Selasa, 30 Desember 2008
TERAS UTAMA LENSA
DALAM opini kali ini saya mencoba mengutip pendapat dari the founding father H. Agus Salim : “Sekiranya Angkatan Muda tidak dipersenjatai dengan jiwa agamis akan hancurlah akhlak angkatan dan bangsanya”. Pendapat tersebut benar adanya jika kita bawakan pada konteks saat ini dimana pembangunan dan peradaban fisik saja tidak akan berarti banyak tanpa diimbangi dengan pembangunan mentalitas dan spiritualitas. H. Agus Salim adalah tokoh historis yang mencoba menorehkan pemikiran moderat agar generasi sesudahnya mampu belajar dari keluhuran akhlak tokoh-tokoh terdahulu. Dalam kutipan pendapat di atas beliau berharap agar generasi penerus memiliki keluhuran akhlak yang baik. Keluhuran akhlak akan membawa bangsa ini menjadi lebih maju dan bermartabat, dimana setiap orang dapat mencicipi harga kemerdekaan dan kesejahteraan hakiki. Dengan fondasi agamis (mental-spiritual) yang diimbangi dengan vitalitas pikiran akan lahir generasi bernas yang mampu membawa bangsa ini menuju gerbang kemajuan.
Betapa tidak, saat ini saja banyak orang Indonesia yang “mumpuni” kadar intelektualitasnya tetapi justru menyeret bangsa ke gudang permasalahan yang kian kompleks. Betapa tidak, saat ini saja tidak terhitung penyelewengan yang terjadi akibat permainan “orang-orang pintar” bangsa ini. Untuk itu, tidak salah, jika harga sebuah kebebasan akal mesti diimbangi pula dengan penaklukan “akal” untuk berbuat sebagaimana ia (:akal) harus difungsikan ke jalan yang benar saja. Penaklukan “akal” hanya bisa dilakukan jika tiap insan memiliki kesadaran yang dalam akan kehadiran penciptaNya. Sebab, Albert Enstein sendiri pada akhirnya menyadari bahwa “Pengetahuan tanpa agama adalah lumpuh, agama tanpa pengetahuan adalah buta (kosong)”. Agaknya benar juga jika pemimpin revolusioner Perancis, Napoleon Bonaparte menyatakan: “Hanya ada dua hal yang menyebabkan seseorang segan melakukan perbuatan-perbuatan tercela, yaitu agama dan rasa harga diri”. Ijinkan saya untuk mengutip satu pendapat lagi dari Prof. Hamka yaitu “Semiskin-miskinnya seseorang, adalah orang yang miskin akan budi pekerti”. Demikian pembaca untuk kita renungi dan hayati dalam refleksi keseharian kita. Wassalam
Senin, 08 Desember 2008
Islam : Konteks Kekinian dan Wacana Global
Ada yang senantiasa melekat dalam diri seorang penulis ketika ia mencoba menulis suatu esai kemudian dihadapkan pula ia pada pertanyaan, yaitu seberapa pentingkah sebuah esai dibuat jika esai itu hanya akan mengulas wacana dengan kriteria paling “umum”. Kriteria “umum” yang dimaksud, yaitu ketika seorang penulis dihadapkan pada satu atau dua pilihan saja, yaitu membuat tulisan yang menarik atau tidak sama sekali. Terkadang seorang penulis juga harus dibenturkan oleh persoalan dimana wacana haruslah “updates” dan “segar” untuk dibicarakan. Pemberlakuan itu tidak berlaku bagi saya sehingga selama menuntaskan esai ini saya harus siap sedia dalam kurun waktu tertentu untuk membuka biografi, internet, serta melakukan studi komparasi yang “agak ilmiah” guna menanggapi esai argumentatif tentang Islam yang dibuat dan ditulisi oleh kaum orientalis Barat. Sehingga esai “Islam : Konteks Kekinian dan Wacana Global” ini siap dirampungkan, dengan Hamdallah tentunya.
Dalam konteks kekinian seringkali terjadi pergeseran makna “Islam” oleh orientalis Barat sehingga Islam secara holistik dipandang sebagai agama yang kaku dan konservatif. Tudingan itu kian berlanjut dengan meningkatnya wacana war against terorism yang kian memuncak pada abad ke-20 ini. Isu terorisme dikaitkan pada satu agama meski terkadang pelaku terorisme belum tentu memiliki korelasi yang kuat terhadap pemahaman (understanding) ajaran agama yang dianutnya. Saat ini hampir tidak bisa dibedakan antara terorism crimes dengan perlawanan terhadap penjajahan dan kesewenangan. Setiap perlawanan yang merupakan hukum aksi-reaksi (kendati itu wajar) acapkali terjebak pada satu wacana, yaitu teror, meski tepatnya teror dan HAM terkadang dibatas dalam satu “garis pinggir” saja. Sampai-sampai jika seorang melakukan perlawanan terhadap penindasan dan kemerdekaan dalam melindungi hak-haknya dapat saja “terhukum” oleh satu pasal saja, yaitu terorisme atau HAM.
Kaum orientalis telah menyusun draft dan strategi perlawanan guna melumpuhkan semangat dan nama besar Islam. Strategi tersebut menurut hemat saya hanya dirancang dalam dua (2) konsepsi saja, yaitu strategi pemikiran frontal dan strategi inkonservatif. Strategi pemikiran frontal, yaitu strategi yang dibuat secara ofensif (terang-terangan) lewat bantuan media, seperti media massa dan elektronik. Strategi ini biasanya memanfaatkan sumbangan pemikiran, pendapat dan tulisan dari ilmuwan orientalis (Barat) untuk menundukkan kebenaran Islam. Salah satu contoh dari strategi ini yaitu dengan : (1) mendalihkan yang haq (true things) menjadi bathil (bad things), demikian sebaliknya, (2) memangkas kitab suci (Quran) untuk kepentingan yang tidak pada tempatnya, (3) melakukan pencelaan terang-terangan terhadap nabi dan rasul lewat wacana (dongeng Israilliyat) / tampilan kartunis sebagai dampak deklarasi pers dan kebebasan, (4) mempublikasikan secara ekstensif tulisan ilmiah yang lemah “kadar keislamannya” untuk kemudian dilegalkan sebagai produk Islam, dan sebagainya.
Adapun strategi inkonservatif yang saya maksud, yaitu strategi untuk menutupi setiap keunggulan, kelebihan dan kejayaan yang pernah dicapai oleh umat muslim selama selang peradaban (civilization) masa lampau, sehingga fokus sentral dari strategi ini, yaitu melebarkan tiap celah negatif dan perpecahan yang terjadi di sebagaian kecil kalangan Islam. Bagian dari strategi ini yaitu melebarkan isu gender di kalangan Muslimah, melebarkan perbedaan ijtihad tentang konvensi perang (jihad), perpecahan aliran-aliran baru, serta perbedaan pandangan yang kecil disulut menjadi perbedaan besar yang mutlak dipersoalkan. Strategi inkonservatif memojokkan muslim dalam dua celah saja, yaitu anarkisme dan terorisme. Tak satupun media Barat yang berkenan mempublikasikan kemajuan toleransi beragama di negara Islam, penemuan ilmiah oleh insinyur muslim, kebenaran Quran dari sisi sain dan aturan hukum ekonomi (muamalah), peran serta Islam dalam pengentasan kemiskinan, serta keberhasilan Islam dalam memerangi diskriminasi ras, warna kulit, dan strata ekonomi yang sering dipersoalkan oleh bangsa Eropa, Asia Selatan dan Afrika pada abad ke-19, hingga saat ini. Semua yang ditonjolkan jauh dari pandangan netral intelektual Barat sehingga seringkali menyudutkan Islam dari pandangan global. Penonjolan sisi negatif yang berlebihan diharapkan akan mengikis potensi positif yang dimiliki oleh generasi muda muslim sehingga generasi menjadi lemah iman dan hilang kepercayaan terhadap ajaran agamanya.
Dalam konteks kekinian, kaum orientalis menggunakan pedang konsepsi untuk mengaburkan makna perang (jihad) dalam Islam. Sehingga muncul image yang merujuk pada state, yaitu dakwah Islam dimulai dengan “pedang” dan diakhiri pula dengan “pedang” dan state tersebut mereka rancang untuk mengaburkan kebenaran risalah yang dibawa oleh Rasululullah SAW. Jika umat muslim dilemparkan pada state tersebut, maka sebutkanlah bahwa Rasul memulai dakwahnya dengan iman dan kesabaran bagi seluruh umat (baca: QS Al Anbiya : 107). Dakwah tersebut kian jelas pada pandangan
Pada dasarnya tudingan yang dilakukan oleh kaum orientalis adalah tudingan tak bermotif dan tidak berdasar. Namun satu hal yang perlu kita pelajari dari kaum orientalis tersebut adalah kemauan dan kesanggupannya dalam menghimpun pemikiran dan waktu untuk melakukan studi terhadap Islam (kendati studi empiris mereka tersebut lemah argumennya). Tidak jarang kaum orientalis menghimpun pendapat politikus, dan ilmuwan dalam menyusun hipotesa dan strategi untuk menyerang Islam. Sebaliknya, hal tersebut tidak disadari secara langsung ataupun tidak langsung oleh kalangan muslim dan generasinya, sehingga pembantahan argumen terhadap Barat tidak banyak dilakukan, terkecuali oleh negara dengan sistem pemerintahan Islam. Simpulan dari tulisan ini saya kutip dari Ahmat Bahjat (dalam teks Al Anbiya Allah), yaitu inti dan hakekat Islam adalah sebuah seruan untuk membaca (QS Al Alaq: 1-5), menggali ilmu pengetahuan, menegakkan kebebasan dan memerangi kezaliman2. Islam adalah seruan bagi seluruh alam yang mengintegrasikan universalitas dan persamaan hak-hak manusia, keadilan, kebebasan dan jihad. Kebebasan yang dimaksud, yaitu kebebasan akal dari sifat penolakan dan keragu-raguan terhadap penciptaNya. Ilmu pengetahuan terkadang tidak mampu menjawab pengetahuan dan fenomena non materi seperti penciptaan ruh, alam gaib dan sebagainya dan untuk kasus semacam ini pengetahuan dan agama tidak lagi berkorelasi secara kuat. Ilmu manusia tidak akan pernah menyamai bahkan melampaui kadar penciptanya, oleh sebab itu manusia harus menyadarinya dengan baik, seperti kadar pengetahuan kaum orientalis yang selalu saja melakukan penyanggahan terhadap kebenaran Islam. Demikian. Wassalam.
-[1], [2] Dikutip dari Ahmat Bahjat (2006). Al Anbiya Allah.
-dikutip dari berbagai sumber dan observasi.
-sources : Al Qurannul Karim (Al Anbiya, Al Furqan, Shaad, Al Alaq etc).
Dalam konteks kekinian seringkali terjadi pergeseran makna “Islam” oleh orientalis Barat sehingga Islam secara holistik dipandang sebagai agama yang kaku dan konservatif. Tudingan itu kian berlanjut dengan meningkatnya wacana war against terorism yang kian memuncak pada abad ke-20 ini. Isu terorisme dikaitkan pada satu agama meski terkadang pelaku terorisme belum tentu memiliki korelasi yang kuat terhadap pemahaman (understanding) ajaran agama yang dianutnya. Saat ini hampir tidak bisa dibedakan antara terorism crimes dengan perlawanan terhadap penjajahan dan kesewenangan. Setiap perlawanan yang merupakan hukum aksi-reaksi (kendati itu wajar) acapkali terjebak pada satu wacana, yaitu teror, meski tepatnya teror dan HAM terkadang dibatas dalam satu “garis pinggir” saja. Sampai-sampai jika seorang melakukan perlawanan terhadap penindasan dan kemerdekaan dalam melindungi hak-haknya dapat saja “terhukum” oleh satu pasal saja, yaitu terorisme atau HAM.
Kaum orientalis telah menyusun draft dan strategi perlawanan guna melumpuhkan semangat dan nama besar Islam. Strategi tersebut menurut hemat saya hanya dirancang dalam dua (2) konsepsi saja, yaitu strategi pemikiran frontal dan strategi inkonservatif. Strategi pemikiran frontal, yaitu strategi yang dibuat secara ofensif (terang-terangan) lewat bantuan media, seperti media massa dan elektronik. Strategi ini biasanya memanfaatkan sumbangan pemikiran, pendapat dan tulisan dari ilmuwan orientalis (Barat) untuk menundukkan kebenaran Islam. Salah satu contoh dari strategi ini yaitu dengan : (1) mendalihkan yang haq (true things) menjadi bathil (bad things), demikian sebaliknya, (2) memangkas kitab suci (Quran) untuk kepentingan yang tidak pada tempatnya, (3) melakukan pencelaan terang-terangan terhadap nabi dan rasul lewat wacana (dongeng Israilliyat) / tampilan kartunis sebagai dampak deklarasi pers dan kebebasan, (4) mempublikasikan secara ekstensif tulisan ilmiah yang lemah “kadar keislamannya” untuk kemudian dilegalkan sebagai produk Islam, dan sebagainya.
Adapun strategi inkonservatif yang saya maksud, yaitu strategi untuk menutupi setiap keunggulan, kelebihan dan kejayaan yang pernah dicapai oleh umat muslim selama selang peradaban (civilization) masa lampau, sehingga fokus sentral dari strategi ini, yaitu melebarkan tiap celah negatif dan perpecahan yang terjadi di sebagaian kecil kalangan Islam. Bagian dari strategi ini yaitu melebarkan isu gender di kalangan Muslimah, melebarkan perbedaan ijtihad tentang konvensi perang (jihad), perpecahan aliran-aliran baru, serta perbedaan pandangan yang kecil disulut menjadi perbedaan besar yang mutlak dipersoalkan. Strategi inkonservatif memojokkan muslim dalam dua celah saja, yaitu anarkisme dan terorisme. Tak satupun media Barat yang berkenan mempublikasikan kemajuan toleransi beragama di negara Islam, penemuan ilmiah oleh insinyur muslim, kebenaran Quran dari sisi sain dan aturan hukum ekonomi (muamalah), peran serta Islam dalam pengentasan kemiskinan, serta keberhasilan Islam dalam memerangi diskriminasi ras, warna kulit, dan strata ekonomi yang sering dipersoalkan oleh bangsa Eropa, Asia Selatan dan Afrika pada abad ke-19, hingga saat ini. Semua yang ditonjolkan jauh dari pandangan netral intelektual Barat sehingga seringkali menyudutkan Islam dari pandangan global. Penonjolan sisi negatif yang berlebihan diharapkan akan mengikis potensi positif yang dimiliki oleh generasi muda muslim sehingga generasi menjadi lemah iman dan hilang kepercayaan terhadap ajaran agamanya.
Dalam konteks kekinian, kaum orientalis menggunakan pedang konsepsi untuk mengaburkan makna perang (jihad) dalam Islam. Sehingga muncul image yang merujuk pada state, yaitu dakwah Islam dimulai dengan “pedang” dan diakhiri pula dengan “pedang” dan state tersebut mereka rancang untuk mengaburkan kebenaran risalah yang dibawa oleh Rasululullah SAW. Jika umat muslim dilemparkan pada state tersebut, maka sebutkanlah bahwa Rasul memulai dakwahnya dengan iman dan kesabaran bagi seluruh umat (baca: QS Al Anbiya : 107). Dakwah tersebut kian jelas pada pandangan
“Berimanlah orang yang beriman dengan penuh kerelaan dan kesabaran, dan matilah orang yang mati dengan penuh kerelaan dan ketenangan”. atau “Bagi siapa yang beriman hendaklah ia beriman, dan bagi siapa yang kafir biarlah ia kafir”. Merujuk pada dakwah tersebut maka dapat disimpulkan bahwa Rasulullah SAW tidak akan memerangi orang tanpa dasar (meski ia adalah kafir). Rasul tidak akan mencucuri keringat mengangkat pedang terkecuali ada marabahaya yang mengancam keselamatan dan kemaslahatan umat, adanya kecaman dan tantangan dari pihak luar, serta adanya rintangan dari pihak lain sehingga kaum muslim dihalangi beribadah dan dijauhkan dari keimanannya. Setelah itu, tiada perang di kamus Islam, tidak ada pedang di tangan Rasulullah SAW kecuali dibenarkan untuk membedah organ manusia demi kesembuhan rasa sakit, sebagai ungkapan kasih sayang sesama manusia. Selain mukjizat Quran dan Isra’Mikraj, tidak ada mukjizat lain yang lebih besar dimilikinya kecuali pembebasan akal manusia di hadapan TuhanNya. Tidak ada peristiwa yang luar biasa bagi Rasul selain kebebasan dalam berpikir. Tidak ada dalil pemikiran terkecuali jika manusia melakukan pembacaan dan penelusuran terhadap ayat-ayatNya. Jika Nabi Isa AS memiliki mukjizat menghidupkan orang mati dari kuburnya, maka Rasulullah SAW telah menghidupkan umat dari kematian yang tidak mereka sadari, dan itu adalah kematian yang paling keras1. Rasul telah bersedia mengeluarkan umat manusia dari kezaliman, kebodohan, kemusyrikan, kegilaan infinit, dan kekufuran menuju pengetahuan tauhid, persaudaraan yang humanis, pembelaan terhadap kaum lemah, serta perang (jihad) melawan penindasan dan kesewenang-wenangan. Hal itu beliau laukan tatkala beban hidupnya mencekik ketika ia harus mengemban pengorbanan dan penderitaan yang besar dari duka cita, ejekan, fitnah, dan kekasaran semasa hidupnya (: baca QS: Al Furqan : 41, QS: Shad : 4 s.d 5). Penderitaan lahiriah telah ditanggung rasul ketika ia menjadi yatim-piatu pada usia kecil (6 tahun).
Pada dasarnya tudingan yang dilakukan oleh kaum orientalis adalah tudingan tak bermotif dan tidak berdasar. Namun satu hal yang perlu kita pelajari dari kaum orientalis tersebut adalah kemauan dan kesanggupannya dalam menghimpun pemikiran dan waktu untuk melakukan studi terhadap Islam (kendati studi empiris mereka tersebut lemah argumennya). Tidak jarang kaum orientalis menghimpun pendapat politikus, dan ilmuwan dalam menyusun hipotesa dan strategi untuk menyerang Islam. Sebaliknya, hal tersebut tidak disadari secara langsung ataupun tidak langsung oleh kalangan muslim dan generasinya, sehingga pembantahan argumen terhadap Barat tidak banyak dilakukan, terkecuali oleh negara dengan sistem pemerintahan Islam. Simpulan dari tulisan ini saya kutip dari Ahmat Bahjat (dalam teks Al Anbiya Allah), yaitu inti dan hakekat Islam adalah sebuah seruan untuk membaca (QS Al Alaq: 1-5), menggali ilmu pengetahuan, menegakkan kebebasan dan memerangi kezaliman2. Islam adalah seruan bagi seluruh alam yang mengintegrasikan universalitas dan persamaan hak-hak manusia, keadilan, kebebasan dan jihad. Kebebasan yang dimaksud, yaitu kebebasan akal dari sifat penolakan dan keragu-raguan terhadap penciptaNya. Ilmu pengetahuan terkadang tidak mampu menjawab pengetahuan dan fenomena non materi seperti penciptaan ruh, alam gaib dan sebagainya dan untuk kasus semacam ini pengetahuan dan agama tidak lagi berkorelasi secara kuat. Ilmu manusia tidak akan pernah menyamai bahkan melampaui kadar penciptanya, oleh sebab itu manusia harus menyadarinya dengan baik, seperti kadar pengetahuan kaum orientalis yang selalu saja melakukan penyanggahan terhadap kebenaran Islam. Demikian. Wassalam.
-[1], [2] Dikutip dari Ahmat Bahjat (2006). Al Anbiya Allah.
-dikutip dari berbagai sumber dan observasi.
-sources : Al Qurannul Karim (Al Anbiya, Al Furqan, Shaad, Al Alaq etc).
Langganan:
Postingan (Atom)