
di Khasmir
di Iraq
di Afghan
di Chechnya
di Bosnia
di Moro
di Ambon
-dimana-manapun
mereka berada,
dihujani peluru kemudian
dituba menujuMu.
Ya Rabb
perkenankan aku berkabung sangat, dalam
torehan tinta ini kuberharap sangat
“Inna Nashrallahi qariib”
Ya Rabb
perkenankan aku memenggal dan menghujami
mereka hingga saat itu --
saat-saat dan detik-detik penghabisan
yang Kau janjikan :
biar aku menghujamnya
dengan pedangMu
dengan lisanMu
dengan buldozerMu
dengan senapanMu
dengan mesiuMu
dengan takbirMu
dengan tasbihMu
dengan batuMu
dengan do’aMu
dengan murkaMu
dengan sujudMu
dengan hartaMu
dengan batinMu
dengan tanganMu
dengan kakiMu
dengan belengguMu
dengan dzikirMu
dengan kasihMu
dengan nashMu
dengan nashrMu
dengan azaliMu
dengan Qur’anMu
dengan apapun:
segala tempat
segala wadah
segala hujam
segala rajam
dalam
kalimahMu
Yang Satu :
Allahu Akbaru!!!
Perkenankan Ya Rabb..
Perkenankan..
AMIN.
Selasa, 20 Januari 2009
ALLAH YANG KURINDUKAN
Man’arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu1
Allah. kurindumu dalam denyut
aku berbincang, dengan kesadaran
aku bungkam.
“Kau ciptakanku dalam satu waktu”.
Allah. kurindumu dalam sepi.
sepi yang nian, darahku alir
dengan kehangatan.
“Kau anugerahiku sepanjang waktu”.
Allah. kurindumu dalam puisi
dimana kutoreh kembali Alif KasihMu,
dalam denyut aku berbincang
dengan kesadaran aku bungkam,
dalam sepi yang nian, darahku alir
dengan kehangatan.
-kutulisi puisi merinduMu–
Allahu.
Dinata, Andhika
Padang “Nan Dalam”/ 2008
Rabu, 07 Januari 2009
SUARA-SUARA SAYU (Untuk Tan Malaka)
”... Krakatau meletus menyemburkan batu dan lahar, merusakkan sekitarnya. Tetapi juga membagi bahagia kepada manusia, karena menyemburkan abu yang menambah subur dan makmurnya tanah. Tetapi sekarang bukan alam Indonesia yang meletus melainkan jiwa rakyatnya yang lama terhimpit dan tertindas itu...”
( Tan Malaka )
/1/
Ada yang menghentak tatkala saya selesaikan untuk membaca teks pidato Tan Malaka. Pidato tersebut kemudian dikenal dengan ”Membangun Dunia yang Adil untuk Semua Bangsa”1. Saya bisa bayangkan jika seandainya saya berada dalam dimensi yang sama ketika teks pidato tersebut pertama dibaca pengarangnya, maka pastilah saya terkagum hebat dibuatnya. Dalam ”Membangun Dunia yang Adil untuk Semua Bangsa”, Tan Malaka sekali lagi mengemukakan gagasan-gagasannya. Pertama, ia berbicara tentang revolusi politik. Kedua, ia berbicara tentang komparasi sejarah. Ketiga, ia berbicara tentang sistem ekonomi. Dan yang paling utama dari semuanya adalah pembicaraannya tentang kemerdekaan. Bagi Tan Malaka, kemerdekaan itu ialah buat ”kelak kemudian” hari. Gagasannya untuk melebur semangat revolusioner seringkali diiringi dengan figurasi yang meletup-letup, menunjukkan kedalamannya yang sangat -- akan kemerdekaan. Seperti disebutnya,” ... Demikianlah sejarah Indonesia berdiam diri, ratusan malah puluhan ratusan tahun sampai alam Indonesia bersuara”.
Apa yang disebut Indonesia ”berdiam diri” itu yang apabila kita bawakan pada dimensi sekarang tentu akan menjadi wujud yang ”multi-tafsir”. Sungguh, sebuah kepanikan luar biasa tengah menggoncang Tan Malaka, hingga ia menyebut Indonesia hanya akan ”seperti-seperti ini saja” jika ia berhenti untuk ”bersuara”. Ya, apa yang disebutnya ”bersuara” adalah sebuah prinsip yang memiliki suatu determinasi, atau tepatnya cita-cita yang sentralistik. Tan Malaka, seperti halnya tokoh revolusioner lainnya sangat prihatin melihat Indonesia semakin terkotak dalam pergerakan kemerdekaan. Daya kritisnya menyebutkan, orang Indonesia saat itu tak berinisiatif, lesu-malas dan biadab. Masyarakat lebih suka berteriak ramai-ramai tanpa unsur gerak dan perlakuan. Perjuangan dilakukan ”setengah hati” dengan memendam rasa sakit tanpa berupaya untuk menentang rasa sakit itu; berteriak dan menimpalinya. Tan Malaka adalah individu itu, individu yang lebih menyenangi aksi dan pergerakan revolusioner, meski terkadang militansi revolusioner yang dilekatkan pada dirinya terkesan agak berlebihan.
Dalam pandangannya tentang kapitalis, ia lebih memandangnya sebagai teror. Tan Malaka, tercatat dalam sejarah, sangat tidak senang pada sistem ekonomi kapitalis Eropa Barat maupun Amerika. Amerika dan kroni disinggungnya sebagai musuh dan imperialis yang telah memukul mundur perekonomian Asia Timur Raya. Tan Malaka dengan semangat revolusionernya turut memposisikan diri sebagai ”ekonom” yang mau tidak mau harus tanggap terhadap politik dan perubahan ekonomi dunia saat itu. Tak dapat dipungkiri bahwa di lain sisi ia lebih terturut pada sistem ekonomi Eropa Timur (: Sovyet Rusia) yang dipujinya selangit. Tambahnya, dari dunia Eropa Timur itulah ia merasa mendapat ilham dan petunjuk yang perlu diterapkan dalam perjuangan politik, ekonomi dan sosial di tanah air. Tan Malaka menambahkan dalam teks pidato yang monumental itu, bahwa perjuangan persatuan buruh dan tani di Sovyet Rusia sangat revolusioner, tersusun dan terdisiplin. Pernyataan dan konsepsi Tan Malaka yang cenderung ke Sovyet membuatnya dicap sebagai komunis tulen. Tak dapat disangkal, tanggung jawab dan posisi sebagai Wakil Komunis Internasional (WaKomIntern) setidaknya menunjukkan keanggotaan aktifnya dalam Partai Komunis Indonesia.
Tan Malaka dalam pandangannya memberikan bobot kemerdekaan penuh apabila kesetaraan politik dan ekonomi sepenuhnya dicapai. Konsep ini yang kemudian digagasnya sebagai ”Merdeka 100%”. Lain dari itu, bangsa belum bisa dikatakan merdeka. Konsepsi ”Merdeka 100%” itu sering dianggap berseberangan dengan gagasan Hatta maupun Syahrir yang dicapnya sebagai tokoh nasionalis ”lunak”. Bagi Tan Malaka, tidak ada kompromi atau diplomasi untuk Hindia Belanda atau campur tangan asing dalam sektor ekonomi. Konsep Marxis tentu saja tidak bisa dipisahkan dari dirinya. Bagi saya, pandangan positif sah-sah saja diberikan pada Tan Malaka yang menolak sistem imperialisme guna membebaskan diri dari tekanan politik, penjajahan ekonomi dan atau budaya. Namun suatu sikap yang mustahil apabila terlalu memaksakan kemerdekaan datang sekejap dalam tempo bersamaan: politik-ekonomi-sosial, saat gaung kemerdekaan belumlah mencapai kulminasi yang utuh. Dan pandangan ini pula yang ditolak mentah-mentah oleh Tan Malaka dalam tiap orasinya, bahwa kemerdekaan seratus persen mau tak mau harus dicapai sesegeranya; rakyat Indonesialah yang meletus melemparkan imperialis!!.
/2/
Munculnya polemik bahwa gagasan Tan Malaka dianggap terlalu ”rumit” dan cenderung menyamarkan gerakan kemerdekaan yang semula diemban. Pemahaman MADILOG (Materialisme-Dialektika-Logika) adalah salah satu dari gagasannya yang dianggap “rumit” itu. Katanya, logika dan dialektika bergantung pada materialisme, sebaliknya materialisme bersangkut paut dengan dialektika dan logika2. MADILOG setidaknya dapat saja bermula dari pemahamannya tentang Marxis yang hipotesanya dikembangkan sendiri oleh Tan Malaka. Terlepas dari benar atau tidaknya dugaan ini, yang jelas pemahaman MADILOG mengedepankan bukti empirik meski bukti tersebut belum berhasil diterangkan secara rasional atau logika pengetahuan. Baginya, kekuatan besar adalah kekuatan ideologi yang menggunakan pola pikir penyelesaian tanpa dogma.
Berbicara tentang ideologi berarti berbicara tentang doktrin pemahaman. Pemahaman itu pula yang menjadi polemik soal ketokohan Tan Malaka, seorang nasionalis kah atau komunis kah?. Kontroversi tentang polemik ini melahirkan ide untuk mengkaji kembali biografi historis dari Tan Malaka guna meluruskan penulisan teks sejarah atasnya, barangkali pula untuk mengapresiasi pergerakan Tan Malaka sebagai sesuatu yang memang layak untuk diapresiasi. Ketika tabir dibuka, pelbagai pendapat dan argumen pun bermunculan. Ada yang mencoba mengaitkan sisi historis Tan Malaka dengan tanah kelahirannya Minangkabau*, sehingga muncul pedoman; ”Mungkinkah seorang Tan Malaka komunis sementara ia dibesarkan di tanah kelahiran yang memiliki kultur keislaman yang kuat?”. Untuk sementara ini, bahkan hingga tuntasnya esai ini, saya lagi tak berani menduga atau menjawab pertanyaan tersebut. Akan tetapi, bagi saya, korelasi antara karakter individu belum tentu sepenuhnya dipengaruhi oleh kultur alam bahkan lingkungan yang mengitarinya. Tak ada yang menyebutkan atau menguak sisi agamis Tan Malaka itu, meski ada yang mencoba mengaitkan dirinya dengan partai lain yang bercitrakan Islam saat itu. Tak ada informasi yang dapat dijadikan referensi apakah ia benar seorang ”muslim” hingga akhir hayatnya, dan hal ini tak tercatat tegas dalam sejarah. Namun, hubungan keakrabannya dengan ISDV dan PKI lebih memungkinkan dirinya memang tertarik dengan sistem organisasi atau gerakan politik dari kedua perhimpunan tersebut. Tentu saja, hubungannya dengan SI tak dapat dipandang sebelah mata, namun tak dapat pula dipastikan bahwa Tan Malaka memiliki ketertarikan terhadap organisasi islam itu. Terlebih lagi muncul desus sesudahnya bahwa terjadi infiltrasi sayap kiri komunis ke dalam tubuh kepartaian SI sendiri.
Di sisi lain, peranan PKI dan pemuda-pemuda PKI dalam latar pergerakan kemerdekaan Indonesia adalah satu dari sekian deret realitas yang tak dapat untuk tidak kita pandang. Gerakan revolusioner komunis beserta militansinya itu telah melahirkan kaderisasi politik yang menghujam mentah-mentah jantung pertahanan Hindia Belanda – kaum imperialis umumnya. Tan Malaka dalam pergerakannya sangat aktif mensiasati aksi pemogokan umum dalam upaya menentang ketidakadilan dan perbedaan strata ekonomi. Pelaksananya adalah buruh pabrik dan rakyat kecil yang menerima imbas dari ketidakadilan sistem ekonomi kapitalis saat itu. Aksi pemogokan diawali dengan orasi hebat dari Tan Malaka, kemudian dilanjutkan dengan demonstrasi dengan menggunakan selebaran-selebaran yang diasungkan sebagai sarana kritik sosial. Beliau seorang pemikir, penulis, kritikus politik, dan orator. Apabila Tan Malaka berorasi, tentu semangat rakyat kecil itu turut ”berorasi”, tergugah dan terkobar. Orasinya sangat luar biasa, jika orang tak serta membandingnya segera dengan Bung Karno, sang orator wahid itu. Sebagai seorang penulis, selain MADILOG, Tan Malaka juga banyak menulis karya fenomenal meliputi bidang kemasyarakatan, kenegaraan, politik, ekonomi, sosial, kebudayaan sampai kemiliteran yang kemudian dikenal dengan GERPOLEK (Gerilya, Politik dan Ekonomi, 1948)3. Pemikiran-pemikiran bernasnya tentunya lahir dari latar belakang dan situasional politik yang mendorongnya ”memeta”, berfikir dan menggagas.
/3/
Mengenai kemerdekaan, ada yang menarik dari ”Membangun Dunia yang Adil untuk Semua Bangsa” itu :
”Apakah pengalaman 350 tahun belum cukup lagi buat kita rakyat Indonesia yang 70 juta ini akan sekali lagi diserahkan kepada macan kalah, kelak akan kembali dipimpin oleh kruneider dari Belanda?”.
Orasi tersebut terkesan rhetorics, namun menunjukkan bagaimana Tan Malaka menolak tegas bentuk penindasan, apapun namanya, dan apapun bangsanya yang kelak hanya akan menjadikan Indonesia dan rakyatnya sebagai kuli jajahan belaka. Tiga abad lebih adalah ketertindasan yang sangat, dan rakyat harus bergerak maju dan bersatu padu untuk menghirup bebas oksigen kemerdekaan.
Mengenai sistem ekonomi, ia membandingkan perekonomian Bumi Putera dengan perekonomian Tata di Hindustan (India). Beliau mempertanyakan stagnasi perekonomian Bumi Putera saat itu yang tidak banyak memengaruhi kas nasional dan tak lagi mampu menyentuh kesejahteraan rakyat kecil. Maskapai Tata Hindustan, katanya, sudah mampu membuat baja, besi bahkan kereta dam mesin kala itu. Maskapai-Tata juga meliputi perusahaan listrik seantero Hindustan. Semua perusahaan di Hindustan telah dipusatkan pada Bank Tata yang kokoh dan kuat. Sementara di Indonesia, kondisi kontras diketemukan. Orang Indonesia saja belum mampu mengolah baja dan besi secara otodidak, apalagi membuat kereta dam mesin. Semua perusahaan tersebar di seantero nusantara namun belum sepenuhnya terpusat pada kas Bumi Putera (Bank Nasional), sehingga ”gaung ekonomi” masih begitu-begitu saja.
Koreksi ekonomi itu yang disinggung Tan Malaka dalam pidatonya itu :
”Kita di Indonesia sudah bangga dengan pabrik rokok kretek. Memang pabrik rokok kretek itu sudah mempunyai modal besar. Pekerjanya sudah sampai ribuan. Pabrik rokok itu baik buat mengepul-ngepulkan asap ke udara. Tetapi letaknya terpencar-pencar belum disatukan oleh Bank Nasional. Pabrik atau perindustrian bumi-putera yang meliputi seluruhnya Indonesia, seperti Maskapai Tata di Hindustan itu, belum kelihatan tunasnya.”
Adalah wajar jika Tan Malaka berbicara lantang tentang perekonomian nasional yang ambruk saat itu. Sebenarnya, krisis ekonomi yang melanda Asia Timur juga dirasai oleh negara-negara Eropa hingga Amerika. Di Amerika saja, pada tahun 1929 hingga 1930an telah terjadi ”Great Depression” akibat inflasi yang superlatif. Negara besar seperti Amerika yang telah memproduksi lebih kurang 70% barang modal dan industri berat telah dicekik krisis yang tak terbendung. Pengangguran akibat PHK menjadi-jadi, yang mengakibatkan lebih kurang1/4 penduduk Amerika kehilangan pekerjaan; 33 juta kurang lebih orang Amerika harus jatuh ke lembah kesengsaraan. Di Inggris, raksasa industrialis Eropa bersama Jerman, harus merasai duka yang sama hebatnya pada rentang 1929-1932. Penduduk Inggris saat itu tak sebanyak penduduk Amerika, namun efek dari krisis global juga memengaruhi sektor paling vital, yaitu industri. Pengangguran merajalela dan krisis mengamuk kiri-kanan, demikian Tan Malaka menyebutnya.
Krisis ekonomi akibat ”Great Depression” ternyata membawa efek sangat besar bagi Indonesia saat itu. Bangsa harus hati-hati terhadap gerak langkah kolonial Belanda. Sifat dan bentuk perekonomian Belanda lebih kurang juga memengaruhi sifat dan bentuk perekonomian Indonesia**. Sistem kapitalis adalah sistem yang melumpuhkan bangsa-bangsa di dunia. Arus industrialisasi dan pasar modal masuk sana-sini hingga melewati celah-celah hidup masyarakat berkembang. Rakyat didikte untuk memiliki semangat industri dan pemesinan; di lain sisi mereka dirampas hak-haknya, dijajah tanahnya dan diperlakukan sebagai kuli di tanah sendiri. Tan Malaka memberi fragmen yang meletup-letup untuk membakar semangat rakyat saat itu. Namun, lagi, ia memuji politik Sovyet yang dianggapnya saat itu melangkahi sejarah dengan kecepatan raksasa.
Begini,
”...Dengan mulut dunia kapitalisme mencela politik dan sistem Sovyet. Tetapi dalam kalbunya mereka cemburu akan keamanan dan kemajuan di Rusia. Mereka sama tertarik oleh rencana ekonomi. Baik negara fasis atau pun demokrasi mencoba mengadakan rencana dan menjalankan rencana ekonomi”.
Tan Malaka merasa mendapat ”ilham” dan petunjuk dari Sovyet, yang secara tidak langsung disebutnya sebagai petunjuk yang patut ditiru. Dan untuk mencapainya rakyat Indonesia harus menunjukkan sikap antipati terhadap segala bentuk imperialisme dan kolonialisme lewat aksi-aksi brilian. Demikian, lahirlah aksi pemogokan buruh di tanah air yang cukup membuat Hindia Belanda tersintak. Sikap antipati itu juga yang melahirkan karya-karya Tan Malaka berupa Naar Republiek Indonesia (1924) yang mendahului Hatta dan Soekarno (Mencapai Indonesia Merdeka (1930) dan Ke Arah Indonesia Merdeka (1932)), MADILOG, GERPOLEK, Merdeka 100%, Dari Penjara ke Penjara, Massa Aksi, Uraian Mendadak, dan puluhan tulisan lainnya, bertumpu pada bagaimana membebaskan bangsanya dari kolonialisme4.
/4/
”Kita harus kembali ke masa 2500 lampau saja”, Tan Malaka berontak. Menurutnya, rakyat Indonesia tak lagi berinisiatif, lesu-malas, biadab. Ahli barat saja mengakui bahwa pada masa lampau, nenek Moyang Indonesia mampu mengarungi Samudera Hindia, sampai ke Afrika. Ke Timur ia mengarungi Samudera Teduh sampai Amerika Tengah. Benar sejarahnya, bangsa Indonesia masa itu tak berteriak keras, tetapi berlaku: berjuang, berdagang, bersawah-ladang.
Perjuangan lewat gerak laku adalah perjuangan sebenarnya. Perjuangan lewat teriakan adalah semu. Perjuangan lewat gerak laku dan teriakan adalah perjuangan yang penuh semangat. Inilah definisi perjuangan kiranya bagi Tan Malaka, dan definisi ini menghela nafas kita untuk tidak serta membantah perjuangan yang dilakukannya. Ya, Tan Malaka memiliki nafas pejuang. Geraknya, orasinya, adalah masa depan Indonesia yang digambarinya secara metafor sebagai perahu cadik. Perahu itu memiliki sayap kiri-kanan yang ramping untuk menjamin keamanan penumpangnya dari arus gelombang setinggi bukit. Hanya kerlap-kerlip bintang dan pengetahuan atas peredaran musim yang dapat dijadikan pedoman oleh nakhodanya. Dan itulah yang disebut sebagai petunjuk hakiki. Perjuangan tanpa pedoman adalah nihil, perjuangan tanpa petunjuk dan pengetahuan juga nihil. Dan kita tak menghendaki perjuangan yang semacam itu, tak ada bayang-bayang petunjuk di atasnya.
Akhirnya teringat saya akan Judul sebuah esai tentang marxis yang ditulisi Prof. Taufiq Abdullah itu ”Dan Hanya Bangsa yang Bisa Membebaskan Dirinya dari Rasa Dendam Yang Akan Menjadi Besar”5. Biarlah waktu berlalu dalam sejarah mengalir dari telaga membasuhi bumi sekitar, hingga berlabuh ke tengah samudera yang sejuk dan dalam. Tan Malaka dan sejarah kebenarannya memang tak seratus persen hilang terbasuh waktu. Suara sayunya masih mengelepak dan bersiulan sana-sini, meski tak senyaring Soekarno, Hatta maupun Syahrir. Dan kita tetap berharap namanya tetap menjadi bagian dari ketokohan penting Indonesia yang tak kabur oleh sejarah. Namun pastinya, Keppres RI No.53 tahun 1963 itu telah melekatkan selempang kepahlawanan di pundak Tan Malaka. Betapapun ia disebut: begini dan begitu. Kita berharap biografinya turut menghiasi lembaran bacaan di dinding Kepustakaan Nasional yang beberapa puluh tahun namanya kian menghilang. Dan kita bangsa Indonesia yang menghirupi oksigen bebas ini tentu tak ingin dikritisi sebagai bangsa yang berdiam diri terhadap sejarah, membiarkan ia gosong oleh abu selama puluhan, bahkan mungkin ratusan tahun lamanya sampai Indonesia Raya kembali ”bersuara”. Krakatau meletus menyemburkan batu dan lahar, merusakkan sekitarnya. Tetapi juga membagi bahagia kepada manusia, karena menyemburkan abu yang menambah subur dan makmurnya tanah. Tetapi sekarang bukan alam Indonesia yang meletus melainkan jiwa rakyatnya yang lama terhimpit dan tertindas itu, demikian katanya. Sekian.
Padang, Desember 2008
* Tan Malaka dilahirkan 2 Juni 1897 di desa Pandang Gadang-Sumatera Barat
** God schep den mens naar Zijn evenbeeld (Tuhan menjadikan manusia menyerupai diriNya);
Upaya belanda mematangkan koloninya dengan memegang konsep dirinya sebagai Tuhan.
Catatan Akhir :
1 Lihat Appendiks Pidato Tan Malaka, ”Membangun Dunia yang Adil Untuk
Semua Bangsa”, dalam Roeslan Abdulgani dkk. 2004. Soedirman-Tan Malaka
dan Persatuan Perjuangan. Restu Agung : Jakarta.
2 Zulhasril Nasir. Tan Malaka dan Kebangkitan Nasional (Online),
(http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/07/07/00194311/tan.malaka.dan.kebangkitan.nasional, diakses 23 Desember 2008)
3 Anonim. Gerilyawan Revolusioner yang Legendaris (Online),
(http://eh.web.id/tan-malaka/, diakses 23 Desember 2008)
4 Zulhasril Nasir. up cit.
5 Judul Kata Pengantar Taufiq Abdullah, dalam Taufiq Ismail. 2004. Katastrofi
Mendunia. Yayasan Titik Infinitum: Jakarta.
Langganan:
Postingan (Atom)